INGAT MASA TAHUN 50’AN DAN TANGGUNGJAWAB MORAL YANG MENYERTAI
CATATAN DARI KUNJUNGAN PRESIDEN DI TIGA NEGARA (II-HABIS)
Oleh: R.B. Sugiantoro (Wartawan Kompas)
Semuanya mengingatkan pada Indonesia tahun 1950an dan awal 1960 an kalau sedang menyambut tamu agung. Pengarahan massa dilakukan. Penduduk dan anak sekolah berjajar rapat sepanjang jalan, sejak dari keluar bandara udara Tejgaon sampai Istana Bangabhavan di tengah kota Dacca. Gapura penyambutan didirikan di berbagai tempat strategis. Teriakan selamat datang dan “shindabad” terus-menerus terdengar sepanjang jalan. Belum lagi tetabuhan yang mengiringi para pemuda berjoget gembira.
Penyambutan Presiden Soeharto di ibukota Bangladesh pada Senin 19 November itu memang paling meriah. Pejabat KBRI setempat mengatakan ini memang termeriah selama ini. Melihat banyaknya manusia yang memadati jalan. yang hampir seluruhnya kaum pria, rekannya dari majalah Femina sampai tanya “apa mereka itu tidak bekerja ?”
Kami para wartawanpun merasakan hangatnya penyambutan. Tidak kurang dari tiga kali undangan untuk resepsi dan pertemuan dengan para wartawan setempat diadakan. Umumnya orang Bangladesh memandang dekat sekali hubungannya dengan Indonesia.
Selain sama-sama mayoritas Muslim, juga Indonesia dinilai amat membantu perjuangan mereka. RI termasuk salah-satu negara yang pertama mengakui kemerdekaan Bangladesh, dan Menlu Adam Malik waktu itu adalah Menteri luar negeri pertama yang datang ke Dacca. Ini masih diingat.
Mengunjungi dan melihat Bangladesh, sekalipun cuma sekilas, menimbulkan kesan negeri ini memang masih terbelakang dan miskin. Cara penyambutan yang mengingatkan Indonesia tahun 1950 an, tak berlebihan merupakan perbandingan keadaan sebenarnya juga. ketika kita masih dalam tahap-tahap baru lepas dari penjajahan, banyak ribut di dalam, belum banyak kemajuan sosial, ekonomi, pendidikan dan seterusnya. Begitulah kondisi umum di Bangladesh dewasa ini. Jumlah parpolnyapun tak kurang dari 38.
Kunjungan Presiden Soeharto ke Bangladesh ini tepat waktunya. Pemerintahan Presiden Ziaur Rahman tampak cukup kuat dan mantap untuk berjalan, setelah negeri itu sejak memproklamirkan kemerdekaannya dari Pakistan tahun 1971, terus-terusan tidak stabil dan kadang berdarah pula.
Letjen Ziaur Rahman (43 tahun) merupakan Presiden terpilih yang pertama di negeri itu. Ia telah mengundurkan diri dari dinas militer dan dilantik medio 1978. Entah karena usianya yang jauh lebih muda dari Soeharto, tapi terasa sekali adanya penghargaan dan pengharapan dari kunjungan tersebut.
Pengharapan ini tercermin pula dari sementara tajuk koran-koran di Dacca. Mereka mengharap kerjasama dan uluran pengalaman, khususnya dalam pembangunan.
Apa yang dihadapi Bangladesh, dewasa ini, memang jauh lebih berat dari Indonesia. Negeri ini berpenduduk 86 juta, wilayah dan sumber alamnya terbatas, dan baru sembuh dari segala luka eksploatasi dan peperangan. Rakyat Bengali selama 25 tahun bergabung dengan Pakistan, merasakan pemerasan karena kekayaannya dipakai untuk membangun Pakistan Barat.
Dan setelah merdekapun, ketidak-stabilan mewamai keadaan dalam negeri. Pembangunan menjadi seret. Pemerintahan “Bapak Bangladesh,” Sheikh Mujibur Rahman lama-lama dianggap korup, tidak efisien, bahkan dituduh membuat negerinya bahan penghinaan internasional selalu mengulurkan minta.
Ia berakhir secara tragis. la Dibunuh bersama 46 anggota keluarganya pertengahan Agustus 1975.Tapi foto Mujib, tokoh yang terkenal punya kharisma itu tetap terpasang terhormat di lstana Tangabhavan diruangan penandatanganan dua persetujuan dengan Rl, pada akhir kunjungan Presiden.
