Tegas Tetapi Kebapakan*)
HM Ismail (Letjen. TNI Purn., Gubernur Provinsi Jawa Tengah 1983-1993)
Pada tahun 1945, ketika saya masih belajar pada Akademi Militer di Yogya, saya telah mendengar banyak tentang Pak Harto. Pada waktu itu beliau menjadi Komandan Batalyon X, dimana markasnya berdampingan dengan Akademi Militer tempat saya belajar. Saya sering melihat beliau naik kuda melintasi asrama kami. Saya kira Pak Harto memang mahir berkuda; tidak canggung sedikitpun. Kami para taruna yang masih muda-muda pada waktu itu senang melihat beliau berkuda. Beliau juga masih sangat muda dan gagah.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Akademi Militer pada tahim 1948, dan serbuan Belanda pada Clash II, saya bergabung dalam salah satu Kodim di Kulonprogo, Wates. Kemudian saya di tempatkan sebagai salah seorang komandan KODM (Komando Operasi Distrik Militer), sekarang sama dengan Koramil, di Panjatan. Ketika pertempuran berkecamuk di Panjatan dan Brosot, di Yogya Barat bagian Selatan, nama Pak Harto semakin santer terdengar, karena beliau menjadi Komandan Wehrkreise yang meliputi seluruh Yogya.
Setelah pertempuran fisik melawan Belanda berakhir, terjadilah konsolidasi dalam tubuh TNI. Saya dimasukkan dalam batalyon yang dipimpin Pak Soedjono, termasuk didalam Brigade yang berada dibawah pimpinan Pak Harto. Saya menjadi komandan peleton I, kompi III dari Batalyon Pak Soedjono. Pada bulan April 1950 kami diperintahkan berangkat ke Sulawesi Selatan untuk memadamkan pemberontakan Andi Aziz. Pada waktu itu diberang katkan dua batalyon yaitu Batalyon II dibawah Pak Daryatmo yang dikenal dengan nama Batalyon Kresno, dan Batalyon III dibawah Pak Soedjono yang dikenal dengan Batalyon Seno. Saya menjadi komandan peleton I dari kompi III, yaitu satu-satunya kompi yang sudah memakai baret merah. Kedua batalyon tersebut berada dibawah pimpihan Pak Harto masuk dalam Brigade X, dan dikenal sebagai Brigade Garuda Mataram. Kita bertugas di Sulawesi Selatan selama lebih kurang tujuh bulan.
Dari pengalaman mengikuti Pak Harto dalam operasi di Sulawesi Selatan, saya melihat beberapa sifat beliau yang menonjol. Pendeknya, beliau adalah seorang komandan yang tegas, keras, angker, tetapi sangat akrab dengan anak buah. Tegas dan keras tetapi tidak kasar; sikap keras, tegas dan angker dalam diri Pak Harto adalah sikap yang menumbuhkan kepatuhan pada setiap orang yang berada dibawah pimpinan beliau. Ketegasan Pak Harto umpamanya terlihat dalam salah satu peristiwa yang terus berkesan dalam ingatan saya sampai sekarang ini.
Pada suatu pertempuran melawan sisa-sisa KNIL, kami berhasil memenangkan pertempuran tersebut. Begitu gembiranya kami, tanpa pikir panjang lagi asrama mereka kami serbu, dan ada sebagian pasukan yang mengambil perlengkapan-perlengkapan yang tidak kami miliki seperti ransel, velqbed dan sebagainya. Kemudian kami melaporkan kejadian itu pada Pak Harto. Serta merta beliau menyuruh kami mengembalikan barang-barang tersebut. “Sekarang juga, jangan ada yang tertinggal, semua barang rampasan kembalikan”, begitu perintah beliau. Perintahnya tegas, keras dan penuh wibawa. Kami akhirnya dapat mengerti pendirian beliau, karena Pak Harto tidak ingin citra terhadap pasukan beliau menjadi rusak karena tingkah kami. Seperti kita ketahui, ketika di Sulawesi Selatan, pasukan yang berada dibawah beliau, yaitu Brigade X dikenal sebagai pasukan yang baik dan penuh disiplin.
Sesudah peristiwa Sulawesi Selatan berakhir, kami masingmasing berpisah. Pak Harto kemudian menjadi Panglima Divisi Diponegoro dan saya masuk sekolah PPI (Pusat Pendidikan Infantri). Selesai dari PPI pada tahun 1960, saya menjadi instruktur PPI yang saya jabat dari tahun 1960-1964.
