JANGAN PAKAI UKURAN BARAT [1]
Jambi, Suara Karya
DALAM temu wicara dengan anggota masyarakat di Desa Mandala Barat, Kabupaten Batanghari, Jambi, Sabtu 14 Mei lalu seusai meresmikan Jalan Lintas Timur Sumatera-Presiden Soeharto mengatakan, meskipun terdapat sekitar 25 juta rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, namun jangan berpikir seolah-olah pembangunan selama ini tidak ada hasilnya. “Hasil pembangunan selama ini jelas sangat menggembirakan. Bahkan semua negara berkembang dan negara maju sangat mengagumi dan mau meniru pola pembangunan Indonesia, “kata Presiden.
Namun, menurut Presiden, “Kok sekarang ada di antara bangsa kita, rakyat kita, atau unsur-unsur, atau kelompok- kelompok yang seolah-olah kurang puas, kurang sabar dengan hasil pembangunan, kemudian berbuat sesuatu yang bisa mengganggu stabilitas nasional, bahkan mungkin merusak yang telah kita bangun selama ini. Ini yang harus kita waspadai.” Karena itu Presiden mengingatkan, ukuran kita ukuran orang Timur sebagai orang Indonesia. Jangan menggunakan baju orang Barat karena dengan sendirinya akan kedombyongan (kedodoran), terlalu besar seperti memedi (hantu) di sawah sehingga bisa ditertawai orang.
KALAU ada di antara orang Indonesia yang beranggapan bahwa pembangunan yang dilaksanakan selama ini tidak menghasilkan apa-apa, ini jelas anggapan yang amat keliru. Karena tidak hanya orang luar, tapi rakyat Indonesia sendiri jelas sekali merasakan kemajuan-kemajuan yang kita capai di semua bidang sebagai hasil pembangunan selama Orde Baru. Karena itu, kalau memang ada orang yang kurang puas, kurang sabar dan karena itu melakukan hal-hal yang dapat merusak hasil yang kita capai, ini jelas bertentangan dengan kepentingan bangsa kita. Dan, kemungkinan itu harus dihadapi dengan kewaspadaan tinggi.
Namun, ada pula aspek lain yang perlu direnungkan lebih dalam dari apa yang dikatakan Presiden. Yakni penggunaan ukuran yang tidak cocok dengan pandangan hidup kita sebagai orang Indonesia. Karena memakai baju ukuran orang Barat tidak hanya akan ditertawai orang, tapi juga mencerminkan sikap mental yangjustru bisa merusak tatanan yang kita bangun.
DALAM konteks itu kita ingin minta perhatian yang sungguh-sungguh mengenai berkembangnya kecenderungan di antara lapisan kecil masyarakat kita yang bekejar-kejaran untuk hidup berlebih-lebihan sehingga jurang sosial makin membengkak. Ini tercermin, antara lain, dari adanya lapisan masyarakat yang masih hidup pas-pasan atau bahkan masih di bawah garis kemiskinan di satu sisi, di sisi lain ada pula yang kekayaannya sudah dimasukkan ke dalam kategori orang-orang kaya dunia dengan pelbagai implikasi sosiologinya. Karena itu ukuran yang mereka pakai juga ukuran yang lain.
Kita tidak tahu persis kemungkinan mereka yang tidak puas atau tidak sabar itu juga tergelitik atau paling tidak berangan-angan untuk dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat mengejar ketinggalannya, atau memperkecil jurang sosiologis sehingga melakukan hal-hal yang dapat mengganggu stabilitas nasional. Untuk menetapkan benar tidaknya kemungkinan itu memerlukan observasi yang obyektifkarena untuk mewujudkan masyarakat Pancasila merupakan proses yang panjang. TETAPI justru karena proses panjang yang harus kita lalui itulah semua kita seluruh bangsa, semua unsur dan lapisan masyarakat baik yang sudah berhasil menikmati hasil pembangunan karena mampu memanfaatkan peluang maupun yang belum mampu memanfaatkan peluang akan sangat bijaksana bila tetap menggunakan ukuran Indonesia seperti dikatakan Presiden. Dan, ukuran Indonesia itu secara sosiologis atau tata kemasyarakatan adalah rasa kebersamaan dan kekeluargaan. Seyogyanya pembangunan dalam PJP II benar-benar dijiwai oleh rasa kebersamaan dan kekeluargaan.
Sumber: SUARAKARYA( 17/05/1994)
____________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 55-57.