Instruksi Presiden: SUSUN PROGRAM BERANTAS KEMISKINAN DAN KEMELARATAN[1]
Jakarta, Business News
Upaya memberantas kemiskinan dan kemelaratan harus lebih diperhatikan lagi karena jumlah penduduk yang hidup di bawah garis itu masih dinilai cukup besar. Dalam kaitan itu Presiden Soeharto memberi Instruksi kepada anggota Kabinet Pembangunan VI agar menyusun program pemberantas kemiskinan dan kemelaratan. Kepala Negara menginstruksikan tekad pemerintah tadi di hadapan 14 menteri Kabinet Pembangunan VI di Bina Graha Rabu lalu. Ditegaskannya, program tadi supaya diselenggarakan melalui koordinasi yang solid antar-sesama anggota Kabinet. Soeharto menilai, bahwa langkah itu amat stategis mengingat sekitar 27 juta jiwa penduduk masih hidup di bawah garis batas kemiskinan dewasa ini. . .
Menurut Soeharto, dewasa ini terdapat tujuh kelompok masyarakat yang menjadi sumber kemiskinan yang harus ditangani . Mereka adalah para petani gurem yang pemilikan lahannya kurang dari 0,25 ha, buruh tani yang memang tak memiliki tanah, para nelayan, para perambah hutan, pengangguran, mereka yang tak mampu melanjutkan sekolah, serta yang putus (drop-out) sekolah. Mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan itu adalah yang menurut kriteria Biro Pusat Statistik dengan kecukupan makannya di bawah 2.600 kalori.
Dalam kaitan program pemberantas kemiskinan dan kemelaratan itu menurut Soeharto, pembuatan peta situasi dan sumber kemiskinan menjadi sangat penting. Para gubernur diminta agar dengan sungguh-sungguh membuat peta tersebut.
Transmigrasi dan Inpres
Pelaksanaan program transmigrasi merupakan contoh konkrit yang diutarakan Presiden dalam upaya memberantas kemiskinan dan kemelaratan. Program transmigrasi itu dilaksanakan melalui pelaksanaan pembangunan PIR-Transmigrasi, HTI-Transmigrasi, serta pengembangan proyek sektor kehutanan lainnya seperti pemeliharaan ulat sutera.
Dalam pembangunan HTI-Transmigrasi misalnya, di sana bisa ditumbuhkan desa-desa baru bila proyek itu umpamanya menyerap sekitar 300 kk. Dalam hal pengembangan ulat sutera melalui penumbuhan hutan murbai, maka di samping proyek ini merupakan upaya memberantas kemiskinan juga merupakan pelaksanaan penghijauan kembali kawasan hutan.
Menurut Soeharto, sebetulnya upaya pemerataan pembangunan dan penghapusan kemiskinan telah dan sedang dilaksanakan. Upaya tersebut antara lain melalui pelaksanaan program-program Inpres dan sebagainya. Menurutnya, Inpres Inpres itu membawa dampak positif bagi usaha mangurangi jumlah kemiskinan dari semula sekitar 70%, dewasa ini menjadi 15% dari jumlah penduduk Indonesia.
Pembiayaan sektor pembangunan daerah, desa, dan kota selama 24 tahun, menurut data yang dicatat Business News, dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Realisasinya telah meningkat dari Rp 5,9 miliar pada tahun 1969/70 menjadi Rp 2,9 triliun pada APBN tahun 1992/93. Selama 5 tahun terakhir untuk lebih menunjang peningkatan kegiatan ekonomi daerah dan pemerataan pembangunan antar daerah serta menanggulangi kemiskinan melalui Inpres Dati I, Inpres Dati II, Inpres Desa, dan Inpres lainnya anggaran sektor pembangunan daerah desa dan kota terus ditingkatkan dengan pesatnya itu rata-rata sebesar 25,7%, dari Rp 0,9 triliun pada tahun 1987/88 menjadi Rp 2,9 triliun pada tahun 1992/93. Di samping program Inpres tersebut, sejak tahun pertama Repelita V telah dilaksanakan program khusus untuk menanggulangi kemiskinan di daerah-daerah, yaitu program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT). Karena sangat bermanfaat bagi masyarakat miskin, program PKT setiap tahun lebih ditingkatkan dan diperluas. Beberapa tahun ini ju ga dicatat adanya pemanfaatan khusus dari anggaran pembangunan. Untuk mengamankan kesinambungan pembangunan dan mendukung upaya untuk mendinginkan perekonomian yang memanas, pada tahun 1990/91 dan 1991/92 dicadangkan dana masing-masing sebesar Rp 2 triiiun dan Rp 1,5 triliun. Sehingga secara kumulatif sampai dengan tahun 1991/92 cadangan ini tetap mencapai Rp 3,5triliun.