Pada waktu beliau meninjau salah satu latihan Kostrad di sana, saya pernah memohon pada Pak Harto agar bisa pindah dari PPI, karena terus terang tugas di PPI sangat prihatin dan saya merasa sudah cukup lama menjadi instruktur. Beliau menyarankan agar saya melapor pada Pak Wahono. Akhirnya pada bulan Desember tahun 1964 saya ditarik ke Kostrad untuk menjadi Wakil Pak Wahono menggantikan wakil beliau yang ketika itu akan pensiun. Pada waktu G-30-S/PKI 1965 meletus, Pak Wahono diangkat menjadi Wakil Kaskostrad, menggantikan Pak Kemal ldris yang naik menjadi Kaskostrad. Pangkostradnya adalah Pak Harto. Saya diangkat menjadi Asisten II menggantikan Pak Wahono.
Pada bulan Maret 1966 saya dikirim ke Jerman Barat selama satu setengah tahun untuk belajar di Sesko Jerman Barat yang khusus diperuntukkan bagi para peserta diluar anggota NATO. Jadi saya belajar bersama mereka yang berasal dari Jepang, Muangthai, Pakistan, Nepal, Iran dan sebagainya. Ketika kembali pada tahun 1967, saya tidak lagi ditempatkan di Kostrad, tetapi di Hankam. Pada tahun 1976, saya diangkat sebagai Kaskostrad, dan jabatan itu saya jabat selama satu setengah tahun. Kemudian saya menjadi Panglima Kodam II/Bukit Barisan selama tiga tahun. Tahun 1980 saya menjabat Pangkostrad selama setahun dan kemudian pada tahun 1981 saya diangkat menjadi Pangdam IVI Diponegoro, untuk kemudian pada tahun 1983 menjadi Gubernur Jawa Tengah.
Ketika bertugas di Kostrad, saya kembali dekat dengan Pak Harto. Kami sering sekali mengadakan pertemuan-pertemuan dan pembicaraan-pembicaraan untuk memperbincangkan masalah masalah politik pada waktu itu. Kesan saya terhadap beliau tidak berubah. Tegas dan lugas dalam memutuskan setiap masalah. Selama ini saya melihat beliau lebih sebagai seorang militer yang mengatasi masalah-masalah politik yang mengancam kesatuan nasional daripada sebagai seorang kepala negara dan pemerintahan.
Sesudah saya berada dalam lingkungan sipil, sebagai seorang gubernur, sikap Pak Harto sebagai seorang militer tidak berubah, yaitu masih tetap keras, tegas dan lugas, tetapi beliau menjadi sangat bijaksana. Tutur kata beliau lembut kebapakan. Hal ini baru betul-betul saya rasakan pada waktu saya baru diangkat sebagai gubernur.
Beliau banyak memberikan nasihat dan petunjuk bagi bekal saya sebagai seorang bapak, sehingga dalam hati saya berjanji untuk tidak mengecewakan beliau. Karena Pak Harto orang Jawa Tengah, sebagai seorang bapak, sehingga dalam hati saya berjanji untuk tidak mengecewakan beliau. Karena Pak Harto orang Jawa Tengah demikian pula saya, maka kata-kata beliau yang demikian sabar, mempunyai arti yang luas dan dalam.
Beginilah nasihat beliau:
“Kau sudah tahu kan mengapa saya tempatkan di Jawa Tengah. Jawa Tengah termasuk salah satu barometer nasional, terutama dalam bidang sosial-politik. Kau telah menjadi Panglima selama dua tahun di situ. Jadi kau harus menyadari itu”.
Nah, ini adalah nasihat yang benar-benar berat bagi penugasan saya yang baru. Dari tugas sebagai seorang militer, sekarang saya diserahi tugas mengelola daerah yang ruang lingkupnya jauh lebih luas dari yang pernah saya tangani, yaitu bidang yang tidak hanya menyangkut keamanan saja, melainkan menyangkut masalah ipoleksosbudhankam. Selanjutnya beliau berkata:
“Jadi, kau harus mengembangkan daerah itu bukan hanya di bidang hankamnya saja, melainkan juga dalam segala hal yang menyangkut masalah kemakmuran daerah dan kesejahteraan rakyat. Hal ini harus menyatu dengan masalah-masalah keamanan agar keduanya dapat menciptakan ketahanan wilayah dan ketahanan bangsa. Pegangan kerja sudah jelas yaitu secara strategis bersandar pada GBHN, dan idiil konstitusional pada Pancasila dan UUD 1945. Kembangkan apa yang memang cocok di sana. Awas, Jawa Tengah semasa Pak Pardjo sudah sukses, lanjutkan tetapi disamping itu tingkatkan dan dimantapkan bahkan diadakan akselerasi, percepatan dan bila perlu pembaruan disesuaikan dengan tantangan yang berkembang” .
