JB Sumarlin: Pak Harto Arif, Bijaksana dan Rendah Hati (Bagian 3)

Arif, Bijaksana dan Rendah Hati (Bagian 3)[1]

Krisis Keuangan  Pertamina

JB Sumarlin [2]

 Munculnya krisis Pertamina dapat dikatakan bersamaan dengan munculnya masalah KS. Masalah ini nampaknya bersumber pada keinginan Pertamina untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan, dengan mengadakan perluasan kegiatan-kegiatannya. Menurut UU No.8 tahun 1971, tugas pokok Pertamina meliputi kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi serta penyediaan bahan bakar minyak di dalam negeri. Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan-kegiatan yang ditangani Pertamina makin meluas dan mencakup kegiatan-kegiatan di luar tugas pokoknya yang meliputi antara lain pembangunan hotel, pabrik pupuk terapung, jaringan telekomunikasi, pengadaan tanah, pengadaan kapal tanker samudera, perluasan Krakatau Steel, dan lain-lain. Perluasan kegiatan ini berkembang begitu cepat, terutama setelah harga minyak meningkat. Sebagai akibatnya, utang Pertamina membengkak dan pada pertengahan tahun 1975 mencapai sekitar US$ 10,5 milyar. Sekitar 90% lebih dari jumlah ini merupakan kontrak dengan para kontraktor / supplier luar negeri dan harus dibayar dengan valuta asing.

Utang-utang Pertamina tersebut mencakup sebagian besar pembiayaan sewa beli tanker samudera senilai US$3,3 milyar, proyek KS US$2,4 milyar, proyek telekomunikasi US$180 juta, proyek proyek pekerjaan sipil dalam rangka pembangunan perumahan, gedung kantor Pertamina, hotel, pengadaan tanah, utang-utang dagang dan lain-lain yang meliputi sekitar US$2,5 milyar. Selebihnya adalah proyek pemasangan pipa gas dari Cilamaya ke Cilegon, pabrik pupuk terapung dan lain sebagainya.

Untuk menangani masalah Pertamina ini, Bapak Presiden membentuk tiga tim. Tim yang pertama dibentuk tanggal17 April 1975 dan dipimpin oleh Menteri Perdagangan Radius Prawiro. Tim, ini bertugas untuk mengadakan inventarisasi, meneliti dan menilai seluruh utang dagang Pertamina dengan pihak lain dan memberikan Pertimbangan tentang cara-cara penyelesaiannya. Tim yang kedua dibentuk tanggal 17 September 1975, dan dipimpin oleh Menteri PAN/Wakil Ketua Bappenas. Tim ini diberi tugas untuk mengadakan perundingan kembali semua kontrak-kontrak antara Pertamina beserta anak perusahaannya dengan pihak kontraktor / supplier luar maupun dalam negeri. Kemudian tim yang ketiga dibentuk pada, tanggal 28 November 1975, dipimpin oleh Menteri PAN /Wakil Ketua Bappenas dan Menteri Perdagangan Radius Prawiro. Tugas dari tim ini adalah merundingkan kembali semua kontrak antara Pertamina dan pihak pemilik kapal tanker luar negeri. Bapak Presiden baru mengetahui besarnya kewajiban keuangan Pertamina sebesar US$10,5 milyar itu setelah dilakukan penelitian dan inventarisasi oleh tim tersebut.

Pertamina adalah sumber tunggal besar penerimaan negara dan penghasil devisa terbesar. Oleh sebab itu sangatlah mengejutkan bahwa dalam tahun 1975, perusahaan ini secara mendadak menjadi tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban utangnya kepada kontraktor/supplier luar negeri maupun dalam negeri. Sebagai perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah, utang Pertamina ini dipandang oleh para kontraktor / supplier luar negeri sebagai utang Pemerintah Rl. Hal ini merupakan beban keuangan yang sangat berat bagi pemerintah. Sebagai gambaran, pada tahun 19751/1976 seluruh penerimaan negara dari dalam negeri hanya berjumlah sekitar Rp2.496 milyar atau sekitar US$6 milyar. Sementara itu cadangan devisa yang ada di Bank Indonesia hanya berjumlah US$ 400 juta (bulan Mei 1975), dan hanya setengahnya merupakan cadangan devisa yang lancar.

