PRESIDEN:
HUKUM HARUS MENJADI SENJATA YANG TIDAK DAPAT DIELAKKAN BAGI YANG BERSALAH [1]
Jakarta, Antara
Presiden Soeharto menegaskan, hari Sabtu, bahwa hukum harus menjadi senjata yang tidak mungkin dielakkan bagi siapa saja yang bersalah dan menjadi pengayom yang menenteramkan hati bagi siapa saja yang benar.
“Pemerintah”, kata Kepala Negara ketika menerima para peserta rapat kerja Kejaksaan di Istana Negara, “menghendaki agar hukum diterapkan oleh aparatur penegak hukum dengan baik dan dengan penuh kesadaran ditaati oleh siapapun tanpa kecuali”.
Pemerintah juga mengharapkan agar hukum diterapkan secara adil dan sama kepada setiap orang, katanya menambahkan.
“Untuk itu”, demikian Presiden, “para penegak hukum sendirilah yang pertama2 harus patuh dantaat kepada hukum. Dengan demikian masyarakat akan mendapat suri teladan yang baik”.
Presiden berpendapat, apabila aparat penegak hukum telah menunjukkan kepatuhan dan ketaatannya kepada hukum, maka masyarakat yakin bahwa tegaknya hukum telah berada di tangan2 yang terpercaya.
Menanggapi laporan Jaksa Agung Ali Said bahwa selama ini Kejaksaan telah mengambil tindakan2 hukum terhadap warganya yang nyata2 bersalah, Kepala Negara menegaskan, penertiban ke dalam itu sama sekali tidak berarti
“mencoreng di muka sendiri”.
“Penertiban diri ke dalam sama sekali tidak berarti kelemahan. Justru sebaliknya, berarti adanya kekuatan. Kejaksaan tidak akan kuat memikul tugas menegakkan hukum apabila dalam tubuhnya sendiri mengandung kelemahan2 karenamereka yang melakukan pelanggaran hukum tidak ditindak”.
Negara, kata Presiden, memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada aparatur Kejaksaan untuk menegakkan hukum di negeri ini, disamping kepada aparat2 penegak hukum yang lain.
Jaksa Agung Ali Said melaporkan, Raker yang berlangsung sejak tanggal 3 Maret yang lalu diikuti 108 orang peserta diantaranya unsur2 pimpinan dan staf Kejaksaan Agung dan 27 jaksa tinggi dari 27 propinsi.
Menjawab pertanyaan Ali Said menyatakan, semua permasalahan yang menjadi beban tugas Kejaksaan dibahas dalam Raker tersebut antara menilai keberhasilan2 atau kegagalan2 tugas masa lalu.
Tegaknya Hukum Penting
Presiden menegaskan, tegaknya hukum terasa makin penting, sebab dalam gerak pembangunan yang telah banyak mencapai kemajuan sekarang ini tidak jarang timbul kecemasan karena adanya perbuatan2 tercela seperti korupsi, penyelewengan keuangan negara, penyalahgunaan wewenang dan tindakan2 melanggar hukum lainnya, baik yang dilakukan oleh pejabat2 pemerintahan maupun anggota masyarakat.
Hal2 negatif inilah yang tidak sedikit menutup pandangan masyarakat atas kemajuan2 yang telah dicapai dengan susah payah di berbagai bidang pembangunan. Ini semakin berbahaya bila masyarakat hanya melihat kelemahan2 saja selama ini, sehingga tertutup penglihatannya akan kemajuan2 yang telah dicapai.
Presiden menegaskan, adalah lebih berbahaya apabila kelemahan2 itu sengaja dibesar2-kan oleh orang luar atau oleh orang2 di sini yang sengaja ingin mengganggu jalannya pembangunan.
“Membesar2kan kelemahan di luarukuran yang sewajarnya sungguh2 berbahaya, karena hal itu bukan saja tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi terlebih2 dapat menghilangkan kepercayaan pada diri sendiri dan dapat menimbulkan suasanakelesuan dan keresahan yang tidak ada dasar alasannya,” kata Presiden.
Dalam hubungan inidengan tegas dikemukakan, bahwa
“pemerintah tidak ragu2 untuk menindak dan menertibkan apa yang harus ditindak dan ditertibkan. Karena itu tegaknya hukum sungguh2 merupakan keharusan”.
Presiden mengemukakan, tegaknya hukum mempunyai fungsi yang sangat penting dalam memperlancar dan mengamankan pelaksanaan pembangunan, terutama dalam menciptakan rasa keadilan dan rasa tenteram di hati setiap orang.
“Tanpa perasaan tenteram dan adil, maka kehidupan lahiriyah kebendaan yang ber-limpah2 sekalipun, tidak akan mampu memberikan kebahagiaan yang utuh kepada kita semua, dan karenanya tidak akan memberikan suasana kegairahan bekerja dan berusaha dalam rangka pembangunan,” demikian Presiden Soeharto. (DTS)
Sumber: ANTARA (05/03/1977)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IV (1976-1978), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 521-523.