JANGAN SURUH ABRI “PULANG KANDANG” [1]
Presiden Soeharto yakin, rakyat tidak akan sampai memiliki keinginan untuk menuntut agar ABRI “pulang kandang” hanya berfungsi sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan, serta meninggalkan fungsinya sebagai kekuatan Jakarta, Suara Karya sosial politik. Mengharapkan ABRI pulang kandang berarti mengingkari sejarah perjuangan bangsa.
Kepala Negara mengemukakan itu ketika menerima para peserta Forkomkon (Forum Komunikasi dan Konsultasi) BP7 di Peternakan Tri-S Tapos, Bogor, Jawa Barat, kemarin. Kepada mereka, Presiden Soeharto menjelaskan masalah peranan ABRI di legislatif, konsensus nasional, dan Pemilu.
ABRI dalam menempatkan orangnya di lembaga perwakilan sebenarnya bersikap tepa seliro. Dari 100 orang yang menjadi porsi ABRI, demikian Kepala Negara, sejumlah 25 diserahkan kepada 3 non, yakni non ABRI, non partai, dan non massa. “Itu kan terbukti bahwasanya ABRI tidak serakah, asalkan mempunyai kekuatan untuk menjalankan fungsinya sebagai stabilisator dan dinamisator,” kata Presiden.
Akan tetapi, demikian Pak Harto, ada yang bertanya, “kapan ABRI kembali ke kandangnya”. “Lha ini …, kalau ABRI kembali ke kandangnya, ….nanti dulu !”ujar Presiden. Itu berarti sudah tidak ingat kepada sejarah perjuangan bangsa dan manfaat dari keharusan untuk melaksanakan konstitusi atas dasar konsensus yang ada.
Jadi, lanjut Pak Harto, kalauABRI telah rela melepaskan suaranya kemudian masih dituntut agar fungsinya sebagai kekuatan sosial politik ditiadakan, itu berarti dapat dikatakan,
“diberi hati, merogoh rempelo (diberi hati, minta ampela, Red). “Artinya, kalau rempelonya diambil kan mati. Padahal perjuangan kita sejarahnya tidak demikian,” ujarnya.
Presiden mempertanyakan, apakah rakyat melalui MPR akan sampai menuntut seperti itu, yang berarti mengingkari sejarah perjuangannya. “Saya kira tidak akan sampai ke situ. Walaupun orang yang berfikir barat dengan kaca mata lain akan selalu menuntut kesitu,” kata Presiden. Kesadaran bemegara Pancasila yang telah tumbuh sekarang ini memberikan keyakinan bahwa itu tidak akan terjadi.
Jika sampai ABRI pulang kandang, menurut Presiden, bisa terjadi kejadian seperti disuatu negara di Amerika latin, Angkatan Bersenjata di sana menggunakan senjatanya untuk menunjukkan ketidakpuasannya kepada keputusan. Itu berarti kup, dan kita mencegah agar hal seperti itu tidak terjadi.
Presiden menegaskan,jika ABRI telah duduk sebagai kekuatan sosial politik dan ikut serta sejak dini dalam menentukan haluan negara, berarti bila ABRI tidak puas, adalah tidak puas dengan dirinya sendiri. Sebab, ia ikut menentukan.
“Inilah antara lain yang dilakukan dalam pengamanan pembangunan politik yang tidak banyak diketahui,” kata Presiden. Pembangunan di bidang politik telah berhasil meningkatkan kesadaran rakyat untuk mengetahui hak dan kewajibannya di bidang politik. Meskipun begitu, menurut Pak Harto, banyak pengamat yang tidak melihat kemajuan di bidang politik yang selama initelah diupayakan pembangunannya.
Mata Hati
Pembangunan di bidang ekonomi, ujar Presiden, memang dapat dilihat, menghasilkan bendungan, jalan, gedung, dan bangunan fisik lainnya. Sementara hasil pembangunan di bidang politik tidak bisa dilihat dan diraba. Itu kalau dilihat hanya dengan rata kepala saja. Tetapi jika dilihat dengan mata hati dan pikiran yang rasional, hasil pembangunan dibidang politik itu akan tampak jelas. Kesadaran politik rakyat telah meningkat.
Pertama yang bisa dilihat, kata Kepala Negara, dalam membudayakan mekanisme kepemimpinan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 telah terbukti beberapa kali dapat dilaksanakan walaupun diakui di sana sini terjadi kekurang-sempurnaan. Mekanisme kepemimpinan nasional berdasarkan UUD 1945, rakyat yang berdaulat, yang pelaksanaan kedaulatannya diserahkan kepada wakil wakilnya, tersusun di MPR yang terdiri atas DPR, yang dipilih melalui pemilihan umum, telah berjalan baik. MPR telah dapat melakukan tugasnya sebaik baiknya. yakni memilih Presiden dan Wakil Presiden , selanjutnya dalam melaksanakan GBHN, Presiden dikontrol oleh DPR.
