Arif, Bijaksana dan Rendah Hati (Bagian 4)[1]
Hama Wereng Caklat Tahun 1986
JB Sumarlin [2]
Bahaya serangan hama wereng coklat yang timbul dalam tahun 1986, mengejutkan masyarakat. Pada waktu itu sebenarnya tidak nampak ada tanda-tanda bahaya hama wereng terhadap produksi padi. Kita semua masih dalam suasana bergembira dengan tercapainya sasaran swasembada beras, dan kita semua benar-benar merasa bangga waktu Presiden Soeharto memperoleh kehormatan mewakili negara-negara Kelompok Selatan dalam konferensi tahunan FAO yang ke-40 dan menyampaikan kepada dunia keberhasilan Indonesia mencapai swasembada pangan, terutama beras.
Jalan peristiwanya adalah sebagai berikut. Selama bulan Juli dan Oktober 1986, saya memperoleh informasi dari berbagai sumber tentang adanya serangan hama wereng coklat, khususnya di Jawa Tengah, terhadap hamparan padi dengan varitas padi yang semula dipandang tahan hama wereng. Apabila informasi ini benar, maka hal ini akan mengancam program swasembada beras, dan ini mengingatkan kepada kita semua kerugian yang besar terhadap panenan dalam masa yang disebut “tahun wereng” yaitu dari tahun 1975 sampai 1979.
Pada waktu itu sulit dibayangkan adanya suatu masalah hama wereng, apalagi tidak ada data dan laporan dari instansi resmi di pusat maupun di daerah tentang hal itu. Namun dalam sidang kabinet terbatas bulan September 1986, dilaporkan oleh Menteri Pertanian tentang adanya serangan hama wereng di beberapa daerah dalam periode 1-15 Agustus 1986 meliputi sekitar 4.500 hektar, khususnya di Sumatera Utara dan di Jawa Tengah. Sementara itu sejak pertengahan Agustus diperoleh berbagai laporan yang memperkuat indikasi adanya serangan hama wereng di daerah tersebut dan di beberapa daerah lain.
Pada pertengahan Oktober, berdasarkan laporan Iaporan lapangan dari ahli-ahli hama dari Fakultas Pertanian di Bogor dan Yogyakarta, dapat ditarik kesimpulan bahwa masalah serangan hama wereng ini nampaknya lebih serius dari dugaan semula. Apabila luas serangan wereng coklat di Indonesia dalam bulan Januari September 1985 meliputi sekitar 19.600 hektar, maka untuk periode yang sama tahuh 1986 mencapai sekitar 50.100 hektar, atau meningkat dengan 160%.
Sementara itu, menurut laporan dari dinas-dinas pertanian daerah, keadaan serangan hama wereng periode 20 September-30 Oktober 1986, untuk seluruh Indonesia hanya meliputi 2.500 hektar, jauh dibawah angka-angka tersebut di atas. Dari laporan dinas pertanian daerah tersebut misalnya tercatat serangan hama wereng di Jawa Tengah hanya seluas 961 hektar, dan Jawa Barat seluas 850 hektar.
Gambaran data tentang luas serangan wereng yang berbeda-beda antara laporan resmi dari dinas pertanian daerah dan laporan lapangan dari para ahli, mendorong saya selaku Ketua Bappenas untuk segera mencari kebenaran. Pengecekan mendadak di lapangan saya lakukan pada tanggal18 Oktober 1986 di Pemalang, Purwokerto dan Klaten. Kunjungan ini memperkuat kesimpulan bahwa serangan hama wereng di beberapa tempat di Jawa Tengah memang gawat. Di Kabupaten Pemalang, beberapa desa di Kecamatan Taman dan Petarukan, di bagian utara Pemalang, dan juga di beberapa desa di selatan Pemalang, ribuan hektar sawah rusak total dan sebagian lainnya rusak berat. Para petani di Kabupaten Banyumas umumnya menyampaikan keluhan bahwa mereka telah menderita gagal panen selama 6 bulan, dan 2 kali panen mereka telah rusak karena wereng coklat. Hal yang serupa saya jumpai di daerah Klaten.