Pengeluaran Menurut Jenis Pembiayaan
Pengeluaran pembangunan di luar bantuan proyek, berdasarkan jenis pembiayaannya, dan dalam hal ini dapat dibedakan pembiayaannya menjadi: (a) departemen/lembaga, (b) pembiayaan pembangunan daerah dan (c) pembiayaan lainnya. Realisasi pengeluaran pembangunan di luar bantuan proyek naik dari Rp 79,8 miliar pada tahun 1968 menjadi Rp 13,8 triliun pada APBN 1992/93. Sementara itu selama 5 tahun terakhir ini pengeluaran pembangunan diluar bantuan proyek meningkat menjadi 2,7 kali lipat dari Rp 5,1 triliun pada tahun 1987/88 menjadi Rp 13,8 triliun pada tahun 1992/93.
Dana pembangunan departemen/lembaga dialokasikan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan sektoral yang menjadi tanggung jawab masing-masing departemen/lembaga yang bersangkutan. Perkembangannya sejak Repelita I selalu menunjukkan pcningkatan. Dana pembangunan proyek-proyek sektoral untuk semua departemen/lembaga naik dari Rp 92,9 miliar pada tahun 1969/70 menjadi Rp 8,0 triliun pada tahun 1992/93. Peningkatan yang sangat pesat terjadi selama 5 tahun terakhir, yaitu dari Rp 1,4 triliun pada tahun 1987/88 menjadi Rp 8,0 triliun dalam APBN tahun 1992/93 atau meningkat menjadi lebih dari 5 kali lipat. Perlu dikemukakan bahwa Iokasi proyek-proyek sektoral tersebut berada di daerah.
Selama hampir seperempat abad bantuan untuk pembangunan daerah juga dialami perkembangan yang pesat, yaitu naik menjadi lebih dari 900 kali lipat dari Rp 5,5 miliar pada tahun 1969/70 menjadi Rp 5,0 triliun dalam APBN 1992/93. Sementara itu, selama 5 tahun terakhir bantuan untuk pembangunan daerah yang jumlahnya telah mencapai Rp 1,3 triliun pada tahun 1987/88 terus ditingkatkan menjadi Rp 5,0 triliun pada APBN tahun 1992/93 atau naik menjadi sekitar 3 kali lipat. Ini merupakan langkah nyata untuk lebih mendorong pembangunan daerah dalam rangka memperkecil tingkat perbedaan laju pertumbuhan antar daerah.
Dalam bantuan pembangunan daerah tercakup bantuan pembangunan desa yang jumlahnya terus ditingkatkan, yaitu dari Rp 2,6 miliar pada tahun 1969/70 menjadi Rp 326,5 miliar dalarn APBN 1992/93. Dibanding dengan realisasinya pada tahun 1987/88 yang mencapai Rp 102,2 miliar, anggaran bantuan pembangunan daerah dalam APBN 1992/93 naik menjadi lebih 3 kali lipat. Dengan demikian jumlah bantuan per desa meningkat dari Rp1,35 juta setiap desa pada tahun 1987/88 menjadi Rp 4,5 juta termasuk Rp 900 ribu untuk pembinaan kegiatan PKK pada tahun 1992/93. Bantuan tersebut ditujukan untuk meningkatkan swadaya dan swakarsa masyarakat pedesaan, termasuk kegiatan wanitanya.
Bantuan Dati I dan Dati II
Sementara itu sejak tahun kedua Repelita 1 (1970/71) bantuan Dati II telah meningkat dari Rp 5,6 miliar menjadi Rp 825,1 miliar pada APBN 1992/93. Bantuan Dari II menunjukkan perkembangan yang pesat selama lima tahun terakhir, yaitu dari Rp 263 miliar pada tahun 1987/88 menjadi Rp 825,1 miliar dalam APBN tahun 1992/ 93 atau rata-rata meningkat sebesar 25,6% per tahun. Pada tahun 1992/93 bantuan untuk semua Dati II untuk pertama kali lebih besar dari bantuan untuk semua Dati I.
Tambahan bantuan Dati II yang cukup besar ini merupakan langkah nyata ke arah pelaksanaan otonomi daerah yang lebih besar pada Dati II, khususnya dalarn rangka menunjang program penanggulangan kerniskinan yang dilaksanakan di daerah-daerah bersangkutan. Di samping itu, bantuan tersebut ditujukan untuk membiayai proyek sarana dan prasarana dimasing-masing Dati II dan kegiatan pembangunan lainnya yang menjadi tanggungjawab Dati II.
Bantuan pembangunan Dati Ijuga terns mengalarni peningkatan, yaitu mencapai Rp 715,5 miliar pada APBN tahun 1992/93 dibanding Rp 20,7 miliar pada tahun kedua Repelita I.