Presiden yang bam diangkat, Khondakar Muanhisn Ahmad, bekas Memperindag. Tapi situasi politik tetap memburuk, terjadi kup dan kontra kup. Beberapa bulan kemudian, Ketua Mahkamah Agung Abu Mohamad Sayem menjadi Presiden yang baru, sampai pengunduran dirinya tahun 1977 dengan alasan kesehatan.
Dan muncullah Jenderal Ziaur Rahman, dengan dasar memerintah yang lebih mantap karena terpilih secara demokratis. Menarik pula, kedua bekas Presiden, Khondakar Ahmad dan A. Sayem dalam jamuan kenegaraan di lstana diperkenalkan secara khusus dengan Presiden Soeharto.
lni akan dijadikan kebiasaan kata seorang pejabat Bangladesh, ketika saya tanyakan arti dikenalkannya kedua bekas Presiden itu. Tapi ada kesan, Presiden Ziaur Rahman memang berusaha menunjukkan bahwa pemerintahannya memang stabil, kuat dan mendapat dukungan.
Ziaur Rahman tampaknya ingin menyelamatkan rakyatnya secara sungguh sungguh. Resepnya ialah kerja keras oleh rakyat seluruhnya. Banyak kalangan menyebutkan Ziaur Rahman terpengaruh dan terkesan dengan cara Lee Kuan Yew membangun Singapura.
Dia banyak berkeliling keseluruhnya pelosok negeri, mengobarkan semangat rakyatnya. Tujuan jangka pendeknya ialah mengatasi soal pangan dan kependudukan.
Sehari menjelang Presiden di Dacca, Ziaur Rahman baru saja merencanakan kebijaksanaan pertanian, termasuk soal irigasi dan sebagainya. Pembangunan pertanian dia utamakan, untuk mengatasi soal pangan yang kronis. Sampai ada Pameo bagi Bangladesh, bahwa politik di negeri itu tak lain adalah “politik beras”
Pertambahan penduduk yang pesat, oleh pemerintahan Ziaur dianggap tak bisa ditolerir lagi. Masa depan bangsa ini akan tergantung sekali dari berhasil tidaknya mengontrol pertambahan penduduk, Program KB dijadikan bagian penuh dari segala usaha pembangunan negeri itu. Laju pertumbuhan itu kini antara 2,8 – 3% setahun. Angka yang cukup tinggi. Pemerintah merencanakan tahun 1980 dapat dicapai sasaran 4,7 anak setiap wanita, dari angka 5,6 sekarang ini.
Betapa beratnya jalan yang harus ditempuh Bangladesh, ditambah kondisi serta sumber alam yang serba terbatas, membuat kita lebih tahu diri betapa beruntungnya Indonesia ditengah segala kekurangannya. Indonesia jauh lebih kaya sumber, juga wilayahnya masih luas untuk menampung penduduk. Demikian pula tahap kemajuannya yang beberapa tahun mendahului.
Karena itu, tak heran pembicaraan Presiden Soeharto dan delegasinya, sekalipun terpaksa tidak dapat diikuti Menteri Ekuin Prof. Widjojo yang masih sakit di London, banyak ditekankan pada soal kerjasama perdagangan, teknik, pendidikan, pengalaman dan sebagainya. Indonesia memang masih terbatas kemampuannya. Karena itu pula, tampaknya masih menghindari persetujuan kerjasama ekonomi secara formal.
Dan persetujuan yang ditandatangani Menlu Mochtar dengan Menteri Perencanaan MN Huda menyangkut kerjasama teknik, serta kerjasama pendidikan dan kebudayaan. Sekalipun demikian tidak pelak hal ini membuka lebar peningkatan kerjasama dan keakraban antara kedua negara.
Sebab meski persetujuan itu semula belum ada, pelaksanaannya sudah berjalan dulu, seperti pengiriman tenaga ahli minyak Indonesia, tenaga Bangladesh yang dilatih di Indonesia dalam soal pupuk, perminyakan dan sebagainya.
Soal minyak, memang menjadi topik penting baik di Srilanka maupun Bangladesh. Indonesia beberapa waktu lalu pemah mengirimkan bantuan darurat minyak diesel ke Bangladesh, yang langsung menolong pertanian negeri itu pada waktunya.
