“IMPROMPTU” WAWANCARA DENGAN PAK HARTO, “REJEKI” BUAT WARTAWAN

“IMPROMPTU” WAWANCARA DENGAN PAK HARTO, “REJEKI” BUAT WARTAWAN

Jakarta, Antara

Wawancara “impromptu” (bhs. Inggeris tanpa dipersiapkan sebelumnya) dengan Presiden Soeharto di Bandara Hang Nadim, Pulau Batam, setelah ia melakukan pembicaraan empat mata dengan PM Singapura Lee Kuan Yew Minggu sore (29/11) oleh sekitar 50 wartawan dianggap sebagai “rejeki nomplok”.

“Wah rejeki nomplok nih, kalau begini bekerja sampai malam pun tak terasa capek,” demikian komentar beberapa wartawan sambil tersenyum ceria atas “kesempatan emas” yang diberikan Pak Harto itu.

Wawancara yang berlangsung beberapa menit sebelum Pak Harto bertolak kembali ke Jakarta itu merupakan “hadiah besar” bagi para wartawan yang kebingungan mencari “teras berita” yang menarik untuk laporan mereka tentang pertemuan antara Presiden Soeharto dan PM Lee.

Kebingungan itu berawal ketika mereka mengetahui acara konferensi pers tidak dicantumkan dalam buku acara kunjungan Presiden dan PM Lee. Menurut buku acara itu, persis setelah pembicaraan selesai Pak Harto mengantar tamunya ke pelabuhan Sekupang untuk bertolak pulang dengan kapal ferry dan dari pelabuhan itu Pak Harto langsung ke bandara dan tinggal landas menuju Jakarta.

Para wartawan yang biasa meliput acara kepresiden mengetahui dan mengerti sepenuhnya bahwa karena alasan keamanan acara presiden tak bisa dirubah. Kebingungan berkembang ketika dari “wawancara secara mencegat” (ada yang menyebutnya sebagai “ambush interview”) dengan Lee Kuan Yew, mereka hanya mendapatkan jawaban-jawaban singkat belaka.

Mengetahui bahwa waktunya tidak memungkinkan untuk berbicara lebih banyak, Lee mengatakan “Kenapa tidak ikut saja naik ferry ke Singapura”.

“Undangan” Lee untuk naik ferry bersamanya dan mendapatkan keterangan pers bersama wartawan Singapura yang menyertainya itu sulit bisa dipenuhi, karena tak semua wartawan membawa passport, di samping adanya kewajiban membayar “fiskal” Rp. 250.000,-.

Kebingungan semakin menjadi-jadi ketika para wartawan mengetahui bahwa Mensesneg Sudharmono, yang biasanya bertindak sebagai juru bicara” untuk acara pembicaraan empat mata seperti itu belum mendapat kesempatan “briefing” dari Pak Harto seusai pertemuan yang memang hanya dihadiri Pak Harto dan PM Singapura itu.

“Belum, belum dapat, mungkin nanti di bandara”, kata Mensesneg Sudharmono sambil cepat-cepat memasuki bus yang akan membawanya bersama rombongan Presiden ke bandara.

Para wartawan dengan nekad mengikuti iring-iringan mobil rombongan presiden ke bandara. Tapi, harapan mereka hampir pupus, ketika mereka mengetahui mobil presiden langsung menuju ke dekat tangga pesawat, yang berarti tidak ada kesempatan lagi bagi Mensesneg untuk mendapatkan keterangan dari Pak Harto untuk kemudian dijelaskan kepada para wartawan.

Mensesneg yang tampak mengetahui kebingungan para wartawan sambil berjalan cepat menyusul Pak Harto mengatakan kepada sejumlah wartawan yang mengikutinya “Coba saja langsung kepada beliau”. Dan “cles” hati para wartawan pun menjadi sejuk ibarat disiram aires, ketika Pak Harto menanggapi permintaan seorang wartawan dengan senyuman dan ucapan “lngin menanyakan apa…….”.

Wawancara dengan Pak Harto seperti itu jarang sekali terjadi, bahkan menurut beberapa wartawan senior merupakan yang pertama kalinya.

Sumber: ANTARA (30/11/1987)

 

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 752-753

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.