Karena beliau orang Jawa Tengah dan dibesarkan dalam lingkungan Jawa Tengah, beliau mengerti betul isi perut orang Jawa Tengah itu.
“Orang Jawa Tengah itu”, beliau melanjutkan, “kalau kau dekati dengan baik dan semua keluhan mereka kau angguki, maka mereka akan menjadi patuh kepadamu. Dalam menghadapi kritik, aja kagetan, aja gumunan dan sebagai seorang pejabat,jangan bersikap aja dumeh. Pegang saja falsafah padi, yaitu makin berisi makin merunduk”.
Selanjutnya beliau berkata:
“Falsafah sangkan-paraning dumadi, yaitu asal usulnya padi kan dari tanah dan asal usul anda kan dari rakyat biasa. Jadi kau harus menyatu dengan rakyat., dengar isi perut rakyatmu”.
Itulah Pak Harto; nasihat-nasihat beliau sangat filosofis di samping beliau menekankan pula hal-hal pokok, seperti posisi strategis Jawa Tengah di bidang sosial-politik. Saya jadi sangat prihatin, apakah saya dapat memenuhi pengharapan beliau? Apakah saya tak akan mengecewakan beliau? Apalagi beliau menekankan bahwa Jawa Tengah telah sukses dibawah Pak Pardjo. Ini adalah tantangan yang betul-betul tidak ringan. Selanjutnya Pak Harto juga menambahkan:
“Kita harus menjabarkan sikap kepemimpinan nglurug tanpa bala dan menang tanpa ngasorake”.
Ini berarti kita harus bijaksana dalam menghadapi berbagai hal. Pada waktu itu saya cuma berkata dalam hati, beliau ini seorang yang tegas, tapi kebapakan. Apa yang saya rasakan memang benar. Setelah saya menjadi pembantu beliau dalam bidang eksekutif, hubungan-hubungan formal fungsional sering terjadi. Dari sini saya merasakan bahwa beliau adalah seorang yang mau mendengarkan, baik laporan maupun usul-usul yang saya ajukan yang berkenaan dengan lingkup tugas saya. Dalam menanggapi suatu masalah saya sering memakai “komunikasi Jawa” (lobby), artinya saya mencari saat yang tepat untuk mengajukan sesuatu masalah dengan melihat suasana beliau. Saya melihat, apakah sinar di wajah beliau nampak cerah atau tidak. Biasanya cara yang saya lakukan berhasil dengan baik.
Salah satu contohnya adalah mengenai waduk Mrica. Waduk tersebut terkatung-katung pembangunannya, padahal waduk itu merupakan harapan para petani, khususnya di sepanjang lembah Sungai Serayu. Para petani mengharapkan bahwa dengan selesainya waduk itu, mereka akan dapat mengambil manfaat yang besar. Dengan selesainya waduk itu, maka sawah mereka akan dapat diairi secara teratur. Rakyat mengeluh pada saya mengenai nasib waduk Mrica tersebut. Untuk menanggulanginya sendiri, daerah jelas tidak berdaya karena keuangan yang sangat terbatas. Saya pusing memikirkan nasib waduk itu.
Rupanya Tuhan memberikan pemecahan masalah ini kepada saya. Pada suatu ketika, di Cilacap akan diresmikan sebuah kilang minyak oleh Pak Harto. Dalam rangka tersebut saya menjemput beliau di lapangan terbang Tunggul Wulung Cilacap, dan kami berada dalam satu kendaraan bersama menuju Cilacap. Saya melihat wajah beliau begitu cerah, dan kesempatan ini tidak saya sia-siakan.
Di situlah saya matur (menyampaikan) atau mengemukakan masalah waduk Mrica itu. Saya mengemukakan bahwa rakyat menangis karena waduk Mrica tidak jadi diteruskan pembangunannya, padahal waduk tersebut sangat didambakan. Rakyat sangat mengharapkan waduk itu dapat diselesaikan, karena manfaatnya sangat besar bagi mereka. Rupanya hati beliau sangat terketuk karena rakyat miskin begitu mendambakan waduk tersebut. Beliau mendengarkan laporan saya tanpa berkedip, tetapi tampak seperti berpikir.