Dapat ditambahkan bahwa berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, peningkatan serangan wereng coklat biasanya terjadi pada bulan Desember-Januari dan akan mencapai puncaknya pada bulan Februari-Maret. Dengan demikian musim tanam rendengan yang akan dimulai bulan Desember/Januari 1987 adalah dalam keadaan sangat kritis, mengandung risiko kegagalan yang sangat besar. Serangan hama wereng di Jawa Tengah ini akan sangat mudah menjalar ke daerah Jawa Timur dan Jawa Barat. Perlu dicatat bahwa dari 4,6 juta hektar luas tanaman padi pada musim tanam tahun 1986/1987 di delapan provinsi, sebesar 2,8 juta hektar ditanami varietas rentan.
Saya sendiri bukan ahli pertanian, dan saya tidak mengetahui masalah detail tentang pertanian. Akan tetapi saya menyadari bahwa bahaya hama wereng ini merupakan ancaman yang nyata dan sangat mendesak untuk ditangani sebelum hama wereng menyerang tanaman musim tanam 1987. Apabila langkah-langkah pencegahan tidak diambil secara cepat dan tepat, maka swasembada beras yang baru kita capai tahun 1984 itu akan terancam, dan pada gilirannya akan sangat merugikan para petani serta memberikan dampak negatif bagi kesempatan kerja di daerah pedesaan.
Singkatnya, kita tidak boleh kehilangan waktu. Kita harus berhasil menghentikan serangan wereng tersebut dalam waktu yang tinggal sekitar enam minggu sebelum musim tanam tahun 1987. Hal ini sangat sulit, mengingat kompleksitas keadaan lapangan dan kendala waktu yang sangat mendesak. Saya sendiri berpendapat bahwa hanya dengan dukungan penuh dan keputusan dari Bapak Presiden kesulitan itu dapat diatasi.
Masalahnya ialah bagaimana melaporkan hal yang serius dan mendesak tersebut kepada Bapak Presiden, yang begitu padat kesibukannya, dimana saya sendiri bukan ahli di bidang pertanian dan secara teknis masalah ini tidak termasuk dalam tugas teknis fungsional Bappenas. Kesulitan melaporkan kepada Bapak Presiden itu ditambah lagi dengan kenyataan bahwa semua laporan resmi yang sampai kepada Bapak Presiden itu menunjukkan tidak adanya masalah wereng yang membahayakan tanaman padi secara nasional. Saya mempunyai keyakinan yang kuat bahwa apabila Bapak Presiden menyaksikan sendiri apa yang telah terjadi di Pemalang, Banyumas dan Klaten, beliau pasti akan mengambil langkah yang cepat untuk menanggulanginya.
Namun kebingungan mengenai cara bagaimana menyampaikan hal yang gawat tersebut kepada Bapak Presiden, telah terpecahkan sendiri. Pada hari Senin tanggal 20 Oktober 1986, Bapak Presiden dengan pesawat terbang berkunjung ke Bontang untuk meresmikan proyek Methanol. Saya pada waktu itu selaku Menteri Pertambangan dan Energi ad interim bersama Menteri/Sekretaris Negara Sudharmono dan Menteri Muda/Sekretaris Kabinet Moerdiono, menyertai perjalanan Bapak Presiden tersebut. Didalam pesawat terbang Bapak Presiden secara spontan menanyakan kepada saya: “Saya mendengar jij baru saja mengadakan kunjungan mendadak ke Jawa Tengah, ada apa?”. Dengan gembira saya menjelaskan kepada Bapak Presiden, sebab-sebabnya saya mengadakan kunjungan mendadak serta menyampaikan hal-hal tentang meluasnya serangan hama wereng di beberapa daerah di Jawa Tengah. Beliau dengan sungguh-sungguh mendengarkan laporan lisan saya itu dan selanjutnya memberikan petunjuk agar saya meneliti lebih Ianjut dan segera melaporkan kepada beliau.
Sejak tanggal21 Oktober 1986, saya mengadakan pertemuan dengan pejabat-pejabat serta para ahli/peneliti hama wereng Departemen Pertanian dan dari beberapa universitas. Berdasarkan pembahasan-pembahasan ini, akhirnya pada tanggal 3 November 1986 dapat disusun suatu laporan kepada Bapak Presiden mengenai keadaan serangan wereng coklat pada tanaman padi dan saran tindak lanjutnya. Kesimpulannya adalah bahwa salah satu sebab utama terjadinya peledakan hama wereng ialah pemakaian insektisida secara berlebihan. Penggunaan insektisida yang berlebihan ini telah membuat hama padi seperti wereng menjadi kebal, dan di lain pihak mematikan musuh alami wereng atau serangga pemakan hama wereng (predator), sehingga hama wereng tersebut dapat berkembang biak dengan cepat serta mudah menyebar.
