JAUHKAN DIRI DARI SIKAP “OJO DUMEH”

JAUHKAN DIRI DARI SIKAP “OJO DUMEH”[1]

 

Mojokerto, Suara Pembaruan

PRESIDEN Soeharto dalam kesempatan temu wicara dalam rangka peringatan Hari Ibu di Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur menjawab pertanyaan seorang ibu yang mengharapkan resep untuk membangun keluarga harmonis, menguraikan bagaimana sebagai seorang ayah memberi nasihat kepada putra-putrin ya agar tidak menempatkan diri sebagai anak-anak presiden, karena jabatan presiden itu hanya lima tahun.

“Setelah lima tahun kalian anaknya Pak Harto dan Bu Harto, bukan anak presiden lagi.” tegasnya.

Kemudian Presiden Soeharto memberi wejangan dalam bahasa Jawa, ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh (“jangan mudah terkejut,jangan mudah heran danjangan mentang-mentang”). Suatu wejangan yang menurut hemat kita tidak hanya berlaku bagi Pak Harto dalam membina dan mendidik putra-putrinya, tapi bagi setiap keluarga.

Wejangan yang sangat berharga ini pun sebenamya tidak hanya berlaku bagi pembinaan watak, mental dan sikap putra-putri kita, tapi juga berlaku dan perlu diterapkan oleh semua warga dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan beregara. Sebab seperti ditekankan Presiden Soeharto, bila benar­ benar terjadi pada diri kita masing-masing, misalnya, mendapat kedudukan lantas berbuat semau-maunya sendiri, makajelas tindakan seperti itu oleh masyarakat disebut sebagai orang yang mentang-mentang.

LAGI pula, apabila kita menoleh ke belakang, kepada peristiwa kemerdekaan bangsa ini 50 tahun lalu, demikian juga setelah revolusi fisik, banyak orang yang kaget, heran dan bersikap mentang-mentang sebagai bangsa yang baru merdeka. Juga banyak yang salah mengerti. Karena sudah merdeka, lepas dari belenggu penjajahan, berarti bebas melakukan apa saja untuk melampiaskan atau memanifestasikan kemerdekaan itu. Bahkan sering terdengar ungkapan waktu itu,

“Kini kita sudah merdeka sehingga bebas melakukan apa saja yang diinginkan.” sambil melepaskan tembakan.

Oleh karena itulah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pun, wejangan Kepala Negara ojo kagetan, ojo gumunan dan ojo dumeh tersebut perlu dijadikan pedoman. Sebab tidak jarang terjadi, seseorang yang tadinya tergolong jujur, sangat benci terhadap segalajenis perbuatan yang bersifat koruptif, kemudian berputar 180 derajat setelah memperoleh kedudukan. Orang yang tadinya sangat jujur, sederhana dan berdisiplin tinggi, mendadak berubah sangat drastis, menjadi seorang yang selalu menggunakan kesempatan untuk memperkaya diri sendiri. Selalu memanfaatkan peluang yang terbuka karenajabatannya untuk berbuat semau-maunya.

MUNGKIN orang seperti ini tergolong orang yang mudah kaget dan terkejut, kemudian lantas kebingungan dan akhimya berbuat semau-maunya karena mentang­ mentang. Bahkan sebenamya sikap mentang-mentang ini pun dianggap merupakan faktor yang sangat kuat untuk mendorong orang melakukan perbuatan yang sebelumnya tidak terpikir olehnya. Sebab dengan menguatnya sikap mentang-mentang tadi, sering disusul segera oleh sikap mumpung. Sikap yang selalu membisikkan, “mumpung berkuasa, mumpung menjabat, kapan lagi”. Maksudnya kesempatan berkuasa dan menjabat itu tidak selamanya. Oleh karena itu selama masih ada peluang, harus dimanfaatkan semaksimal mungkin menumpuk kekayaan untuk tujuh turunan.

Sikap mentang-mentang pun dalam praktek tidak selalu berbentuk perbuatan bersifat koruptif, secara materi. Dalam arti penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri. Sikap mentang-mentang ini pun sering tercermin dalam bentuk pelayanan publik. Misalnya menyangkut urusan administrasi kependudukan, pelayanan kesehatan, sarana dan prasarana umumjasa angkutan umum, listrik, telepon, air bersih dan lain-lain. Dalam hal ini, karena sikap mentang-mentang tadi banyak oknum petugas yang merasa dirinya bukan melayani, tapi dilayani. Artinya, sikap tadi berkembang menimbulkan rasa sombong, sehingga menganggap dirinya sebagai orang yang harus dihadap karena diperlukan. Tidak justru bersikap sebaliknya, dalam istilah sepak bola “menjemput bola”, yaitu mendatangi atau mengunjungi dan menanyakan apa yang diperlukan oleh para warga.

JADI menurut hemat kita, wejangan Presiden Soeharto tersebut tidak hanya penting dijadikan pegangan oleh para orang tua dalam membina dan mendidik putra­putrinya, tapi juga sangat berguna dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Lebih-lebih lagi bagi para pejabat, wejangan Kepala Negara tersebut perlu dijiwai untuk selanjutnya diterapkan secara nyata dalam menjalankan wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sehari-hari. Wejangan Kepala Negara tadi menjadi makin penting dan relevan untuk diingatkan berkaitan dengan tantangan yang kita hadapi baik secara intemal maupun ekstemal di tahun-tahun mendatang. Misalnya saja dalam hubungannya dengan masalah liberalisasi. Dalam menghadapi era itu tentunya kita tidak perlu kaget atau terkejut dan merasa heran lantas kebingungan sehingga tidak tahu harus berbuat apa. Sebab seperti sering ditekankan Presiden Soeharto, era itu mau tidak mau, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap harus kita hadapi. Jangan karena liberalisasi kita kemudian bersikap mentang-mentang dan lantas berbuat semau-maunya, bertentangan dengan jiwa dan semangat Pasal 33 UUD 45 kita.

Sumber :  SUARA PEMBARUAN (23/12/1995)

_______________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 772-773.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.