KEDUDUKAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN “PEMBANTU” PRESIDEN

KEDUDUKAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN “PEMBANTU” PRESIDEN

 

 

Jakarta, Suara Pembaruan

UNDANG UNDANG DASAR 1945 memberikan kekuasaan, tugas dan wewenang serta tanggungjawab yang besar dan luas kepada Presiden. Semuanya itu dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan seperti yang diatur dalam bab tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara. Bahwa Presiden mempunyai kekuasaan dan tugas yang besar dan luas, dapat dilihat dari beberapa pasal yang dapat dipakai sebagai indikator.

Seperti Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang- Undang Dasar (Pasal 4 Ayat 2), Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang -undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 5 ayat I); Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10), Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain (Pasal 11), Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang- undang (Pasal 12); Presiden mengangkat Duta dan Konsul (Pasal 13 Ayat 1), Presiden menerirna Duta negara lain (Ayat 2), Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi (Pasal 14) dan Presiden memberi gelaran, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan (Pasal 15).

Pada kunci pokok Butir IV Sistem Pemerintahan Negara dikatakan, di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah penyelenggara Pemerintahan Negara yang tertinggi. Dalam menjalankan Pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the President).

Pada bagian akhir dari kunci pokok ketiga berbunyi, “… Ia ialah “mandataris” dari Majelis, ia berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis Konsekuensi Dari ketentuan konstitusional tersebut, jelas bahwa kedudukan Presiden adalah sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan sebagai Mandataris MPR. Konsekuensi logis dari Presiden sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan Mandataris MPR maka Presiden memegang kekuasaan di bidang eksekutif (executive power), berwenang di bidang legislatif (legislative power) dan mempunyai kekuasaan di bidang yudikatif, serta mempunyai tugas untuk menjalankan keputusan-keputusan majelis dalam kedudukannya sebagai Mandataris MPR.

Melihat kekuasaan dan tugas yang begitu besar dan luas, tidak mungkin Presiden mampu melaksanakan dan melakukan semua itu seorang diri. Oleh Undang Undang Dasar 1945 diberikan peluang kepada Presiden untuk mendelegasikan kekuasaan dan tugasnya kepada para pembantunya, seperti yang termuat dalam Pasal 4 Ayat (2) dan Pasal 17 Ayat (1).

Pasal 4 Ayat (2) berbunyi, “dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden. Pasal 17Ayat (1)berbunyi: Presiden dibantu oleh Menteri­ menteri Negara.” Walaupun Wakil Presiden dan Menteri-menteri Negara adalah pembantu Presiden, namun kedudukan serta tanggungjawabnya sangat berbeda. Kepada siapa pertanggungjawaban harus diberikan, itu pun lain.

Dari lima pasal dalam hal yang mengatur tentang Wakil Presiden, tidak ada satu pasal pun yang dengan tegas dan jelas mengatur tentang tugas Wakil Presiden. Kalaupun Pasal4 Ayat (2) tersebut dipakai sebagai acuan, kedudukan Wakil Presiden hanyalah sebagai pembantu Presiden. Dalam hal apa tugas pembantuan tersebut, juga masih kabur. Karena kekaburan serta ketidak jelasan tugas Wakil Presiden, kedudukan Wakil Presiden menjadi sangat unik.

Sebagai pembantu Presiden, Wakil Presiden tidak diangkat oleh Presiden, akan tetapi oleh DPR, demikian juga dengan Presiden. Meskipun Wakil Presiden diangkat oleh MPR, akan tetapi dia bukanlah Wakil Mandataris MPR. Sebagai pembantu, Presiden tidak dapat memberhentikan Wakil Presiden.

Selain itu, walaupun Wakil Presiden diangkat oleh DPR, pertanggungjawabannya diberikan kepada Presiden. Dengan demikian dapat dikatakan, kedudukan Wakil Presiden sebagai pembantu Presiden adalah istimewa. la adalah wakil eksekutif dalam membantu Presiden, baik Presiden sebagai Kepala Negara maupun Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.

Selain kedudukannya yang unik, Wakil Presiden mempunyai kedudukan yang strategis. lni dapat dilihat dalam Pasal 8 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya. Dari ketentuan pasal itu, jelas bahwa yang dapat menggantikan Presiden hanyalah Wakil Presiden.

 

Menteri Negara

Akan halnya Menteri-menteri Negara yang juga adalah sebagai pembantu Presiden, tampaknya Undang-Undang Dasar 1945 lebih memberikan kejelasan.

