JAKGUNG: TAK ADA PEJABAT TINGGI MENENTANG PENAYANGAN KORUPTOR
Jakarta, Antara
Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono merasa yakin, tidak ada pejabat tinggi yang menentang penayangan wajah koruptor di televisi, bahkan ia menyatakan, pihaknya menerima banyak dukungan dalam melaksanakan penayangan itu.
“Semua pihak umumnya mendukung, termasuk Majelis Ulama Indonesia dan Muhammadiyah. Kalau koruptor, ya jelas tak setuju,” kata Sukarton menjawab pertanyaan wartawan menjelang sidang kabinet paripurna digedung utama Sekretariat Negara Jakarta, Kamis. Mengenai adanya kritik terhadap program penayangan koruptor itu, Jakgung dengan tangkas menjawab, kita sebagai pejabat jangan takut dikritik. Kritik itu baik asal niatnya baik. Kalau niatnya jelek, itu lain.
Ia berpendapat, setiap kritik yang didasarkan pada iktikad baik dapat membantu pemerintah. Ia mengaku, semua tulisan, baik yang mendukung maupun menentang program penayangan koruptor, telah dibacanya. Terhadap kritik yang menilai koruptor yang ditayangkan di TV sampai sekarang hanyalah “koruptor kelas teri”, Sukarton menangkis dengan berkata, “lho, nilai yang dikorup Rp 40 miliar masa kecil.”
Untuk ke sekian kalinya ia menandaskan, pihak Kejaksaan Agung dalam penayangan koruptor melalui TV itu tidak mengada-ada, melainkan berbuat sesuai dengan apa adanya. “Kalau memang yang ada baru koruptor kelas itu, masa harus diada-adakan yang tidak ada,” sambungnya. Atas pertanyaan lain, Sukarton menyatakan, pihaknya belum pernah menerima telefon atau jenis ancaman lain sejak ia melaksanakan penayangan wajah koruptor di TV.
“Saya masih tetap bisa tidur nyenyak,” ucapnya sambil tersenyum.
Pada kesempatan itu, ia mengakui, sekadar penayangan wajah koruptor di TV memang tidak berarti korupsi akan habis. Penayangan hanyalah salah satu upaya terobosan, sebagaimana pernah dikemukakan Presiden Soeharto, yakni untuk membuat sanksi sosial dan sanksi moral bagi koruptor, katanya.
Jaksa Agung mengungkapkan, perkara tindak pidana korupsi dalam tahun 1989 menunjukkan penurunan tajam dari 1.000 lebih perkara menjadi tinggal 107 perkara. “Kalau untuk menghabiskan sama sekali, saya tidak berani menjamin,” kata Sukarton Marmosudjono.
Sementara itu, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Sarwono Kusumaatmadja di tempat yang sama menyatakan, penertiban dan pendayagunaan aparatur negara bertujuan supaya semua aparat pemerintah berlaku jujur. Ia yakin, strategi pendayagunaan aparatur negara yang tepat pada akhirnya akan menyebabkan orang susah melakukan korupsi.
Namun, kapan korupsi bisa dihilangkan, menurut Sarwono, masalah itu banyak berkait dengan akar budaya, sikap, dan mentalitas orang serta masyarakat. Sebagai contoh, ia menunjuk hasil survei yang dimuat di sebuah surat kabar belum lama ini yang menunjukkan, banyak responden memiliki sikap “ingin cepat dapat, namun tidak mau berikhtiar.” Kalau demikian mentalitasnya, tentu masalah korupsi akan memerlukan waktu lama untuk dihapus, katanya.
Menurut Menpan, langkah yang perlu dilakukan untuk mengatasi hal tersebut antara lain membentuk suatu sistem pengawasan, keteladanan, dan pendidikan moral. “Misalnya, sejak awal anak-anak harus diberi contoh dan dididik agar mau berbuat jujur, kerja keras, produktif, dan menjunjung tinggi akhlak baik,” demikian Menpan Sarwono.
Sumber : ANTARA (28/12/1989)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 554-555.