HAPUSNJA PENGERTIAN TUGAS NON MILITER [1]
Jakarta, Berita Yudha
Kalau kita kembali kepada asal muasal lahirnja tentara jaitu untuk perang (baik untuk berperang dalam arti agresi, ataupun untuk pertahanan terhadap suatu agresi), memang fungsinja tentara itu adalah perang dan mempersiapkan diri untuk perang.
Tentara dibentuk direkrutir, disewa atau diapakan sadja untuk memiliki suatu niat, suatu kekuatan untuk melakukan agresi ataupun untuk melakukan pertahanan diri kepentingan jang membajarnja, jang membajar itu bisa seorang jang dengan sesuatu tjara mengangkat dirinja mendjadi penguasa atau suatu wilajah beserta penduduknja, atau pula berupa pemerintah jang diberi kekuasaan dan tanggung djawab oleh rakjatnja.
Tetapi gagasan untuk mengadakan tentara adalah untuk perang jang merasa berkepentingan dan bertanggung djawab untuk melakukan agresi atau untuk mempertahankan diri hanjakah pembajar gadji tentara itu sedikit sekali dasar2 tjinta tanah air atau kesadaran bernegara di dalam ikatan ketentaraan pada permulaan itu, paling2 jang ada jalah tjinta penguasa, ingin mengadu untuk mengudji keberanian dan ketangkasan, jang kemudian dielu2kan sebagai pahlawan perang, jang membuka prospek bagi pribadinja sendiri untuk mendjadi penguasa.
Pendeknja perang adalah mendjadi dasar pikiran untuk membentuk ketentaraan dan untuk mendjadi tentara. Tentara adalah alat perang.
Tidak usah memikirkan dan tidak usah merasa bertanggung djawab tentang hasil perang itu setjara keseluruhan, tidak usah turut memikirkan dan bertanggung djawab tentang nasib rakjat dan bangsa dimasa datang atau dimasa perang.
Tjukup kalau dia bertanggung djawab bagi dirinja sendiri turut memikirkan dan memenangkan pasukannja dalam petempuran itu lain persoalan kenegaraan dan memasjarakatan bukan urusannja.
Sistem pemikiran inilah jang terus berkembang di dalam pemeliharaan ketentaraan, walaupun kepentingan jang harus dibelanja tentara itu dengan mempertahkan djiwanja bukan lagi kepentingan seseorang, tetapi sudah mendjadi kepentingan bersama, jaitu keselamatan, seta martabat negara dan bangsa mendjadi tentara tidak lagi atas dasar untuk menjewakan diri kepada seseorang atau kepada sesuatu kelas, mempertahankan kemerdekaan negara dan martabat bangsa sudah dirasakan sebagai kewadjiban dan suatu kehormatan jang menjangkut diri pribadinja.
Dinjatakan tidak diperkenankan untuk memasuki ketentaraan sudah dirasakan sebagai suatu hukuman jang menjangkut kehormatan pribadi.
Artinja mendjadi tentara tidak lagi sesuatu jang disewa sebagai alat mati, tetapi sudah merupakan pelaksanaan kewadjiban kehormatan jaitu menjelamatkan Negara dan rakjat dari sesuatu peperangan, jaitu memengkan Negara dan Rakjatnja di dalam segala bentuk peperangan.
Perang di dalam pengertian jang semula jaitu mengadu kekuatan fisik bukanlah satu2nja peperangan jang dihadapi oleh Negara dan Bangsa didjaman modern ini, dan perang didalam pengertian semula itu dijelaskan tidak menguntungkan Negara dan Rakjat.
Perang untuk mentjegah terdjadinja perang adalah merupakan “medan pertempuran” baru di dalam perang modern. maka lahirlah kata bersajap “siapa jang tjinta damai bersiaplah untuk perang dengan demikian damailah jang mendjadi dasar pikiran untuk pembinaan kekuatan tentara.
Damailah jang mendjadi tudjuan dari pemeliharaan kekuatan tentara.
Membangun kekuatan perang untuk mentjegah perang itu, tidak lagi terbatas hanja kepada kekuatan dan ketangkasan fisik pradjurit dan sendjatanja.