Pengaturan tentang Menteri Negara sebagaimana terdapat dalam Penjelasan Umum Undang- Undang Dasar 1945 berbunyi, “Presiden mengangkat dan memberhentikan Menteri-menteri Negara. Menteri-menteri itu tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya tidak tergantung dari pada Dewan, akan tetapi tergantung dari pada Presiden. Mereka ialah pembantu Presiden.

Meskipun kedudukan Menteri Negara tergantung dati pada Presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa, oleh karena menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah (power executif) dalam praktik. Sebagai pemimpin departemen, Menteri mengetahui seluk-beluk hal-hal yang mengenai lingkungan pekeaannya.

Berhubungan dengan itu, Menteri mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden dalam menentukan politik negara yang mengenai departemennya. Memang yang dimaksudkan ialah para Menteri itu pemimpin-pemimpin Negara.

Untuk menetapkan politik Pemerintah dan koordinasi dalam Pemerintahan Negara, para Menteri bekerja bersama satu sama lain seerat-eratnya di bawah pimpinan Presiden.

Dengan berpatokan pada landasan konstitusional seperti diuraikan di atas jelas, kedudukan serta pertanggungjawaban Wakil Presiden dan Menteri-menteri Negara sangat berbeda. (1) Wakil Presiden diangkat dan diberhentikan oleh MPR, sedangkan Menteri-menteri Negara diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (2) Wakil Presiden hanya satu orang. Menteri-menteri Negara lebih dari satu. (3) Masa jabatan Wakil Presiden ditetapkan lima tahun, sedangkan masajabatan Menteri-menteri Negara tidak pasti. (4) Wakil Presiden dapat menggantikan Presiden apabila Presiden mangkat/berhalangan tetap, Menteri-menteri Negara tidak dapat. (5) Wakil Presiden diangkat berdasarkan Tap MPR sedangkan Menteri-menteri Negara berdasarkan Keppres. (6) Wakil Presiden bersumpah/berjanji di hadapan MPR dan rumusan sumpah/janji sama dengan Presiden, sedangkan Menteri-menteri Negara bersumpah/berjanji di hadapan Presiden. (7) Kedudukan protokoler dan keuangan Wakil Presiden tidak sama dengan Menteri-menteri Negara.

Kunci pokok ketiga Sistem Pemerintahan Negara pada Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945 menggariskan: Majelis ini menetapkan Undang-Undang Dasar dan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden).

Ketentuan itu menempatkan posisi Presiden dan Wakil Presiden sama atau sederajat, karena keduanya diangkat oleh MPR. Akan tetapi apabila mengacu kepada Pasal 4 Ayat (2), posisi Wakil Presiden hanyalah sebagai pembantu Presiden.

Adanya korelasi yang erat antara kedudukan dan pertanggungjawaban merupakan dalil dalam kaitan dengan tugas dan wewenang dalam pekeijaan. Oleh karena itu, kedudukan dan pertanggungjawaban Wakil Presiden dan Menteri-menteri Negara, perlu disimak dan dikaji lebih mendalam, khususnya tentang Wakil Presiden.

 

Etika

Di muka sudah dikatakan bahwa Wakil Presiden diangkat oleh MPR, akan tetapi tidak bertanggungjawab kepada MPR, tetapi kepada Presiden. Melihat realitas ini, kelihatannya etika yang berlaku secara umum telah diabaikan. Artinya, seseorang yang diangkat harus, bahkan dapat dikatakan mutlak mempertanggung jawabkan tugas yang diberikan oleh yang mengangkatnya.

Praktik ketatanegaraan Indonesia menunjukan, meskipun Wakil Presiden diangkat oleh MPR, akan tetapi dia tidak pernah memberikan pertanggung jawabannya kepada MPR. Hal ini dimungkinkan, karena tidak ada satu pun ketentuan yang mengharuskan Wakil Presiden memberikan pertanggung jawabannya kepada MPR

Dengan demikian, secara konstitusional Wakil Presiden tidak dapat dipersalahkan ataupun dituntut manakala dia tidak memberikan pertanggungjawabannya kepada MPR.

Namun demikian patut dicatat dan diperhatikan, dalam teori hukum, khususnya hukum tata negara, dikenal asas tiada kekuasaan tanpa pertanggungjawaban (Geen macht zonder verontwaderij kheid). Dalam hubungan ini, barangkali sudah saatnya bagi MPR untuk membuat satu ketetapan tentang tugas-tugas Wakil Presiden, sehingga, antara tugas dan pertanggungjawaban akan memenuhi norma dan etika pekerjaan.