Untuk mengatasi bahaya hama wereng tersebut dan berdasarkan pengalaman dan penelitian yang luas, disarankan untuk menerapkan strategi baru di bidang pengendalian hama yang akan dapat melestarikan musuh-musuh alami wereng coklat (predator). Hal ini dilakukan dengan jalan mengurangi penggunaan insektisida sampai batas minimum, bersama-sama dengan penggunaan varitas tahan wereng yang tepat dan perbaikan pola tanaman. Cara pengendalian ini disebut Pengendalian Hama Terpadu (PHT) atau Integrated Pest Management (IPM).
Setelah mempelajari laporan secara seksama, Bapak Presiden pada tanggal 5 November 1986 mengeluarkan Instruksi Presiden No.3 tentang Peningkatan Pengendalian Hama Wereng Coklat pada Tanaman Padi. Inti pokok daripada Inpres ini ialah bahwa dalam rangka melestarikan swasembada pangan terutama beras, untuk pengendalian hama terpadu, meliputi eradikasi dan sanitasi, penggunaan varitas tahan wereng serta penggunaan insektisida sebagai pilihan terakhir dan dilaksanakan secara bijaksana. Khusus insektisida, ditetapkan bahwa penggunaan insektisida, baru dilakukan apabila cara pengendalian hama yang lain tidak efektif, dan apabila populasi hama diatas diambang ekonomis. Disamping itu jenis dan cara aplikasi insektisida harus memperhatikan kelestarian musuh alami hama wereng coklat. Jenis insektisida yang dapat menimbulkan resurjensi, resistensi, atau dampak lain yang merugikan dilarang digunakan untuk tanaman padi. Dalam hubungan ini Inpres tersebut melarang digunakannya 57 macam/merek insektisida untuk tanaman padi.
Lahirnya lnpres ini cepat sekali, hanya dua hari setelah laporan tentang serangan hama sampai kepada beliau. Dan yang sangat mengejutkan ialah bahwa esok harinya tanggal 6 November 1986, beliau memerintahkan agar delapan gubernur yang daerahnya terkena serangan hama wereng, beserta Kakanwil Pertanian dan dinas pertanian daerah serta bupati dan kelompok tani, berkumpul di Bina Graha untuk memperoleh penjelasan-penjelasan langsung dari Bapak Presiden sendiri.
Dalam pertemuan ini, Bapak Presiden memulai penjelasannya dengan mengatakan sebagai berikut:
“…Pertama-tama saya ingin menyampaikan selamat datang di Bina Graha ini dan juga terima kasih atas kesediaan Saudara saudara para Gubernur dengan beberapa stafnya memenuhi undangan untuk ini hari hadir di Bina Graha…”
“…Tentunya Saudara-saudara sudah bisa meraba-raba apa yang akan dibicarakan mengingat yang diundang atau diminta datang pada umumnya adalah dari pejabat Pertanian, tentunya juga masalah-masalah yang berhubungan dengan pertanian pada umumnya dan khususnya tentu ada satu masalah. Memang rapat dan pertemuan ini kita adakan secara khusus, karena kita dihadapkan kepada suatu keadaan, artinya situasi yang sangat serius serta dikejar waktu untuk segera ada penanganan. Sebab kalau sampai terlambat tentunya akan sangat merugikan kita semuanya dan kalau kita sudah menghadapi suatu yang tidak menguntungkan tentunya juga pada suatu saat cara-cara untuk mengatasi akan lebih sulit.”