Selama periode 1987/88 1992/93, bantuan Dati I naik menjadi hampir 3 kali lipat dari Rp 290,4 miliar menjadi Rp 715,5 miliar. Kenaikan tersebut ditujukan untuk meningkatkan bantuan per Dati I dari minimum Rp 10 miliar dan maksimum Rp 12miliar pada tahun 1987/88 menjadi rata-rat sebesar Rp 22,5 rniliar untuk satiap Dati I pada tahun 1992/93. Sejak tahun 1990/91 bantuan per Dati I telah ditambah dengan bantuan lain yangjumlahnya bagi Dati I masing-masing disesuaikan dengan luas wilayah daratan administrasinya. Dengan demikian kemampuan masing-masing Dati I dalam menangani pembangunan di daerahnya makin meningkat. Selanjutnya dalam rangka makin memeratakan pendidikan, Inpres SD yang dilaksanakan sejak tahun 1973/74 dengan realisasi anggaran Rp 17,2 miliar dan Inpres Kesehatan yang dilaksanakan sejak tahun 1974/75 dengan realisasi anggaran Rp 5,3 miliar, dari tahun ke tahun kegiatannya terus ditingkatkan.
Selama lima tahun terakhir Inpres SD telah meningkat dari Rp 193,3miliar pada tahun 1987/88 menjadi Rp 669,1 miliar dalam APBN 1992/93. Dengan tercapainya sasaran penyebaran gedung-gedung SD 80 ke seluruh pelosok, bantuan ini makin diarahkan pada kegiatan rehabilitasi, pembangunan kembali dan perluasan gedung gedung SD yang sudah ada serta pembangunan kelengkapannya seperti rumah guru.
Dalam rangka meningkat kan mutu dan memperluas jangkauan pelayanan kesehatan di daerah, bantuan pembangunan kesehatan dalam kurun waktu yang sama ditingkatkan dari Rp 74,0 miliar menjadi Rp 339,1 miliar. Bantuan obat per jiwa telah dinaikkan dari Rp 400 pada tahun 1987/88 menjadi Rp 600 perjiwa.
Sementara itu untuk makin memperlancar arus barangjasa dan penumpang di daerah sejak tahun 1979/80 dilaksanakan Inpres Penunjangan jalan Kabupaten (IPJK) yang antara lain digunakan untuk memperbaiki badan jalan, memperbaiki dan mengganti jembatan dan jalan yang kritis. Dalam perkembangannya Inpres peningkatan jalan terus ditingkatkan dari Rp 13,0 miliar pada tahun 1979/80 menjadi Rp 164,2 miliar pada tahun 1987/88. Selanjutnya sejak tahun pertama Repelita V kegiatan tersebut dirubah menjadi Inpres Peningkatan Jalan Kabupaten dan ditambahkan Inpres Peningkatan jalan Propinsi (IPJP). Selama lima tahun terakhir Inpres peningkatan jalan mengalami kenaikan yang pesat dibandingkan Inpres lainnya, yaitu naik lebih dari 7 kali lipat menjadi Rp 1.173, miliar dalam APBN 1992/93. Pada tahun 1992/93 IPJK mendapatkan anggaran yang terbesar diantara bantuan Inpres lainnya. Hal ini disebabkan jaringan jalan kabupaten sangat penting bagi ekonomi rakyat dan sekaligus sebagai perwujudan upaya untuk makin mengembangkan otonomi daerah.
Berbagai bentuk pembangunan lainnya yang diarahkan untuk mendukung pembangunan daerah adalah bantuan pembangunan dan pemugaran pasar dan bantuan penghijauan dan reboisasi yang dimulai sejak tahun 1976/77 dengan realisasinya masing-masing sekitar Rp 100 juta dan Rp 16 miliar. Bantuan pemugaran dan pembangunan pasar diberikan untuk meningkatkan kemampuan berusaha pedagang kecil dan pengusaha golongan ekonomi lemah.
Pembiayaannya pada APBN 1992/93 dianggarkan Rp 3 miliar. Bantuan penghijauan dan reboisasi ditujukan untuk memelihara kelestarian lingkungan antara lain kegiatan penghijauan dengan melibatkan partisipasi masyarakat setempat. Bantuan penghijauan dan reboisasi selama 5 tahun terakhir meningkat hingga 6 kali lipat dari Rp 16,2 miliar pada tahun 1987/88 menjadi Rp 97,2 miliar dalam APBN tahun 1992/93. Di samping beberapa bentuk bantuan tersebut daerah juga memperoleh dana pembangunan yang berasal dari dana Ipeda yang kemudian digantikan dengan hasil pemungutan PBB sejak bulan Januari 1986. Jumlah yang diterima daerah dari hasil pemungutan PBB merupakan bagian Pemerintah Daerah dari penerimaan PBB setelah dikurangi bagian pemerintah pusat dan biaya pemungutan. Dana Ipeda/PBB sampai dengan tahun 1986/87 mencapai Rp 171,0 miliar dibanding Rp 15,2 miliar pada tahun 1972/73. Sejalan dengan meningkatnya penerimaan PBB, jumlah yang diterima daerah selama lima tahun terakhir telah meningkat pesat, yaitu dari Rp 222,8 miliar pada tahun 1987/88 diperkirakan manjadi Rp 802,4 miliar dalam APBN 1992/93. (T)
Sumber: BUSSINESS NEWS (16/04/1993)
___________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 867-872.