HARI INI PAK HARTO 66 TAHUN
Jakarta, Suara Karya
Menjelang akhir tahun 1986 yang lalu terdengar pernyataan santer yang mendukung pencalonan kembali Pak Harto sebagai Presiden untuk masa jabatan 1988-1993.
Golkar sebagai kekuatan sosial politik terbesar pun mencalonkan kembali Pak Harto. Bagaimana tanggapan Pak Harto tentang hal itu?
“Sebagai hamba Tuhan pencipta alam semesta ini, tentu saya harus memanjatkan rasa syukur atas rahmat yang diberikan kepada saya. Tetapi sebagai manusia biasa, saudara-saudara pun harus mengetahui, setiap saya mendengar pernyataan-pernyataan itu terus terang saja saya merasa miris, berdiri bulu roma saya. Miris bukan karena takut menghadapi tantangan. Tidak Akan tetapi miris karena mengetahui akan tugas yang berat didepan kita itu.”
“Begitu pun, saya merasa miris karena mengetahui harapan yang dernikian besar dari rakyat Indonesia mengenai suksesnya pembangunan. Sedangkan yang mengetahui keadaan diri saya adalah saya sendiri. Saya tidak jauh berbeda dengan warga negara lainnya, merasa tidak ada kelebihan sedikit pun dari pada warga negara lainnya, bahkan yang saya rasakan adalah kekurangan-kekurangan yang demikian banyak.”
“Kepercayaan rakyat yang sekarang sedang diberikan kepada saya, hanya saya lakukan dengan mengerahkan segala tenaga dan pikiran, dan hasilnya juga tidak lebih dari pada apa yang disaksikan oleh rakyat itu sendiri.
Sekarang, (saya) dihadapkan pada satu tantangan untuk menghadapi tugas yang berat. Terus terang saja, setiap saat kami berdua mendengarkan pernyataan itu, dengan istri saya pendamping saya, timbul pertanyaan, apakah masih mampu saya melaksanakan tugas itu.”
ltulah jawaban Presiden Soeharto yang diberikan ketika berpidato tanpa teks pada HUT Golkar ke-22 tanggal 20 Oktober tahun lalu. Pernyataan–pernyataan dukungan kepada Pak Harto untuk duduk sebagai Presiden kembali demikian gencar, tetapi jawaban Pak Harto hanya bersahaja.
Pak Harto sadar bahwa dirinya demikian kecil dibandingkan dengan tantangan pembangunan.
Beliau merasa miris jika mengetahui tantangan itu. Miris dalam kamus Jawa bukan berarti takut tetapi was-was. Karena merasa dirinya kecil, Pak Harto was-was menghadapi tantangan pembangunan yang demikian besar itu.
Meskipun Pak Harto adalah orang pertama di Republik ini, tetapi beliau mengakui bahwa dirinya tidak berbeda dengan warga negara lainnya, dan merasa tidak mempunyai kelebihan sedikit pun. Orang yang mendengar pernyataan ini akan berkata bahwa Pak Harto adalah pemimpin yang rendah hati.
Dan hadirin yang memenuhi Balai Sidang pada HUT Golkar memberikan tepuk tangan riuh atas ucapan Presiden Soeharto yang rendah hati itu.
Hari ini Pak Harto genap berusia 66 tahun. Soeharto lahir tanggal 8 Juni 1921 di Desa Kemusuk, Kelurahan Argomulyo, Kecamatan Godean, Yogya. Ayahnya Kertorejo, adalah seorang petani yang menjabat sebagai mantri ulu-ulu (pembagi air untuk sawah).
Ketika Soeharto baru berusia 40 hari, ayahnya (Kertorejo) berpisah dengan ibunya (Sukirah). Pada waktu Soeharto berumur 9 tahun, Pak Kerto menitipkannya kepada Ny Prawirohatjo (adik Pak Kerto) yang tinggal di Wuryantoro, Wonogiri.
Dikota kecil itulah Soeharto menamatkan SD. Bahkan di sekolah itu dia kenal pada Siti Hartinah, putri Sumoharjomo, Wedana Wuryantoro. Pada akhimya Siti Hartinah menjadi pasangan hidupnya. Kedua insan itu menikah 26 Desember 1947.
