IBU TIEN: SEBELUM TULIS LIHATLAH “KOCO BENGGOLO”

IBU TIEN: SEBELUM TULIS LIHATLAH “KOCO BENGGOLO”

 

 

Jakarta, Suara Karya

Sebelum menulis suatu berita, wartawan perlu melihat koco benggolo (kaca besar). Artinya, jangan menyakitkan orang kalau dirinya sendiri tidak mau disakiti.ltu juga dapat berarti perlunya pandangan jauh ke depan.

“Hindari menulis untuk kepentingan kecil sesaat tetapi akibatnya meninggalkan kepentingan yang lebih besar dan untuk jangka panjang,” demikian pandangan lbu Tien Soeharto yang dikemukakan kepada sejumlah wartawan kebudayaan di kediaman Jalan Cendana, Senin.

Para wartawan yang dipimpin oleh Ny. Lastri Fardani Sukarton akan menyelenggarakan Pameran lukisan Sri Hadhy dan Asmat ’89 pada tanggal 25 dan 26 Mei mendatang, lbu Tien Soeharto menyambut baik prakarsa itu serta menyatakan kesediaannya membuka pameran tersebut.

Menurut lbu Tien, pers Indonesia dalam pemuatan berita perlu mempunyai tenggang rasa apalagi kalau menyangkut pribadi seseorang, di samping kualitas pemberitaannya terus ditingkatkan. Ia memberi contoh, ketika beberapa tahun lalu pers masih suka memuat berita sensasional, oplahnya hanya sedikit.

Tetapi kini semakin suatu koran atau majalah itu berbobot, oplahnya akan semakin banyak. “Masyarakat kini menuntut berita yang berbobot, bukan berita sensasi,” ujarnya. Karena itu pula Ibu Tien Soeharto menyambut baik setiap usaha guna meningkatkan wawasan dan kualitas wartawan Indonesia.

Dikatakannya, walaupun pers Indonesia dan pers Barat sama-sama berperan dalam membentuk opini publik tetapi nilai yang dianut berbeda. Pers Indonesia menganut pandangan hidup Pancasila sedang pers Barat lebih mengutamakan kepentingan individu sehingga lebih menjurus ke komersialisasi berita.

Mengungkapkan apa yang dirasakannya Ibu Tien berkata “Saya juga pernah diutak-atik pers tapi ya njegreg saja wong niat saya baik,” tuturnya seraya menambahkan bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini termasuk dirinya. Menyadari kekurangannya itu pula maka Ibu Tien memilih untuk diam saja.

“Kalau saya membela diri belum tentu saya betul, biar Tuhan Yang Maha Tahu saja yang menilai,” tutumya dengan nada lembut.

Menurut Ny Lastri Fardani Sukarton, istri Jaksa Agung yang juga wartawan itu, dari hasil pameran lukisan Sri Hadhy sebagian besar akan disumbangkan kepada Yayasan Kemajuan dan Pengembangan Asmat yang pada bulan Juni mendatang akan mengadakan pagelaran kebudayaan Asmat di Eropa.

 

 

Sumber : SUARA KARYA (16/05/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 156-158.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.