Keadaan lebih memprihatinkan lagi mengingat bahwa untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya, Pertamina dalam tahun 1974-1975 juga telah mempergunakan sebagian penerimaan minyak dari kontraktor minyak asing, yang seharusnya disetorkan ke Kas Negara, yang meliputi jumlah sekitar US$1 ,2 milyar. Hal ini berarti mengurangi penerimaan negara yang telah dianggarkan dalam APBN. Pemerintah berada dalam posisi yang sangat sulit. Berdasarkan kontrak yang ada, sebagian besar dariUS$10,5 milyar tersebut sudah harus dibayar dalam tahun 1974 dan 1975. Keadaan pemerintah Indonesia pada waktu itu secara teknis keuangan dapat dinyatakan default atau “bangkrut” oleh dunia luar, karena tidak mampu membayar atau memenuhi kewajiban kontrak-kontrak Pertamina.

Menghadapi masalah-masalah yang sulit dan rumit tersebut Pak Harto bersikap tenang, dan tak sedikitpun nampak pada wajah beliau sikap “panik”. Bahkan dalam rangka mencari pemecahan secara mendasar dan tuntas, beliau memberikan petunjuk petunjuk yang lebih jelas dan tegas dalam pelaksanaan renegosiasi dengan para kontraktor / supplier Pertamina. Disamping itu Bapak Presiden juga memberikan pengarahan yang saya pandang sangat bijaksana, yaitu agar sebelum cara pemecahan masalah diketemukan, masalah Pertamina ini cukup diketahui oleh para menteri yang langsung ditugasi oleh Bapak Presiden membantu beliau menangani masalah tersebut. Hal ini dimaksudkan agar para pejabat dalam pemerintahan dan masyarakat tidak menjadi panik apabila mengetahui betapa besar dan berat masalah Pertamina yang dihadapi oleh pemerintah. Sebab, kepanikan di kalangan aparatur pemerintah dan masyarakat justru hanya akan menambah kesulitan dalam mencari pemecahan masalahnya sendiri.

Penelitian terhadap kontrak-kontrak Pertamina yang ada menunjukkan bahwa kontrak-kontrak tersebut memiliki ciri-ciri kelemahan yang hampir serupa dengan kontrak-kontrak Pertamina/ PT KS. Kelemahan-kelemahan kontrak tersebut antara lain sebagai berikut: (1) tidak ada studi kelayakan yang memadai; (2) harga kontrak umumnya melebihi kewajaran harga yang berlaku pada waktu itu; (3) cara pembayaran dengan tunai, dengan jadwal yang ditentukan, tanpa ada kaitannya dengan tingkat kemajuan pekerjaan; (4) pengadaan barang-barang dan penanganan proyek Pertamina umumnya tidak dilakukan melalui tender, ataupun negosiasi kontrak, tetapi melalui penunjukan; dan (5) kontrak-kontrak tersebut diadakan tanpa persetujuan atau sepengetahuan Dewan Komisaris Pemerintah.

Dalam melaksanakan tugas renegosiasi dan peninjauan kembali kontrak-kontrak Pertamina ini, kami menerima petunjuk-petunjuk yang jelas dan tegas dari Bapak Presiden, antara lain: (1) pembayaran kepada kontraktorlsupplier dapat dilakukan bilamana telah selesai hasil renegosiasi mengenai harga dan ruang lingkup pekerjaan. (2) Kontrak-kontrak pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan tugas pokok Pertamina direnegosiasi untuk dibatalkan, atau diserahkan kepada instansi terkait lainnya, setelah diadakan renegosiasi merigenai harga dan lingkup proyeknya. Biaya/beban pembatalan agar diusahakan sekecil mungkin. (3) Kontrak-kontrak pekerjaan yang ada kaitannya dengan tugas pokok Pertamina secara selektif dilanjutkan, namun lingkupnya diperkecil atau pelaksanaannya ditahapkan.

Perundingan kembali kontrak-kontrak pekerjaan sipil dan utang dagang dengan kontraktor dalam negeri relatif berjalan cukup lancar, tidak ada hambatan yang berarti. Namun renegosiasi dengan para kontraktor / supplier asing tidak sedikit mengalami hambatan dan kesulitan. Para kontraktor/supplier asing umumnya berpendirian bahwa “kontrak adalah kontrak” dan kontrak yang mereka miliki adalah kontrak yang sah. Penanganan yang paling sulit di alami dengan kontraktor / supplier kapal tanker samudera, yaitu terutama dengan perusahaan Inter Maritime Management (IMM) di Swiss, milik Bruce Rappaport.

