IRAN, INDONESIA DAN AS DI TIMUR TENGAH

IRAN, INDONESIA DAN AS DI TIMUR TENGAH [1]

 

Jakarta, Kompas

PRESIDEN Soeharto hari Rabu (23/11) ini dijadwalkan berada di Iran, untuk kunjungan resmi atas undangan Presiden Ali Akbar Hashemi Rafsanjani, sesudah mengikuti pertemuan tingkat tinggi APEC (Kerja SaMa Ekonomi Asia -Pasifik) di Seattle, AS. Sudah jelas bahwa kunjungan, ke Iran ini akan punya arti penting secara bilateral. Namun yang juga penting adalah makna kunjungan ini dalam konteks perdamaian Timur Tengah, yang prosesnya kini sedang berjalan. Juga peran Iran dan Indonesia dalam proses ini, yang belum banyak dibahas.

Proses perdamaian Arab-Israel yang disponsori AS dan Rusia sama sekali tidak mengikutsertakan Iran. Pertama, karena Iran sendiri tidak mau ikut campur. Iran menganggap, “perdamaian” rancangan AS ini akan diciptakan dengan kerugian di pihak rakyat Arab dan Palestina, dan pada saat yang sama mengamankan kepentingan Israel. Menurut pandangan Iran, sangat kecil prospeknya bahwa Israel akan mau menyerahkan kembali Jerusalem, dengan tempat-tempat suci Islamnya, kembali ke tangan Palestina.

Kedua, di pihak AS sendiri ada kecurigaan terhadap Iran. Pengikutsertaan Iran dalam proses itu, menurut AS, akan lebih banyak menghambat proses “perdamaian ” versi AS ketimbang mendukungnya. Iran kalau mau memang punya cukup potensi untuk mengganggu proses “perdamaian “rancangan AS. Meskipun sejauh ini tidak ada insiden yang mengganggu, yang jelas-jelas bisa diatributkan pada Iran.

Iran diketahui punya hubungan dekat dan mendukung Gerakan Perlawanan Islam atau Hamas (Harokah Muqawamah Islamiyah) di daerah Palestina yang diduduki Israel. Hamas secara tegas menentang persetujuan otonomi terbatas Palestina, yang ditandatangani Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Israel, 13 September lalu di Washington. Iran juga mendukung persenjataan dan finansial kelompok Shiah Lebanon, Hizbullah, yang sering merepotkan Israel dengan serangan­ serangan gerilya ke daerah pendudukan Israel di Lebanon Selatan.

KECURIGAAN AS sebagian berkaitan dengan kepentingan strategisnya, yakni untuk menjamin suplai minyak dari kawasan Teluk Persia, yang merupakan urat nadi ekonomi AS. Dengan surutnya kekuatan Irak pasca Perang Teluk 1991, Iran merupakan kekuatan regional yang patut diperhitungkan, apalagi ia memegang akses ke Teluk tempat lalu lalangnya tanker-tanker minyak.

Tidak heran jika AS terkesan  membesar-besarkan “ancaman “kekuatan militer. Iran. AS meributkan soal pembelian kapal selam dan pesawat ternpur oleh Iran, program nuklir Iran, bahkan mencurigai penjualan tujuh helikopter sipil Super Puma dari Indonesia ke Iran. Di saat yang sama, AS tidak merasa prihatin dengan program seryata nuklir Israel dan mengabaikan keprihatinan negara Arab tentang penjualan puluhan pesawat tempur canggih AS ke Israel, justru sesudah penandatanganan persetujuan damai PLO-Israel. Dalam konteks regional yang lebih luas,AS merasa. perlu menangkal “penyebaran pengaruh Iran” ke negara-negara Muslim diAsia Tengah, bekas republik-republik Uni Soviet. Dengan surutnya pengaruh Rusia pada republik-republik Muslim ini, AS menduga bahwa mereka pasti akan jatuh dalam lingkup pengaruh Iran atau Turki. Jelas bahwa AS lebih suka republik Asia Tengah ini dipengaruhi Turki yang “sekuler” dan pro Barat, ketimbang Republik Islam Iran.

Menurut Paul A Goble dalam Current History (Oktober 1993), pandangan ini menjurus ke kebijakan luar negeri AS yang salah arab, dan mengabaikan faktor-faktor geografis dan historis kawasan itu. Dalam upayanya mempromosikan sekularisme di Asia Tengah, AS justru mendorong pertumbuhan radikalisme Islam, lewat dukungan AS pada regim-regim yang represif sekuler di Asia Tengah. AS sudah melupakan kekeliruannya, ketika mendukung pemerintah otoriter Shah Reza Pahlavi di Iran dulu, yang mana berakhir dengan revolusi rakyat dan naiknya Ayatullah Ruhullah Khomeini ke kekuasaan tahun 1979. Dengan dukungannya pada regim-regim otoriter di Asia Tengah, AS telah mendiskreditkan pesannya sendiri tentang “demokratisasi” dan “hak asasi.”

KAIAU AS melihat Iran sebagai pendorong radikalisme di Timteng, sebaliknya AS melihat Indonesia sebagai kekuatan moderasi. Beberapa pengamat menyebut politik luar negeri Indonesia sebagai negara Muslim yang “pro-Barat.” Namun dalam konteks Timteng, sebetulnya itu kurang tepat. Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Turki misalnya, yang jelas menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan mendukung koalisi Barat dalam Perang Teluk-1991 melawan Irak. Dalam krisis Teluk, meski mengecam invasi Irak ke Kuwait, Indonesia tidak mau ikut­ ikutan mengirim pasukan ke Arab Saudi untuk hergabung dengan koalisi Barat.