Tidak sampai satu bulan, Pak Sardjono, ketika itu Dirut PLN, menelepon saya; beliau memberitahukan bahwa masalah Mrica telah diangkat kembali. Mulai saat itu pemerintah sibuk mengadakan negosiasi dengan pemerintah Swedia dan Inggris. Akhirnya waduk tersebut dapat diselesaikan. Kita dapat menggambarkan bagaimana gembiranya kami semua, terutama para petani yang mengharapkan terwujudnya waduk tersebut. Ternyata Pak Harto dapat merasakan perasaan-perasaan dan harapan para petani, sebab beliau memang berasal dari keluarga petani. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bahwa beliau juga menguasai masalah-masalah yang berkaitan dengan pertanian. Apakah itu menyangkut masalah bibit, masalah penyakit ataupun masalah teknis pertanian.
Di atas telah saya singgung bahwa beliau adalah seorang yang mau mendengarkan pandangan atau gagasan para pembantu beliau. Contoh dari hal ini dapat saya kemukakan dalam masalah perluasan lapangan terbang di Semarang (PUAD A.Yani). Ketika masalah tersebut saya kemukakan, beliau menegaskan, kalau Jawa Tengah mau membangun lapangan terbang, bukan di Semarang, melainkan di Adisumarmo, Solo. Akhirnya beliau menetapkan agar perluasan itu dikaitkan dengan pasaran pariwisata dan diperluas untuk lapangan terbang internasional. Pendapat Pak Harto memang sangat tepat dan sesuai dengan apa yang selama ini saya pikirkan. Masalah ini kemudian diangkat dan diputuskan dalam sidang kabinet.
Begitu pula mengenai masalah waduk Kedungombo. Begitu santernya orang menentang masalah Kedungombo, sampai akhirnya saya memohon pendapat kepada Pak Harto. Saya melaporkan bahwa kelihatannya ada unsur-unsur yang ingin mendiskreditkan pemerintah Orde Baru bahwa seolah-olah pembangunan kita, seperti waduk Kedungombo itu, hanya menyengsarakan rakyat saja, sebagaimana yang dilontarkan oleh sementara pihak. Orang-orang tersebut mengatakan bahwa rakyat sengsara, kurang makan dan sekolah anak-anak menjadi terlantar, karena proyek waduk tersebut.
Dengan tenang beliau memberikan pendapat yang mendukung pelaksanaan waduk tersebut. “Sudah, jalankan saja; terus, jangan terpengaruh oleh suara-suara itu”, begitu ucapan beliau. Dan ucapan ini tentu sangat melegakan saya. Beliau memandang manfaat waduk jauh lebih besar daripada kerugian yang dialami orang-orang yang tanahnya terkena pengairan untuk dijadikan waduk. Pemerintah pun telah memberikan ganti rugi yang memadai kepada mereka. Jadi suara-suara negatif yang dikemukakan oleh beberapa pihak itu tidak beralasan, sengaja diciptakan untuk mengeruhkan suasana politik saja. Namun demikian cukup jelas bagi Pak Harto bahwa sejauh sebuah gagasan menguntungkan rakyat kecil, beliau akan memberikan perhatian yang besar. Oleh sebab itu beliau memberikan dukungan kepada saya dengan penuh perhatian.
Sebagai seorang kepala pemerintahan, sikap beliau sangat demokratis dan terbuka, terutama terhadap para pembantu beliau. Kami dapat mengembangkan gagasan-gagasan yang beliau berikan secara singkat. Sikap beliau yang selalu membuka diri dan kebapakan merupakan semangat yang menimbulkan gairah kerja yang besar.
Sebagai seorang gubernur, kata beliau, “gali dan kembangkan segala potensi yang ada di daerahmu”; inilah kata-kata yang selalu beliau ucapkan bila saya menghadap beliau. Selanjutnya tinggal terserah pada kami masing-masing untuk menjalankan petunjuk beliau itu.
Satu pengalaman yang membuat saya sangat terharu terjadi pada waktu permulaan jabatan saya sebagai gubernur. Ceriteranya begini. Pada suatu hari ketika saya menghadap beliau di Cendana, beliau berpesan dan menyerahkan sesuatu.
