KARO LH NTB: GORA TIDAK DITERAPKAN SELAMANYA 

KARO LH NTB: GORA TIDAK DITERAPKAN SELAMANYA [1]

 

 

Mataram, Antara

Penanaman padi dengan sistem intensifikasi gogo rancah (gora) ya ng dikembangkan di daerah kritis Pulau Lombok bagian Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB) sejak tahun 1982/83, tidak akan diterapkan selamanya. Pelaksanaan gora merupakan satu sistem tepat guna untuk pemecahan sementara permasalahan di daerah kritis Lombok Selatan, dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian lahan kering (tadah hujan) sekitar 52.000 hektare di daerah tersebut, kata Kepala Biro Bina Lingkungan Hidup, Drs. Djafar Suryadi, Kamis. Sistem gora, katanya, berhasil menghantar NTB menjadi daerah berswasembada pangan sejak 1985, dan mulai 1988 bahkan kelebihan pangan (beras), sehingga ampu membantu pangan bagi 12 provinsi lainnya. Puluhan tahun sebelurnnya, rakyat di daerah kritis Lombok bagian Selatan selalu dihantui bencana kelaparan, akibat kegagalan panen  padi dengan pola tanam tradisional. Akan tetapi pemerintah belurn merasa puas atas keberhasilan itu sehingga secara bertahap terus dibangun waduk atau dam besar untuk mampu mengairi seluruh sawah tadah hujan di daerah kritis Lombok Selatan, katanya.

Menurut Djafar, mengubah sawah tadah hujan menjadi berpengairan teknis adalah tujuan akhir dalam pembangunan pertanian tanaman pangan di daerah kritis itu. Namun, tambahnya, gora harus terus diterapkan dan begitu pula dengan pembangunan prasarana irigasi lainnya, sehingga seluruh lahan kritis tersebut menjadi sawah berpengairan teknis. Djafar memaparkan, waduk Batujai yang mampu mengairi 3.500 hektar sawah, yang diresmikan Presiden Soeharto tahun 1982, hingga kini berfungsi baik dan berdampak positif bagi areal lahan kritis.

Sementara itu kini sedang dibangun waduk Pengga yang dapat mengairi sawah seluas 4.500 hektar dan tahun ini diharapkan dimulai pula pembangunan waduk Pandandure yang mampu mengairi sawah seluas 12.000 hektar.

Sebagai dampak keberhasilan gora, sejak tahun 1990 produksi padi NTB mencapai 1,11 juta ton gabah kering giling (gkg) atau 700.000 ton setara beras. Untuk kebutuhan konsumsi lokal NTB dengan penduduk 3,36 juta jiwa diperlukan sekitar 500.000 ton beras, sehingga terdapat kelebihan 200.000 ton, tutur Djafar Suryadi. (U-Mtr-001/EU04)

Sumber:ANTARA(l0/06/1993)

________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 837-838.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.