Dalam menangani masalah tanker ini terjadi berbagai konfrontasi terbuka. Pihak kontraktor /supplier tanker berusaha menekan Pemerintah RI melalui media massa luar negeri dengan mendiskreditkan Pemerintah RI, bahwa seolah-olah Pemerintah RI ingkar janji, tidak menghormati perjanjian yang sah yang dibuat antara Pertamina dan para kontraktor/supplier asing. Disamping itu mereka juga mengajukan gugatan melalui pengadilan di berbagai tempat di luar negeri, antara lain di London, Paris, Frankfurt, Singapura, Tokyo, Hawaii, San Francisco, dan New York. Melalui pengadilan, mereka juga berusaha untuk membekukan kekayaan Pertamina yang ada di luar negeri.

Dengan dibantu oleh beberapa ahli hukum yang sesuai, kita melayani gugatan mereka di berbagai pengadilan tersebut di atas. Disamping itu melalui berpabai jalur, kita jelaskan pula kepada pers internasional bahwa kontrak-kontrak yang dibuat Pertamina beserta anak perusahaannya adalah tidak sah. Kontrak-kontrak tersebut dibuat melampaui kewenangan pimpinan Pertamina (ultra vires) dan cara memperoleh kontrak serta harga kontrak tersebut adalah tidak atau kurang wajar, dan oleh karena itu kontrak-kontrak tersebut harus ditinjau ulang dan dirundingkan kembali.

Dalam menangani masalah Pertamina ini, kami yang melaksanakan tugas dari Bapak Presiden merasa mempunyai pegangan yang jelas dan mantap karena sikap Bapak Presiden yang tegas dan konsisten dalam hal ini. Karena itu pulalah kami tidak ragu-ragu dalam menghadapi tantangan-tantangan serta tekanan yang ada pada waktu itu, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Kita: bersyukur bahwa akhirnya kepentingan negara dapat diselamatkan dengan baik. Hasil-hasil renegosiasi dari kontrak-kontrak Pertamina adalah sebagai berikut:

  1. Kontrak-kontrak pekerjaan sipil dan utang dagang yang semula US$2,5 milyar dapat diperkecil menjadi sekitar US$1 milyar.
  2. Kontrak sewa beli tanker samudera dan tanker dalam negeri yang semula membebani Pertamina dengan kewajiban US$3,3 milyar dibatalkan, dengan biaya pembatalan sebesar sekitar US$260 juta.

Dalam rangka menertibkan pelaksanaan fungsi pokok Pertamina, Bapak Presiden juga. memutuskan agar beberapa proyek penting seperti proyek LNG, Kilang Minyak Cilacap, Pupuk Kaltim, pipa gas Cilamaya yang meliputi sekitar US$1, 9 milyar dilanjutkan. Pembiayaan bagi tiga proyek besar, yaitu proyek Krakatau Steel, Telekomunikasi dan Pupuk Kalimantan Timur senilai lebih dari US$2,7 milyar dialihkan kepada instansi pemerintah yang fungsional menanganinya, sehingga mengurangi kewajiban Pertamina. Di samping itu untuk mengamankan penerimaan negara yang berasal dari kontraktor minyak asing, maka Bapak Presiden juga memutuskan bahwa·sejak Mei 1975, semua penerimaan yang berasal dari kontrak karya dan kontrak bagi hasil harus disetorkan langsung ke kas negara, dan tidak lagi melalui Pertamina.

Penanganan masalah Pertamina ini tidak hanya terbatas pada penelitian dan perundingan kembali kontrak-kontrak, tetapi juga mencakup perbaikan fungsi manajemen. Dengan langkah-langkah sebagaimana diuraikan di atas dan dengan makin memperkuat fungsi pengawasan Dewan Komisaris Pemerintah, Pertamina dapat mencapai perkembangan yang menggembirakan sampai sekarang ini.

Dari uraian tersebut di atas, nampak jelas bahwa sikap Pak Harto yang tegas, konsisten serta bijaksana, merupakan kunci keberhasilan penanganan krisis Pertamina. Dalam waktu sekitar dua tahun masalah krisis Pertamina ini telah dapat diatasi secara mendasar, dan mekanisme telah diciptakan untuk memperkecil terulangnya kembali krisis serupa di kemudian hari. (Bersambung)

***


[1]     JB Sumarlin, “Arif, Bijaksana dan Rendah Hati”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 103-128.

[2]     Menteri Keuangan dalam Kabinet Pembangunan V

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.