Kondisi itu benar-benar dapat dirasakan dan harus membudaya. Selama Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, terus menepis harus dilaksanakan. Pemilu mendatang diharapkan dapat berjalan dengan baik. Dalam Pemilu yang diadakan tiap lima tahun sekali rakyat diberi kesempatan untuk memperbarui wakil wakilnya yang dipercaya untuk menentukan GBHN dan memilih Presiden dan wakilnya.
“Mudah-mudahan ini dapat berjalan dengan baik tidak kurang sesuai,” kata Presiden. Itu berarti, rakyat menggunakan’ hak pilihnya untuk memilih secara sadar. Sekarang ini, Presiden melihat, masih ada orang yang menilai bahwa kesadaran rakyat untuk memilih hanyalah kesadaran semu yang disebabkan oleh rasa takut. Seolah olah ditakut- takuti penguasa untuk menggunakan hak pilihnya. Pendapat itu, menurut Kepala Negara, sebenarnya terlalu merendahkan apa yang telah dihasilkan selama ini sebagai basil dari pembangunan di bidang politik. Bahkan ada ketakutan akan muncul golongan putih (golput) yang makin banyak. “Saya kira sampai sekarang telah 5 kali Pemilu dengan 90 persen lebih pemilih, kalau ada yang tidak memilih, mereka itu bukan golput, tetapi hanya karena berhalangan sehingga tidak dapat melaksanakan haknya dalam Pemilu, “ujar Presiden.
Konsensus
Akhir-akhir ini, demikian Presiden Soeharto, berkembang isyu konsensus nasional yang hangat dibicarakan di mana-mana. Ada yang mengatakan, konsensus nasional sebagai tidak konstitusional dan bertentangan dengan konstitusi kita. Ada pula yang mengatakan bahwa itu merupakan rekayasa dari seseorang yang mempunyai tujuan tertentu untuk mempertahankan status quo, bahkan untuk mempertahankan agar kekuasaannya tidak goyah.
“Bisa saja mereka mempunyai pandangan yang demikian karena mereka itu tidak mengalami sendiri apa yang terjadi pada saat kita mengembangkan konsensus nasional itu,” kata Pak Harto. Konsensus nasional ketika itu terjadi akibat dari adanya kemacetan ketika melaksanakan Demokrasi Pancasila dengan mengembangkan musyawarah mufakat. Ketika itu terjadi kemacetan dalam pembicaraan mengenai penyelesaian UU Pemilu, UU tentang Susunan MPH/DPR dan UU tentang Penyederhanaan Partai.
Dengan terjadinya kemacetan itu berarti tidak ada keputusan. Kita, demikian Presiden, melihat pengalaman yang teljadi ketika Dewan Konstituante selama 4 tahun tidak berhasil menyelesaikan persoalan dan akhirnya kembali ke Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kembali kepada UUD 1945. Kejadian itu yang tidak akan diulangi lagi.
Setelah terjadi kup PKl yang gagal, menurut Presiden Soeharto, situasi konflik terjadi karena Presiden waktu itu tidak tegas untuk memenuhi keinginan rakyat membubarkan PKl. Akhirnya, lahirlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
“Saya diberi wewenang untuk mengambillangkah yang dipandang perlu untuk menyelamatkan negara dan bangsa. Karena saya mengetahui rakyat ingin agar PKI dibubarkan, maka saya membubarkan PKI, “katanya.
Sepanjang pengetahuannya, ujar Pak Harto, Supersemar hanya digunakan untuk itu saja. Surat itu tidak pernah digunakan lagi walaupun setelah Supersemar itu kemudian mendapat dukungan rakyat. Situasi dan kondisi setelah itu mulai pulih walaupun masih ada konflik.
Karena itu, MPRS dalam tahun 1966 pada sidangnya memberikan pengukuhan terhadap Supersemar melalui Tap MPRS No IX Tahun 1966. Dengan ini Supersemar mempunyai kekuatan hukum konstitusi yang lebih kuat. Isinya sama, tetapi sudah menjadi ketetapan bukan lagi bersifat perintah dari Presiden, tetapi merupakan keputusan MPRS.
Selanjutnya, dari proses yang panjang itu bersama-sama DPR-GR dipersiapkan suatu UU yang mengatur kehidupan politik, kebudayaan, dan keormasan menuju penyederhanaan partai. Hal itu terjadi pada 1967.
Pada 1968 dipandang perlu segera memutuskan pengangkatan Presiden yang definitif, yakni pengemban Tap MPRS No. IX ditunjuk sebagai Presiden untuk menjalankan pembangunan.
Proses itu berlangsung karena waktu itu MPRS tidak mampu menyusun GBHN. Kemudian kepada pengem ban Tap MPRS No.IX ditugasi merencanakan Pembangunan Lima Tahun Selain itu ditugasi pula melaksanakan Pemilu, 5 Juli 1971 sudah harus dilaksanakan dan pada 1973 sudah harus dilaksanakan SU MPR hasil Pemilu.
Perjalanan panjang, hingga akhir 1969 pembuatan UU menjadi macet. Menurut Presiden Soeharto, kemacetan itu bukan karena perbedaan pendapat antara Pemerintah dan DPR, tetapi disebabkan oleh perbedaan yang tajam antara fraksi fraksi yang ada di dalam DPR. Karena itu pemerintah tidak dapat menyelesaikannya.