Di tahun 1940 Soeharto belajar di Sekolah Militer di Gombong. Di sana ia menjadi prajurit teladan. Dalam waktu singkat ia naik pangkat menjadi sersan. Pada waktu Jepang mendarat Soeharto dan kawan-kawannya menyingkir dari dan pulang ke kampung masing-masing.
Di zaman pendudukan itu Soeharto mendaftarkan diri sebagai sukarelawan Keibuho, pasukan polisi. Tapi atas nasihat atasan, Soeharto pindah ke Peta dengan mencapai pangkat komandan peleton.
Seusai proklamasi, Soeharto bergabung ke dalam TNI. Serangan Umum 1 Maret 1949 dengan peristiwa Yogya Kembali mengangkat nama Soeharto. Waktu itu dia bergerilya memimpin pasukan yang kemudian bisa menduduki kota Yogya walau hanya 6 jam itu. Dan ketika merebut Irian Barat tahun 1963 pun dia dipercayai untuk memimpin Komando Mandala.
Tahun 1965 Soeharto sebagai Panglima Kostrad. Di tengah huru-hara politik G30S/PKI, Soeharto tampil ke depan. Dia dengan tangkas mengambil alih pimpinan Angkatan Darat yang lowong setelah Letjen Ahmad Yani tewas. PKI ternyata membuat kesalahan paling konyol karena menyepelekan Soeharto.
Meskipun Pak Harto bisa mencapai puncak karier sebagai Presiden, tetapi beliau tak mau dikultuskan. Ini terbukti akhir tahun 1982 ketika masyarakat beramai-ramai mengangkatnya sebagai Bapak Pembangunan. Bagaimana tanggapan Presiden Soeharto tentang usul itu?
“… saya hanya dapat berkata mengembalikan segala sesuatunya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa terutama keputusan yang bersangkutan dengan diri saya dan juga mengembalikan kepada rakyat secara keseluruhan karena saya hanya akan mengabdi untuk kepentingan rakyat.”
Bahkan dengan tegas Presiden melarang penjualan lencana “Soeharto Bapak Pembangunan”. Menurut Pak Harto, penyebarluasan lencana itu tidak merupakan pendidikan yang baik dalam proses demokrasi.
Apalagi itu berkaitan dengan politik nasional. Politik nasional, kata Pak Harto, tidak boleh diperjual belikan.
Seperti dikutip oleh almarhum Menpen Ali Moertopo, Pak Harto memang tidak mau dikultuskan, Pak Harto tidak mau diagung-agungkan secara berlebihan.
Bukan hanya warga fudonesia yang menilai tentang Presidennya. Orang asing pun menilainya. Seorang wartawan dari Jerman Barat pun pernah menulis tentang Presiden Soeharto. “Presiden Soeharto adalah pribadi yang selalu menyambut baik kritik membangun,” tulis Chistina Mahn, sang wartawan itu.
Ini adalah cerita Bob Sudijo, orang yang mengajudani Pak Harto ketika menjabat Panglima Kostrad. Cerita ini berkisar tentang wing yang dikenakan Pak Harto. Orang yang tabu akan menyebut bahwa wing itu adalah “wing misterius”.
Saat itu tahun 1964. Di Margahayu, Bandung, diselenggarakan pendidikan Para. Selain Letkol Tjokropranolo dan Mayor Ali Moertopo, Mayjen Soeharto juga ikut dalam pendidikan itu. Entah apa alasannya, Pak Harto dilarang ikut. “Kalau Jenderal ingin memiliki wing, kami harapkan untuk menerima wing kehormatan saja,” kata Komandan Pendidikan.
Namun Pak Harto tetap “membandel”. Ia tetap ikut pendidikan itu. Akhirnya sang Komandan mengalah. Pak Harto boleh ikut pendidikan walaupun hanya teori. Tetapi tanpa sepengetahuan Komandan, Pak Harto ikut melakukan praktek.
Setiap pagi, ketika rekan-rekannya berlatih lari untuk menguatkan otot-otot, Pak Harto pun nimbrung. Dan pada saat terjun payung dilakukan, Pak Harto bersikeras ikut serta. Jadi wing yang dikenakan Pak Harto adalah wing asli, bukan wing kehormatan seperti yang dijanjikan Pak Komandan.
Sumber: SUARA KARYA (08/06/1987)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 784-786