Kekuatan perang sekarang sudah beralih mendjadi ketahanan nasional, sudah beralih kepada ketahanan rakjat, maka tentara jang mau sukses didalam mendjalankan tugasnja mau tidak mau harus membangun terlebih dahulu ketahanan rakjat, membanguan ketahanan rakjat terhadap segala matjam untuk perang, membangun kesadaran dan kewaspadaan rakjatnja terhadap segala bentuk perang, djuga untuk membangun ketahanan untuk melakukan “perang” untuk mentjegah perang kita mengetahui damai itu tidak bisa kita tentukan sepihak, maka membangun ketahanan untuk “perang” guna mentjegah perang itu tidaklah mudah, tetapi merupakan suatu bentuk peperangan tersendiri pula. Kalau Clausewits berpendapat : der Kriegist nur die fortsetzung der politik mit andern Mittein Hold fernick mendjelang perang dunia ke II mengatakan : der friede ist nur die fortsetzung des kriegs mil andern Mittein artinja kegagalan atau kekalahan didalam “perang” dimasa damai mengakibatkan dilandjutkan perang dengan perang jang sebenarnja menurut pengertian jang semula, dan kalau kita kalah atau gagal didalam “perang” dimasa damai itu kalau kita fort setzung der Politik mit andern Mittein harus dilakukan jang pertama-tama harus menghadapinja adalah tentara.
Pelandjutan politik dengan perang ini tidak bisa berlangsung terus-menerus.
Lepas dari siapa jang menang didalam kelandjutan politik dengan alat perang ini, achirnja akan tiba pula waktunja die fortsetrung des Krlegs mit andern Mittein, jaitu “perang” dengan alat2 damai.
Maka djelaslah bahwa tidaklah berkelebih-lebihan kalau orang berkata, bahwa jang penting adalah memenangkan perang itu dimasa damai.
Artinja tentara jang sukses malaksanakan kewadjibannja terhadap Negara dan Rakjatnja bukanlah terletak pertama-tama pada memenangkan peperangan tetapi lebih lagi jang memenangkan perdamaian bagi negara dan rakjatnja, tentunja tanpa merugikan deradjat dan martabat negara dan bangsa itu.
Maka tidaklah berkelebihan pula kalau Winston Churchill ditahun 1937 mendjelang petjahnja perang dunia ke-II mengatakan :
“We never had peace. We have not even got armistice. What we now have is war without the enggagement of the great armies and fleets. What is happening now is war without millions of people being killed or wounded. War as it were on the map and on paper, but none the less…..war.”
Djelaslah bahwa di dalam “perang” jang demikian hebatnja, tentara tidak bisa tinggal berpangku tangan dalam asramanja, sebab “peperangan” jang sedang berlangsung adalah djusteru mempertaruhkan sumber kekuatannja, jaitu ketahanan, kesadaran dan kewaspadaan rakjatnja, untuk mentjegah perang dengan mempertahankan perdamaian dan membangun fasilitas dan kekuatan untuk memenangkan perang, djika perang itu toh tidak bisa ditjegah.
Tinggal di dalam asrama membiarkan sumber kekuatannja itu hantjur sebelum peperangan jang sebenarnja dimulai, adalah djustru menjerahkan diri untuk dihantjurkan musuh di medan pertempuran, jang kemudian berarti menjerahkan negara dan rakjatnja kepada kesewenangan musuhnja.
Terlampau djauh dan terlampau dalam mungkin kami melihatnja.
Tetapi maksudnja adalah agar kita sama2 mengerti bahwa kita tidak perlu seiring tetapi berselisih djalan tentang tugas militer atau non-militer.
Jang mendjadi soal adalah djangan menjalah-gunakannja untuk diri pribadi atau golongan. Jang menjalah gunakannja sehingga melanggar hukum atau demokrasi Pantjasila, kesalahan dan dosanja adalah sama dan harus ditindak tegas apakah dia militer atau bukan.
Dengan demikian hendaknja dapat pula dimengerti bahwa bukan aspirasi militerisme, atau nafsu mau memborong semua tugas jang mendorong ABRI untuk ikut serta didalam memperkuat dan memenangkan demokrasi Pantjasila, tetapi djusteru untuk kemenangan demokrasi Pantjasila itu sendiri, sebagaimana didjelaskan oleh Djendral Nasution di Magelang baru2 ini. (DTS)
Sumber: BERITA YUDHA (19/09/68)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 82-84.