Minyak tersebut dipakai untuk menghidupkan pompa-pompa air yang begitu vital bagi pertanian Bangladesh. Dan untuk masa selanjutnya, pada saat-saat memerlukan sekali Bangladesh mengharap dapat memperoleh minyak Indonesia sekitar 200.000 ton setahun.
Sedang dalam soal politik, Bangladesh tampak ingin mendekatkan diri lebih dekat dengan negara-negara Asia Tenggara, khususnya ASEAN. Beberapa wartawan Bangladesh menanyakan kemungkinan negerinya masuk ASEAN dalam suatu konperensi pers dengan Menlu Mochtar. Jawabannya yang umum diberikan dengan menunjukkan ASEAN saja sebetulnya sudah menunjukkan batasan negara-negara anggotanya.
Keinginan kuat Bangladesh ini, mungkin dilatar belakangi kehendak ingin menyeimbangkan dirinya yang dibayangi kekuatan besar kawasannya, yaitu India. Selama kunjungan Presiden Soeharto, di Dacca juga tengah diadakan perundingan dengan India mengenai sengketa pemakaian air sungai Gangga, sementara dikabarkan didaerah perbatasan kedua negara sering terjadi insiden.
Jalan tengah yang dapat diambil sementara ialah pengakuan bahwa Bangladesh karena letak geografinya, memang dapat menjadi semacam ‘jembatan alamiah” antar kedua kawasan, Asteng dengan Asia Selatan. Tinggal mengisi pengakuan ini dengan hal-hal yang bermanfaat, terutama ekonomi.
Kunjungan Presiden Soeharto ketiga negara secara beruntun lnggris, Sri Lanka dan Bangladesh memang menarik. Kita bisa melihat keadaan suatu negara yang sudah mapan dan maju, kemudian menengok dua negara yang keadaannya relatif sejajar atau bahkan belum semaju kita. Ditambah lagi kedua negara sahabat itu tidak dikaruniai sumber-sumber alam yang dalam berkembangan dunia saat ini begitu vital, minyak.
Dari masing-masing negara, tentu diperoleh hasil dan pengalaman sendiri-sendiri. Tapi dad segi politik, umumnya dialog yang diadakan dengan para pemimpin ketiga negara memperjelas berbagai masalah dan perkembangan bilateral, regional maupun internasional. Dan ini tentunya diharapkan melancarkan penyelesaian masalah-masalah besar dunia, seperti Indocina, Utara-Selatan dan sebagainya.
Kalaupun tidak untuk saat ini, tentunya dapat dimanfaatkan sebagai bahan dalam forum-forum yang menangani masalah-masalah bersangkutan. Apalagi bahan-bahannya, langsung saling diperoleh dari tangan pertama.
Selain itu, sekaligus bisa mengurangi ketidakjelasan berbagai masalah khusus, seperti Timor Timur, Rhodesia, sikap yang masih berlawanan dengan upaya menciptakan tata ekonomi dunia yang baru, sikap kritis terhadap OPEC dan seterusnya.
Pendekatan langsung antara para pemimpin negara-negara, berkenalan secara lebih akrab, tentu punya arti dan bobot lebih daripada sekedar lewat para utusan, dubes dan lain-lainnya.
Dalam bidang ekonomi, dengan sendirinya terbuka kemungkinan lebih luas untuk kerjasama, terutama dalam perdagangan. Hal inipun disimpulkan Mensesneg Sudharmono sebagai jurubicara Presiden, ketika menjelaskan hasil-hasil kunjungan.
Dan beberapa hasil konkrit memang dicapai, seperti penandatanganan persetujuan udara dengan Inggris, persetujuan kerjasama teknik dengan Sri Lanka, dan dua persetujuan dengan Bangladesh. Sekalipun istilah “teknik”, tapi tampaknya sengaja diarahkan untuk tujuan lebih kuat.
Dan dari perjalanan rohani yang tak kalah penting, kunjungan ini bisa untuk lebih bercermin mengenal kondisi diri sendiri yang selanjutnya tentu membawa solidaritas dan tanggungjawab oral tertentu ini, terutama terasa terhadap kerjasama dengan Asia Selatan yang dikunjungi. (DTS)
…
Jakarta, Kompas
Sumber: KOMPAS (01/12/1975)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 269-273.