Secara panjang Iebar selama hampir dua jam serta tanpa teks, Bapak Presiden menjelaskan secara gamblang mendesaknya penanganan masalah hama wereng coklat dalam rangka menjaga kelestarian swasembada pangan/beras. Dalam uraian ini nampak pula bahwa beliau kurang berkenan akan cara laporan tentang perkembangan-perkembangan serangan hama wereng yang kurang tepat atau tidak terus terang. Untuk itu beliau mengatakan lebih lanjut:
”…Jadi kalau dapat saya katakan dari hasil pengumpulan data, hanya sayang terus terang saja saya peringatkan, rupa-rupanya daerah-daerah itu kurang mengamati dan kurang memberikan angka-angka yang tepat. Mungkin karena menyembunyikan sesuatu, takut kalau konduitenya kurang baik dan sebagainya sehingga memberikan angka-angka yang lebih kecil, tetapi nyatanya sebetulnya lebih besar. Ini jangan terulang lagi, tidak ada masalah. Justru kalau menurut pendapat saya, kalau memberikan angka-angka yang bohong konduitenya nanti akan jelek, karena itu akan mengancam kepentingan nasional…”
”… Jadi kesimpulan adalah bahwasanya serangan hama wereng coklat musim tanam 1986 terhadap gadu sangat potensial untuk meledak pada musim tanam 1986/1987. Yang berarti akan serentak dan mengancam pada tanaman yang besar daripada musim tanam 1986/1987 yang merupakan satu panenan yang besar; dengan demikian pula akan mengancam pada musim tanam 1987 ialah tanaman gadu. Dan akan berakibat fatal pada produksi dan juga swasembada beras pada tahun 1987…”
” …Lha inilah kenyataan yang kita hadapi. Sekarang bagaimana cara mengatasinya, karena ini harus segera kita atasi. Karena memang tidak bisa kita biarkan, kalau dibiarkan kita akan terancain produksi padinya, swasembada beras juga terancam dan yang antara lain terancam adalah rakyat petani akan tidak terisi perutnya, dan akan terancam kehidupannya…”
Presiden Soeharto menjelaskan lebih lanjut mengenai strategi penanganan hama wereng coklat sebagaimana dituangkan dalam Inpres 3/1986, yaitu sebagai berikut:
”… Jadi sebab meluasnya daripada hama wereng coklat musim tanam 1986 itu pertama disebabkan apa? Pertama, karena VUTW (Veritas Unggul Tahan Wereng), Yang disenangi oleh rakyat, apakah itu Cisadane, Krueng Aceh dan PB 42 sudah tidak tahan wereng lagi. Yang tadinya termasuk VUTW tahan wereng, ternyata bahwasanya akhir-akhir ini sudah tidak tahan wereng lagi” .
”…Kedua, adalah insektisida yang tidak efektif itu bisa menyebabkan resistensi, resurjensi, maupun juga peledakan hama sekunder, lantas timbulnya biotipe baru. Dan juga terbunuhnya musuh wereng coklat (predator). Jadi werengnya tidak mati, tetapi justru lawannya wereng yang mati…”
Mengenai dilarangnya 57 macam insektisida yang disebutkan dalam Inpres 3/1986, Bapak Presiden mengatakan:
“… Kemudian ketiga, ini yang berat, kita harus melarang 57 macam insektisida tidak digunakan lagi untuk padi. Hal ini akan menyangkut: satu mengenai rakyat yang sudah terlanjur membeli, dan kedua mengenai para pengusaha. Pengusaha akan berteriak-teriak karena lantas akan kehilangan untung usahanya, tetapi bagaimanapun juga hal ini adalah untuk kepentingan nasional. ..”
Berkat kerja keras dan terpadu dari berbagai intansi terkait dan para petani, maka Inpres 3/1986 dapat dilaksanakan dan berhasil baik. Pada permulaan Januari tahun 1987, daerah seperti Pemalang yang pada bulan Oktober tahun 1986 cukup berat keadaannya sudah jauh lebih baik. Demikian pula di daerah Banyumas, sekitar 25.000 hektar dalam musim tanam 1986/1987 telah dapat diselamatkan dari kegagalan panen.
Perlu disebutkan di sini bahwa bulan November 1986 sampai dengan Maret 1987 merupakan periode yang sangat menegangkan, menantikan hasil-hasil penerapan lnpres, 3/1986. Kebijaksanaan yang tertuang dalam Inpres tersebut memang sangat drastis, dan harus dilaksanakan secepatnya tanpa ada waktu yang cukup untuk mendidik atau menatar para pelaksana dan pelaku terkait. Namun di sini letak keberhasilannya. Pengambilan keputusan, yang cepat dan tepat oleh Bapak Presiden, serta kesediaan beliau sendiri untuk menjelaskan strategi pengendalian hama terpadu kepada para pejabat terkait dan kelompok tani secara langsung, telah menumbuhkan pengertian yang tulus dan mendalam; serta telah menggerakkan para pejabat terkait dan petani untuk mengambil langkah nyata untuk melaksanakan kebijaksanaan tersebut.