Asisten Menlu AS Urusan Timteng Edward Djerejian mengatakan, Indonesia bisa berperan dalam proses perdamaian Timteng. Menjawab pertanyaan Kompas dalam acara wawancara lewat satelit. Worldnet, 28 Oktober lalu, Djerejian mengatakan, Indonesia bisa menjadi penghubung antara dunia Islam dengan Barat dan komunitas dunia lain. Indonesia memang punya potensi untuk itu. Dalam perang Iran-Irak 1980-88, Indonesia adalah negara Muslim yang bisa menjaga hubungan dengan Iran maupun Irak. Dalam Perang Teluk 1991, Indonesia tetap punya hubungan baik dengan Irak maupun koalisi Barat dan negara-negara Arab Teluk.

Indonesia cukup menunjukkan keluwesan kepada AS dan Israel, dengan bersedia menerima kedatangan PM Israel Yitzhak Rabin Oktober lalu. Fakta bahwa Presiden Soeharto menerima Rabin dalam posisi Soeharto sebagai Ketua Gerakan Non Blok (GNB) bukan sebagai Presiden RI mengindikasikan pemerintah sangat sadar akan kepekaan masyarakat Muslim Indonesia.

Namun Indonesia tidak mengiyakan begitu saja harapan AS, agar Indonesia segera menjalin hubungan diplomatik dengan Negara Yahudi itu. Prinsip yang sama diterapkan ketika Indonesia mengecam invasi Irak ke Kuwait tahun 1990, tetapi juga menyesalkan penyelesaian krisis itu lewat kekerasan militer.

Beberapa pengamat Barat yang sebelumnya skeptis akan relevansi GNB di bawah pimpinan Indonesia, kini mau tak mau mengakui bahwa dalam arti tertentu Indonesia telan meraih pengakuan tentang arti penting GNB. Kunjungan pemimpin PLO Yasser Arafat dan PM Rabin ke Jakarta untuk mencari dukungan bagi persetujuan PLO-Israel, dalam selang waktu yang tidak lama, telah menunjukkan pengakuan kedua pihak itu akan pentingnya GNB.

***

KUNJUNGAN Presiden Soeharto ke Iran saat ini adalah langkah yang tepat Dalam arti sempit, ini mempererat hubungan dua negara yang mayoritas penduduknya Muslim dan sama-sama anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI). Indonesia bisa membantu Iran mengurangi keterkucilan  politiknya, dan pada saat yang sama memanfaatkan potensi pasar Iran yang masih terbuka .Dalam arti yang lebih luas, ini memperkuat kerja sama Selatan-Selatan, yang memang ingin dipromosikan Indonesia sebagai Ketua GNB. Peningkatan hubungan Selatan-Selatan iniperlu untuk mengimbangi hubungan Utara-Selatan yang tidak berimbang.

Pengamat Timteng dari LIPI, M Riza Sihbudi, menyebut langkah ini bisa menetralisir kunjungan dadakan PM Rabin ke Jakarta, yang sempat mengejutkan kalangan Muslim Indonesia. Namun yang lebih penting, sebenarnya lawatan Presiden ini merupakan penegasan politik bebas aktifkita, yang berlandaskan pada kepentingan nasional.

Indonesia menjalin hubungan ekonomi yang erat dengan Iran, dan tidak khawatir bahwa pendekatan dengan Iran ini akan memberi konsekuensi yang negatif di dalam negeri ataupun di dunia internasional. Pada tahun 1980-an memang pernah ada kekhawatiran akan penyebaran radikalisme Islam dari Iran ke Indonesia. Kaum muda Muslim Indonesia waktu itu memang sangat terkesan pad a keberhasilan revolusi Islam, dalam menggerakkan rakyat Iran menggulingkan pemerintah otoriter Shah Reza Pahlavi yang didukung AS . Namun langkah pendekatan hubungan Indonesia-Iran sekarang menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia merasa sudah cukup, matang, untuk menangani isu semacam itu. Di segi lain, Indonesia percaya bahwa Iran sekarang lebih memperhatikan pembangunan ekonominya yang ketinggalan ketimbang “penyebaran revolusi”. Gubernur Bank Sentral Iran bulan Juni lalu mengumumkan, Iran merencanakan swastanisasi 20 banknya, yang dinasionalisasi sesudah revolusi Islam tahun 1979. Swastanisasi ini adalah untuk mendorong kompetisi dan menarik lebih banyak investor asing. Prioritas utama Presiden Ali Akbar Hashemi Rafsanjani saat ini adalah menyukseskan reformasi ekonomi, yang-meski dalam beberapa segi menunjukkan keberhasilan -belum mulus berjalan.

Rafsanjani, yang bulan Juni 1993 terpilih lagi sebagai Presiden untuk masa jabatan empat tahun, bertekad untuk melihat Iran memasuki abad ke-21 sebagai kekuatan regional bidang industri, yang bisa memenuhi kebutuhan sendiri. Selama masa kampanyenya, Rafsanjani mengatakan, pemerintahnya memberi penekanan khusus pada restrukturisasi ekonomi Iran, untuk menghentikan ketergantungan pada pendapatan dari minyak bumi. Tekad Iran ini mirip dengan yang dilakukan Indonesia. Dan memang, Iran ingin belajar dari keberhasilan Indonesia mendorong ekspor non migas. Dari berbagai segi, pertemuan Soeharto-Rafsanjani akan berarti positif bagi kedua negara. (Satrio Arismunandar)

Sumber: Kompas (24/11/1993)

_________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 361-364.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.