“Saya sebagai Presiden/Mandataris MPRS dan sebagai pengemban keputusan MPRS No. IX tidak mau hanya diam saja, karena persoalan ini bukan hanya persoalan Mandataris, tetapi juga merupakan tanggung jawab bersama ,” kata Pak Harto. Penyelesaiannya ada dua jalan. Pertama dengan menggunakan Tap MPRS No. IX. Kedua, penyelesaian melalui musyawarah dengan induk partai politik yang waktu itu terdiri atas 9 partai politik dan Sekber Golkar. “Cara atau jalan pertama tidak saya tempuh,” kata Presiden tegas.
Dalam melakukan musyawarah itu, kepada partai politik yang ada diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya. Setelah itu diajak untuk menyamakan pandangan dan landasan baru guna menemukan jalan yang terbaik.
Akhirnya setelah melalui perenungan, jika Pancasila diterima sebagai dasar negara, disadari tentunya, harus juga diterirna sebagai idiologi dan pandangan di dalam hidup bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. “Dengan demikian, kalau kita sudah rnenerima satu ideologi Pancasila, maka ideologi lain harus ditinggalkan. Akhirnya semua OK dan kita laksanakan,” kata Presiden. Setelah semua sepakat landasannya sama, langkah selanjutnya dipikirkan bagaimana menyatukan kekuatan sosial politik yang sudah menerima Pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan pandangan hidup itu untuk bisa menjadi wahana mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur. Dari sini lahir konsensus adanya dua partai politik dari Golkar.
ABRI Ke Pemilu
Kekuatan sosial politik yang ada itu memiliki hak, kewajiban dan kedudukan yang sama. Kemudian bagaimana mereka itu duduk dalam Legislatif Presiden Soeharto mengatakan, kalau sama konsekuensinya ikut Pemilu. Lalu bagaimana dengan ABRI yang juga merupakan kekuatan sosial politik. Apakah ABRI juga akan ikut Pemilu? Terserah. kepada partai-partai. Tetapi, jangan menyesal nanti kalau ABRI yang menang. ABRI tidak membutuhkan mayoritas, tetapi hanya perlu suara yang cukup membuat sedemikian rupa sehingga kehidupan demokrasi berjalan baik. ABRI sebagai prajurit Sapta Marga terikat pada Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya ketika itu ditentukan ABRI tidak usah dipilih dan memilih. Tetapi ada pengangkatan. Karena tidak perlu mayoritas di lernbaga perwakilan, suara yang diperlukan untuk berembug dan bicara maksimum hanya 20 persen.
“Kita sudah bertekad untuk tidak mengubah UUD 1945,” ujar Presiden. Satu-satunya yang sudah konsekuen sesuai dengan Sapta Marga, adalah ABRI. Sebetulnya 2/3 masih bisa untuk mengubah UUD 1945. Jadi keberadaan ABRI di lembaga perwakilan adalah untuk mengamankan UUD 1945 agar tidak bisa diubah-ubah. Untuk itulah ABRI menduduki 1/3 jumlah anggota MPR.
Kemudian, perkembangan selanjutnya, karena ada suara-suara yang menyatakan bahwa pengangkatan ABRI itu kurang demokratis dan tidak sesuai dengan Demokrasi Pancasila karena terlalu banyak porsi sebesar 1/3 itu kemudian diubah dengan ditetapkannya Referendum. Dengan Referendum, jika MPR ingin mengubah UUD 1945, melalui pasal 37, tanyakan dulu kepada yang memberi kepercayaan, yakni rakyat. Bisa diubah atau tidak.
Ini semua adalah konsensus. Melalui konsensus telah berhasil dilakukan pemecahan masalah kemcetan pembicaraan di lembaga perwakilan dalarn soal UU mengenai Pemilu, susunan DPR/ MPR, dan penyederhanaan partai politik. Penyederhanaan belum dilakukan pada Pemilu 1971. Ini atas perrnintaan waktu itu.
Sehingga pada Pemilu 1971 semua masih memakai tanda gambarnya masing-masing.
“Bagi saya silahkan. Sekalian untukmengetahui dan menguji, “katanya. Walaupun belum dilakukan penyederhanaan partai. Hasil Pemilu 1971, pada pembentukan fraksi-fraksi di DPR telah dipilah-pilah menjadi fraksi pembangunan, fraksi demokrasi, fraksi persatuan, dan fraksi ABRI itu terjadi walaupun belum disahkan. Dengan fraksi-fraksi yang ada itu DPR berfungsi, dan fraksi membuktikan dapat menjadi alat berembug di DPR maupun MPR.
Sekarang, apakah konsensus itu akan terus menerus, menurut Pak Harto, konsensus dahulu terjadi karena ada kemacetan . Konsensus menjadi suatu terobosan atas situasi yang macet. Kini setelah segala lembaga negara telah terbangun dan berfungsi, MPR itulah tempat rakyat melakukan konsensus nasional. Berubah atau tidak, semuanya ada ditangan rakyat. (K-1)
Sumber: Suara Karya (17/02/1992)
________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 653-658.