JELAS, KITA TAK MAU DIDIKTE NEGARA LAIN
Jakarta, Suara Karya
Indonesia tidak bisa dan tidak mau didikte bangsa lain. Betapapun Indonesia membutuhkan dana untuk membangun bangsa dan rakyatnya, tetapi jangan sampai harus mengorbankan kedaulatan bangsa. Namun, sikap realistis diperlukan, disamping itu sikap antisipasif untuk mencari alternatif sangat dibutuhkan.
Demikian rangkuman percakapan wartawan dengan Wakil Ketua DPR Koordinator Bidang Ekonomi Keuangan (EKKU), Drs. Soeljadi, Wakil Ketua Komisi APBN, Hamzah Haz,dan Wakil Ketua F-KP Bidang Ekku, H Abdullah Zainie SH, Kamis (12/12) secara terpisah di Jakarta. Mereka diminta pendapatnya sehubungan dengan pernyataan Presiden Soeharto yang menegaskan Indonesia menolak bantuan luar negeri yang dikaitkan dengan syarat politik. (SK, Kamis 12/12).
“Seratus persen sependapat dan mendukung pernyataan Presiden bahwa Indonesia tidak bisa didikte oleh negara lain,” kata Drs Soerjadi. Berapa pun Indonesia membutuhkan dana, kalau itu harus mengorbankan kedaulatan bangsa, lebih baik kita tidak terima sama sekali.
PDI, kata Ketua Umum PDI ini, sangat menentang bantuan luar negeri yang dikaitkan dengan politik. Ini harus dijelaskan kepada negara-negara pemberi bantuan tadi. Kitapun harus siap jika negara-negara donor itu akan mengambil sikap yang demikian.
Sementara itu, HAbdullah Zainie SH menegaskan fraksinya menghargai pendapat Presiden Soeharto. Sebab, kita sejak semula telah menetapkan konsensus, nasional dalam GBHN bahwa pinjaman luar negeri tidak dikaitkan dengan ikatan politik, dan bantuan itu hanya sebagai pelengkap saja.
Syarat lainnya adalah berjangka panjang, bunga rendah, berada dalam batas kemampuan untuk membayar kembali, berprioritas tinggi dalam proses pembangunan.
“Indonesia tidak akan menerima bantuan luar negeri jika bantuan itu digunakan sebagai alat untuk mendikte kebijakan politik dan ekonomi dalam negeri,” kata Zainie, tokoh Golkar dari Kalimantan ini.
Dalam bidang ekonomi, negara-negara asing hanya dapat memberi saran atau usul kebijakan ekonomi dan moneter, namun keputusan terakhir tetap berada dalam tangan bangsa dan rakyat Indonesia, kata Zainie.
Antisipatif
Wakil Ketua Komisi APBN, Hamzah Haz dari Fraksi Persatuan Pembangunan mengatakan pernyataan Presiden mempertegas sikap Indonesia selama ini. Kita memang membutuhkan pinjaman tetapi juga harus bersikap antisipatif. Kita harus mencari alternatif lain agar pertumbuhan ekonomi bangsa dan pembangunan bisa terus dilaksanakan.
Hamzah Haz memberi jalan keluar. Misalnya mencari bantuan ke negara-negara Timur Tengah, baik dari pemerintah maupun swasta. Kemudian upaya politik harus terus dilakukan agar negara-negara asing memahami insiden Dilli, yang digunakan berbagai negara donor tadi dengan rencana bantuannya untuk Indonesia. Hal ini penting agar tidak merembet ke negara lain dan melembaga di IGGI.
Sedangkan Zainie berharap agar penggalian sumber-sumber lain dari dalam negeri harus lebih ditingkatkan lagi. Namun barns tetap berpatokan pada kemampuan yang riil ada pada bangsa Indonesia sendiri. “Harus rasional,” kata Zainie.
Sedangkan Wakil Ketua DPR, Dr HJ Naro dalam kesempatan terpisah mengusulkan agar konglomerat-konglomerat diikutsertakan dalam mengatasi masalah perekonomian di tanah air. “Kita harus siap menghadapi boikot mereka,”kata Naro.
Tidak Terpengaruh
Menjawab pertanyaan wartawan sejauh mana pengaruh dihentikannya bantuan tadi terhadap APBN 1992/1993, Hamzah Haz mengatakan tidak ada pengaruhnya. Alasannya, karena masih ada komitmen-komitmen yang telah disepakati yang diperkirakan berjumlah 20-30 milyar dolar AS.
”Yang mungkin terpengaruh adalah pinjaman baru yang sedang dirundingkan atau yang baru diajukan,” kata Hamzah Haz. Hamzah Haz mengakui, bantuan luar negeri ini, mengingat selama 20 tahun membangun Indonesia, bangsa ini selalu defisit dalam neraca pembayarannya, kecuali dalam tahun anggaran 1979/1980 dan 1980/1981 saja.
Menjawab pertanyaan lainnya, bagaimana upaya menyeimbangkan neraca pembayaran, dikatakan pemacuan ekspor dan sekaligus menekan impor. Jangan sampai modal yang masuk ke Indonesia hanya karena tertarik suku bunga yang tinggi. Dan jika tingkat suku bunga tinggi ini terus dipertahankan, maka usaha menengah ke bawah akan terpukul. (SA)
Sumber : SUARA KARYA(13/12/1991)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 410-412.