“Ini sebagai bekal jadi Gubernur, kau bawa ini dan kembangkan di sana”, seraya memberikan sebuah doos kecil. Setelah saya buka, isinya bibit bawang putih dari Taiwan yang beratnya lebih kurang 2,5 kilogram. Pesan beliau itu betul-betul saya laksanakan, dan sebagai hasilnya, pada tahun 1984 Jawa Tengah sudah swasembada bawang putih.
Keberhasilan ini mendorong saya untuk lebih mengembangkan jati diri Jawa Tengah dengan bertumpu pada potensi daerah yang khas dan unggul. Saya mulai menggalakkan jeruk Tawangmangu. Jeruk ini memang khas Jawa Tengah. Demikian pula dengan salak pondoh dan kapuk randu.
Sebelum Perang Dunia II, daerah pantai Jawa Tengah yang membentang dari Batang sampai ke Rembang penuh ditanami dengan pohon kapuk randu. Pada waktu itu kita malah dapat mengekspornya, tetapi kemudian ekspor itu berhenti, sebab untuk konsumsi dalam negeripun produksinya tidak mencukupi lagi. Nah, ini yang saya gali lagi dan saya kembangkan. Dengan kerja keras, maka sekarang kita sudah dapat mengekspornya kembali. Semua ini adalah hasil pengarahan beliau; beliau selalu mendorong para gubernur untuk mengolah potensi daerah mereka masing-masing.
Berdasarkan pengalaman saya sebagai pembantu beliau, maka dapatlah saya katakan bahwa tidaklah benar kalau ada yang mengatakan bahwa Pak Harto itu otoriter, atau pemimpin yang tak dapat dibantah. Pandangan yang seperti itu timbul karena orangorang tersebut tidak mengetahui sikap beliau yang sebenarnya. Mungkin sikap beliau yang tegas itu yang ditafsirkan sebagai sikap otoriter. Ketegasan disertai sikap yang penuh wibawa memang tercermin pada setiap tindakan beliau. Tetapi sikap yang demikian itu, menurut saya, adalah sikap yang mendidik kami supaya kami belajar menanggulangi masalah-masalah yang kami hadapi dengan sungguh sungguh. Tanpa ketegasan, mungkin hal yang telah diputuskan akan dengan mudahnya diubah-ubah demi mencari gampangnya saja.
Begitu pula saya sering mendengar ada orang yang mengatakan bahwa Pak Harto sangat lamban. Ada sebagian anggota masyarakat kita yang berpendapat bahwa Pak Harto berjalan diatas dasar alon alon asal kelakon. Sudah jelas bahwa beliau tidak mempunyai sikap yang demikian. Beliau adalah seorang yang lugas dan gesit. Sikap beliau yang tampak tenang itu justru pencerminan dari watak beliau yang selalu berpikir dengan masak sebelum mengambil sesuatu keputusan sesuai dengan prinsip aja kagetan, aja gumunan dan aja kebat kliwat (cepat tapi salah!).
Jadi, sebenarnya apa yang diajarkan oleh Pak Harto adalah agar segala yang kita terima itu kita cerna dahulu, kita endapkan dahulu, kita pertimbangkan untuk kemudian kita putuskan, baru sesudah itu kita melangkah. Watak beliau bukan alon-alon asal kelakon, melainkan alon-alon ning kelakon! Lambat tetapi terlaksana dengan baik! Yang penting: hasilnya. Hasilnya harus baik, sukses dan tidak menimbulkan dampak negatif. Beliau adalah seorang yang sabar dan tepat bila bertindak. Tindakan beliau itu mencerminkan suatu tindakan yang bijak, sabar, sareh dan sumeleh. Sareh dan sumeleh adalah tindakan yang mencerminkan kedewasaan, tidak impulsif, tidak emosional tetapi lugas. Sikap yang demikian itu ada pada beliau dan sikap-sikap tersebut, baru dapat tercermin dalam tindakan kita, bilamana kita telah berhasil mengendalikan diri dan menguasai sepenuhnya persoalan yang dihadapi. Menurut saya pengendalian diri sendiri itu tidaklah semudah seperti yang digambarkan orang. Itulah Pak Harto yang dengan kebijaksanaan dan kelugasan beliau, telah menjadi seorang pemimpin bangsa yang tangguh.
***
___________________________
*) HM Ismail, ” Tegas Tetapi Kebapakan “, dalam buku “Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 919-927