IBU TIEN SOEHARTO SENANG WARNA LEMBUT YANG TIDAK MENCOLOK[1]
Jakarta, Suara Pembaruan
lbu Tien Soeharto mengenakan rok terusan lengan panjang bermotif kembang kembang. Dengan bahan sifon dan model bersahaja, busana lbu Tien didominasi warna biru. Kendati tanpa aksesori, tapi seperti biasanya lbu Tien tampil anggun, keibuan, dan begitu serasi. Itulah kesan yang digambarkan oleh panitia penyelenggara pemilihan The Best Dressed of ASEAN 1992 ketika diterima lbu Tien di kediamannya Jalan Cendana, belum lama ini. Panitia yang diketuai oleb Roy M. Mahieu dalam pertemuan dengan lbu Negara itu didampingi pula oleh Ny. Nuk Hediyanto, Robby Maramis, dan dua peragawati, Ratih Sanggar dan Okky Asokawati.
Pertemuan itu berlangsung akrab dan berkesan kekeluargaan Ibu Tien dengan suara lembut seperti cirinya bertutur, kenapa ia yang terpilih. “Kan masih banyak yang lebih bagus, yang lebih muda-muda. Pakaian saya biasa-biasa kok. Dan lagi saya kan sudah tua, “tutur lbu Tien.
lbu Tien Soeharto memang menjadi salah satu yang terpilih dalam pemilihan Best Dressed of ASEAN yang diselenggarakan oleh Roy E. Mahieu. Selain lbu Tien juga dipilih tokoh-tokoh ASEAN lainnya antara lain Sultan Hassanal Bolkiah (Brunei Darussalam), Ratu Sirikit (Muangthai), dan Permaisuri Agung Tuanku Bainun (Malaysia).
Dalam setiap penampilannya lbu Tien selalu mengenakan setelan kebaya yang serasi dan busana-busana terusan buatan dalam negeri dengan model sederhana. Busana-busana lbu Tien penuh variasi warna, masih dalam nuansa lembut
“Semua warna saya senang. Tapi kalau dapat warna yang lembut, yang tidak terlalu mencolok. Kadang-kadang saya juga memakai warna terang. Lebih senang warna yang tidak mencoloklah, “tutur lbu Tien ketika ditanya panitia pemilihan tentang warna kesukaannya.
lbu Tien mengakui, untuk model-model baju lebih cenderung memilih satu model yang sederhana saja. Biasanya Ibu Tien menyediakan bahan dan model yang diinginkan, lalu baru diberikan kepada penjahit. “Pakaian itu tidak perlu harus yang mahal-mahal, asal enak dipakai saja, ” tambahnya.
Adapun menurut penyelenggara, pemilihan tingkat ASEAN ini baru pertama kali mereka selenggarakan, dan malam penobatan akan dilangsungkan di Jakarta, bulan September mendatang. Terpilihnya Ibu Tien, menurut penyelenggara lebih dititikberatkan pada figur Ibu Tien sebagai First Lady yang selalu tampil lembut dan keibuan baik terhadap suami, anak-anak, maupun rakyatnya.
Kriteria
Figur Ibu Tien juga dinilai penuh kesederhanaan, tampil apa adanya, dan selalu merendah, sehingga pantas menjadi panutan sebagai wanita Indonesia. Kriteria pemilihan ini sendiri menurut Roy berpatokan pada seseorang yang aktif dalam kegiatan sosial, tampil rapi dan serasi dengan busana produksi dalam negeri. Selain kelebihan yang sudah disebut itu, Ibu Tien juga memenuhi kriteria yang telah digariskan penyelenggara.
“Terpilihnya Ibu Tien saina seperti terpilihnya Ratu Sirikit dari Muangthai. Dalam kesehariannya, beliau mampu menampilkan kesederhanaan dan kepribadian negaranya, ” ujar Okky Asokawati.
Ibu Tien sendiri dalam pertemuan itu mengatakan bahwa mereka yang terpilih punya beban berat. Sebab harus berusaha untuk mempertahankan citranya di lingkungan masyarakat, baik mengenai busana, tindak-tanduknya, serta harus mampu mempertahankan predikat tersebut.
“Banyak yang memberikan ucapan selamat, dan saya heran, karena saya belum tahu kalau ikut terpilih,” tutur Ibu Tien.
Dalam tatap muka itu, menurut Roy, Ibu Tien juga sempat menanyakan persiapan penyelenggaraan penobatan. Ibu Negara berpesan, agar kegiatan ini dapat terus dikembangkan, dengan catatan harus ada tujuannya, sasarannya, terutama tujuan yang bersifat sosial. Lebih jauh Ibu Tien berpesan agar penyelenggara dapat terus konsisten dan kontinyu memilih figur-figur yang dianggap pantas dengan selalu berpatokan pada kriteria yang telah ditentukan itu. (T-9)
Sumber: SUARA PEMBARUAN (30/08/1992)
__________________________________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 815-816.