HASIL PEMBANGUNAN MASIH JAUH DARI CITA-CITA

 HASIL PEMBANGUNAN MASIH JAUH DARI CITA-CITA[1]

Semarang, Suara Karya

Pemerintah menyadari, hasil pembangunan sekarang baru dinikmati oleh segelintir orang. Mereka itu adalah kelompok orang yang mampu menarik manfaat dari pertumbuhan ekonomi, sehingga kiniberhasil menjadi kaya. Namun masyarakat jangan iri terhadap mereka, karena orang yang berhasil itu kini dimanfaatkan pemerintah untuk mewujudkan pemerataan kemakmuran.

Penjelasan itu dikemukakan Presiden Soeharto ketika temu wicara dengan Wakil masyarakat pada suatu acara dalam rangka penyerahan penghargaan kepada para pemenang Iomba KB perusahaan tingkat nasional, penghargaan nasional atas prestasi perusahaan-perusahaan yang mampu, mencapai nihil kecelakaan pada periode tertentu Peresmian listrik masuk desa di Jateng dan peresmian rumah susun di kampung Pekunden, Semarang, Sabtu lalu. Acara itu dipusatkan di kawasan pabrik tekstil Bitratex, Mranggen, Semarang. Presiden ketika itu didampingi Ibu Tien, Menpera  Siswono Yudohusodo, Menaker  Cosmas Batubara, Menko Kesra Soepardjo Rustam, Kepala BKKBN Haryono Suyono, Dirjen Binawas Depnaker Dr Payaman Simanjuntak dan Gubernur Jateng H Ismail.

Presiden mengatakan, keberhasilan pembangunan yang dicapai sekarang masih jauh dari cita-cita. Oleh karena itu masyarakat hendaknya memahami bahwa sekarang ini bangsa Indonesia masih dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita, yakni masyarakat adil makmur.

Pertumbuhan ekonomi yang diusahakan pemerintah dan tampaknya hanya dinikmati oleh segelintir orang menurut Presiden, bukan berarti arah pembangunan kini keliru. “Kita masih dalam petjalanan mencapai cita-cita, kalau orang dari Semarang mau ke Solo melalui Boyolali. Begitu kita sampai di Boyolali kan tidak bisa dikatakan petjalanan  sudah menyimpang ,”ujar Presiden.

Kepala negara menguraikan bagaimana memanfaatkan orang-orang kaya itu untuk menciptakan pemerataan. Cara yang ditempuh ada berbagai macam, tetapi yang konkret contohnya adalah pemungutan pajak progresif. Sebagai contoh pengenaan pajak mereka dibedakan berdasarkan besarnya keuntungan. Jika keuntungan Rp. l0 juta – Rp. l5 juta dikenakan pajak 15 persen. Keuntungan sampai Rp. 50 juta dikenakan pajak 25 persen dan keuntungan diatas Rp 50 juta dikenakan pajak 35 persen.

Tanpa mereka dimanfaatkan, kata Presiden, tidak ada pertumbuhan. “Kalau tidak ada pertumbuhan apa yang kita ratakan, yang mungkin kita ratakan hanya kemiskinan,” ujar Presiden.

Untuk mencapai adil saja menurut Presiden mudah,tetapi tanpa kemakmuran. Wujudnya adalah membagi-bagi kemiskinan. “Semua miskin kan adil,” ujar Presiden. “Sedangkan kita ingin adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan, adilnya mudah, makmumya sulit, “katanya.

Nihil Kecelakaan

Penyampaian penghargaan nihil kecelakaan yang disampaikan oleh Presiden di Semarang Sabtu lalu adalah untuk ketiga kalinya, sedangkan Wapres empat kali. Penyampaian penghargaan nihil kecelakaan itu, belakangan ini makin tinggi penghargaannya.

Menurut Dirjen Bina Hubungan Ketenaga kerjaan dan Pengawasan Norma Kerja (Binawas), masih banyak pengusaha kurang memperhatikan keselamatan kerja. Padahal kecelakaan ketja itu bisa sangat merugikan perusahaan, baik dalam bentuk materil maupun nama baik.

Presiden mengatakan, dalam upaya memanfaatkan kemajuan ilmu teknologi bagi peningkatan produksi, yang sangat penting diperhatikan adalah kehandalan teknologi yang digunakan dan keselamatan kerja. Hanya teknologi yang handal dan keselamatan ketja yang tinggi sajalah yang dapat meningkatkan produksi.

Perusahaan-perusahaan yang mencapai prestasi kecelakaan nihil selama periode tertentu ada 6 perusahaan. Kebenarnnya adalah PT. Bitratex dengan Dirutnya YM Lodha mencapai 12,6 juta jam kerja tanpa kecelakaan dalam periode 1 Mei 1990 sampai dengan 30 September 1992, PT. Primatecco Indonesia di Pekalongan, Pertamina UPIV di Cilacap, PT. Semen Nusantara, PT. Parama Bina Tani, dan PT. Mangga la Puri Sakti.

Rumah Susun

Presiden dalam temu wicara memberi pengertian kepada para penghuni rumah susun yang diresmikan itu, agar jangan merasa seperti burung merpati dengan menempati rumah susun. ”Rumah susun jangan dianggap pagupon (rumah burung dara red). Rumah susun adalah altematif pemecahan masalah pemukiman di kota besar, karena lahan sempit ya kita mesti membangun ke atas, “ujar Presiden.

Selesai acara di kawasan pabrik Bitratex, Presiden dan rombongan meninjau rumah susun Pekunden. Dalam peninjauan itu Presiden banyak bertanya kepada para penghuni mengenai bagaimana rasanya tinggal di rumah susun. Rumah susun Pekunden dibangun di kawasan seluas 3.471m2. Diatas kawasan itu sebelumnya merupakan daerah kumuh yang dihuni oleh 78 keluarga yang menghuni 29 rumah. Setelah diremajakan menjadi rumah susun kini terdapat 88 rumah hunian serta disediakan pula 98 unit tempat usaha di lantai dasar. Unit hunian itu terdiri dari tipe 27, tipe 54 dan tipe 81m2 Selain meninjau rumah susun Presidenju ga meninjau pemukiman warga Korpri Kotamadya Semarang. Di tempat itu Presiden berjalan dari rumah ke rumah untuk melakukan dialog dengan para penghuninya. (KD10/KD 15/A-6)

Sumber: SUARA KARYA (26/10/1992)

____________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 629-631.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.