Dapat saja misalnya MPR menetapkan tugas Wakil Presiden sebagai Ketua DPA atau ketua BPK. Seperti di Amerika Serikat misalnya, Wakil Presiden adalah Ketua Senat, walaupun tidak mempunyai hak suara.

Jika Wakil Presiden adalah juga sebagai Ketua DPA, maka hubungan yang harmonis sebagai perwuju dan Wakil Presiden harus dapat bekerja sama dengan Presiden dalam tugas-tugasnya, akan lebih memperkukuh makna dwitunggal yang telah lama dilupakan.

Sebagai Ketua DPA yang bertugas memberikan nasihat atau pun pertimbangan dalam menjalankan policy pemerintahan negara, tidak ada salahnya jika Wakil Presiden menduduki posisi tersebut. Atau jika dimungkinkan Wakil Presiden mendapat tugas sebagai Ketua BPK, tugas pengawasan pelaksanaan pembangunan yang sedang dan akan terus berlangsung, dilakukan oleh Wakil Presiden seperti yang terjadi sekarang ini.

Dengan demikian, apabila Wakil Presiden mendap at tugas dari MPR dalam bidang tertentu, tuntutan untuk mempertanggungjawabkan tugasnya kepada MPR akan sejalan dengan makna pengangkatan yang dilakukan oleh MPR. Dengan kata lain, Wakil Presiden tetap bukan Wakil Mandataris MPR.

Tidak berarti bahwa sebagai pembantu Presiden, Wakil Presiden tidak boleh memberikan pertanggung jawabannya kepada Presiden, karena bagaimanapun sampai saat ini tugas yang diemban oleh Wakil Presiden datangnya dari Presiden, sebagaimana yang diatur dalam pasal 8 Tap MPR No.VII/MPR/1973.

 

Alternatif

Andaikan pemikiran tersebut dapat dilaksanakan, timbul pertanyaan, bagaimana dan kapan pertanggungjawaban Wakil Presiden tersebut disampaikan kepada MPR? Ada dua kemungkinan penyampaian pertanggungjawaban tersebut.

Pertama, disampa ika n melalui Presiden dengan memberikan tembusan pertanggungjawabannya kepada MPR pada akhir masa jabatan. Kedua, dapat langsung kepada MPR, dengan tembusan pertanggungjawaban disampaikan kepada Presiden. Pelaksanaannya dilakukan sebelum Presiden mernberikan pertanggungjawabannya sebagai Mandataris MPR di akhir masa jabatan mereka.

Kemungkinan yang pertama dilandasi ketentuan dalam Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan, Presiden adalah Mandataris MPR yang harus tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Sedangkan tembusan disampaikan kepada MPR, karena MPR yang rnengangkat dan juga yang mernberikan tugas. Maka, wajar jika MPR mengetahui sampai sejauh mana tugas yang diberikan itu dilaksanakan oleh Wakil Presiden.

Kemungkinan kedua, tolok ukur yang dipakai adalah, MPR yang mengangkat dan memberikan tugas maka pertanggungjawabannya langsung disampaikan kepada MPR. Artinya, asas tiada kekuasaan tanpa pertanggungjawaban benar-benar dilaksanakan. Pertanggungjawaban ini tidak boleh diartikan sebagai pertanggungjawaban dari Wakil Mandataris MPR, karena mernang Wakil Presiden bukanlah Wakil Mandataris MPR.

Tembusan pertanggungjawaban disarnpaikan kepada Presiden dirnaksudkan agar Presiden rnengetahui sarnpai sejauh mana Wakil Presiden yang selain rnendapat tugas dari MPR juga rnendapat tugas dari Presiden, telah melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya. Selain itu, adalah dalam rangka melengkapi bahan pertanggungjawaban Presiden sebagai Mandataris MPR, kepada MPR pada akhir masa jabatannya.

Pernikiran ini hanyalah merupakan salah satu altematif dan upaya untuk memberikan jalan keluar dari lingkaran kelemahan konstitusional yang ada dalam Undang Undang Dasar 1945, khususnya dalam kaitan dengan masalah kedudukan, tugas dan pertanggungjawaban Wakil Presiden.

Akan halnya Menteri-rnenteri Negara yang juga adalah sebagai pembantu Presiden maka kedudukan, tugas serta pertanggungjawabannya sangat jelas, sebagaimana bunyi Penjelasan Umurn Undang Undang Dasar.

 

 

Sumber : BUSINESS NEWS (19/11/1992)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 163-168.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.