Keberhasilan kebijaksanaan tersebut tidak hanya mempunyai arti yang sangat strategis di dalam negeri, tetapi juga memperoleh tanggapan-tanggapan positif di dunia internasional. Lokakarya internasional tentang Wereng Coklat/Padi, yang diselenggarakan pada bulan Desember 1986 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengeluarkan pernyataan sebagai berikut:
“…Lokakarya internasional dari para ahli yang menaruh perhatian terhadap pengembangan strategi pengendalian wereng coklat padi menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap kebijaksanaan yang saat ini dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia seperti yang tertuang pada Inpres 3/1986.
…Kebijaksanaan semacam itu sangat dianjurkan dan merupakan suatu kemajuan yang meyakinkan dalam rangka PHT di Asia. Adopsinya di tingkat nasional merupakan suatu langkah yang maju dan cerah ke arah pertanian abad ke-21.”
Selesai menghadiri lokakarya internasional di Yogyakarta tersebut, empat ahli hama terkemuka di dunia, yaitu Dr. Shepard dari IRRI, Dr. P Kenmore dari FAO, Dr. Perfect dari Inggris dan Dr. K Sogawa dari Jepang dengan disertai Menteri Muda Pertanian Wardoyo (waktu itu), menghadap Bapak Presiden Soeharto untuk menyampaikan penghargaan dan dukungannya atas kebijaksanaan·PHT/IPM yang tercantum dalam Inpres 3/1986. Dalam pada itu Dr. Swaminathan; Direktur Jenderal IRRI di Filipina juga secara khusus menyampaikan kekagumannya terhadap Bapak Presiden Soeharto yang dalam waktu sangat singkat dapat mengatasi krisis hama wereng dan menyampaikan dukungan dan kesediaan IRRI membantu pelaksanaan kebijaksanaan IPM.
Dalam bulan November 1986 suatu konferensi internasional diadakan di Jenewa. Konferensi yang di hadiri oleh para ilmuwan di bidang pertanian dan hama (pestisida) itu membahas Integrated Pest Management (IPM). Konferensi tersebut menerbitkan buku berjudul “IPM Quo Vadis” yang menyebutkan:
This Volume is dedicated to the President of Indonesia who, on November 5, 1986 declared IPM compulsory on rice“.
Selanjutnya pada bulan Juni 1988, dalam sidang IGGI ke- 31, keberhasilan Inpres 3/1986 memperoleh tanggapan positif dari negara-negara dan badan-badan internasional IGGI serta memperoleh pemberitaan luas di media internasional. Dalam bulan Juli 1988, Mr. David R Obey, Ketua Sub Komisi Kongres Amerika tentang Foreign Operations, Financing and Related Program Appropriation, meminta perhatian Kongres tentang kemungkinan penerapan Integrated Pest Management di dunia ketiga, dan memuji Indonesia sebagai perintis yang telah menerapkan Integrated Pest Management dengan berhasil, antara lain sebagai berikut:
“Mr. Speaker, the use of harmful chemical-based pesticides is a common problem in agricultural issues. This is especially so when the issue involves agriculture in the Third World, where the lack of technical knowledge makes the use of hazardous pesticides even more dangerous. That is why I want to bring to my colleagues’ attention two articles that give good news about the possibility of moving away from the use of harmful pesticides to more efficient and safer integrated pest management systems in the Third World. These articles show how the country of Indonesia took a bold step in 1986 and banned 57 types of pesticides and instead, adopted a policy of integrated pest management. Under this policy on a nation wide scale, pesticide use was dramatically decreased, rice production increased, and great savings were accrued to both the government and the nation’s farmers. I regard Indonesia as having been a pioneer in this regard and a nation deserving of our recognition and approbation for these efforts.”
Ini merupakan hal yang pertama kali nama Indonesia tercatat dan memperoleh tanggapan positif dalam pembahasan sidang Kongres Amerika. (Bersambung).
***