KEHADIRAN PRESIDEN SOEHARTO DI SMU PBB PENTING BAGI PENINGKATAN PERAN GNB DAN INDONESIA

KEHADIRAN PRESIDEN SOEHARTO DI SMU PBB PENTING BAGI PENINGKATAN PERAN GNB DAN INDONESIA

 

 

Jakarta, Kompas

Kehadiran Presiden Soeharto untuk berpidato di Sidang Majelis Umum ke-47 PBB di New York pekan depan sebagai Ketua Gerakan Non Blok (GNB), oleh sejumlah pengamat dinilai tepat dan penting sekali artinya. Kecuali bagi peranan Non Blok dalam ikut mengambil bagian bagi terbentuknya suatu tata dunia baru, juga dalam rangka dialog dan peningkatan peranan GNB di PBB, serta bagi Indonesia sendiri.

Kepala Negara direncanakan akan menyampaikan pidato hasil-hasil KTT X GNB pada tanggal 24 September dalam acara debat umum (general debate). Rombongan akan meninggalkan Jakarta menuju New York hari Minggu malam besok pukul 23.30 WIB, dengan menginap semalam di Genewa, Swiss.

Direktur Pusat Pengkajian Strategi dan Internasional (CSIS) Jusuf Wanandi dalam wawancara dengan Kompas di Jakarta, Jum’at kemarin (18/9) mengatakan, kehadiran Presiden Soeharto nanti merupakan suatu kebanggaan, sekaligus pengakuan yang lebih bagi kemampuan dan hasil Indonesia di mata dunia.

Dikatakan, hasil Indonesia yang telah dicapai melalui KTT X GNB merupakan hasil yang patut dibanggakan. Bahkan hasil itu kemudian layak dikemukakan. Karena itu, melalui penarnpilan dan kemampuan yang dimiliki, pencapaian sasaran GNB lebih bisa diharapkan.

“Terutama karena diberikan oleh seorang pemimpin yang dapat membawa GNB pada strategi baru, dan pada bukti bahwa GNB tetap relevan bahkan penting dalam pembentukan tata dunia baru,” kata Jusuf Wanandi. Penampilan Indonesia di forum internasional ini yang pasti kemudian akan mengikutsertakan GNB dalam tata dunia baru. Dalam hal ini, Indonesia mempunyai tugas memberi peranan GNB dalam tatanan dunia baru serta memperjuangkan kepentingan negara berkembang.

Diharapkan, upaya Indonesia itu mampu membuat tatanan dunia baru lebih demokratis dan memenuhi keadilan. Artinya, untuk memenuhi keadilan itu, dunia harus mengarahkan perhatian pada negara-negara terbelakang atau negara-negara yang benar-benar membutuhkan. Dengan kata lain, pada dekade mendatang, diharapkan telah terjadi keseimbangan yang lebih baik antara negara maju dan berkembang. Namun diakui, upaya ini membutuhkan waktu lama.

 

Sebagai Acuan

Pendapat tersebut diperkuat oleh Dr. Sumaryo Suryokusumo, pengajar Fakultas Hukurn Pasca Sarjana Unpad, Bandung. Dikemukakan, pada saat itu hampir seluruh kepala negara dan delegasi akan menyampaikan pen dapat dalam debat umum (general debate). Bagi Indonesia sendiri, posisi ini akan pula membawa bobot politik yang lebih tinggi di dunia internasional.

Teruta ma, karena Presiden Soeharto pada kesempatan ini akan berbicara mewakili 108 negara GNB. Jumlah ini merupakan mayoritas anggota PBB yang kini beranggotakan 178 negara. Kedudukan sebagai anggota mayoritas tersebut, kata dosen jurusan hubungan internasional itu, akan memberi peluang bagi GNB untuk mengusulkan hasil KTT X sebagai acuan bagi anggota PBB yang juga anggota GNB dan non-GNB.

Bahkan dikatakan, dokumen final yang dikeluarkan sangat layak menjadi acuan karena dokumen itu memuat hasil yang lebih konkret atau telah meninggalkan hal-hal yang bersifat retoris. “Ini untuk yang pertama kali,” kata Sumaryo. Dari sini pula, tambahnya, GNB lalu dapat memainkan peranan yang lebih penting dalam pembentukan kerangka dasar bagi tatanan dunia baru.

Namun untuk itu, lanjut Sumaryo, seluruh anggota GNB harus kompak dalam memberikan suara. Sekali iagi ia menekankan, pentingnya pembentukan Kau kus GNB dalam Dewan Keamanan. Upaya ini, lanjutnya, diperlukan untuk menghindari eksklusivisme kelompok tersebut.

 

Pasti Terjadi

Pada bagian lain Jusuf Wanandi juga menekankan agar Indonesia perlu pula mengatur pertemuan dengan kelompok 7 (G-7). Upaya ini semata -mata untuk melibatkan GNB dalam dialog dengan Utara. Karena sudah menja di tugas Indonesia sebagai Ketua GNB untuk mengupayakan kesempatan bagi negara berkembang menjadi bagian dari tata ekonomi internasional.

Dalam hal ini, Jusuf Wanandi merasa yakin, dialog Utara-Selatan akan tetap terjadi. Ia beranggapan, masalah di dunia ini hanya bisa diselesaikan bila negara berkembang dilibatkan dalam dialog tersebut. Atau dengan kata lain, penyelesaian itu bisa dicapai dengan melibatkan kedua pihak.

Namun ia tidak sependapat dengan anggapan yang mengatakan, terlebih dulu harus memperkuat kerja sama Selatan-Selatan baru kemudian melangkah pada kerja sama dengan Utara. Menurut dia, upaya memperkuat ini harus dijalankan secara simultan dan bersamaan. “Waktu kita pendek, kalau menunggu salah satu kuat, kita kehilangan kesempatan,” katanya.

Direktur CSIS itu menilai, Indonesia dewasa ini dipandang telah mampu membenahi diri melalui program jangka panjang selama 25 tahun, dan keberhasilan itu Indonesia telah mendapat kepercayaan dari negara-negara lain. Selain itu, Indonesia pun mampu menjalin kerja sama dengan negara industri.

Dengan bekal ini, ia yakin, dua sasaran utama dalam GNB akan tercapai. Yaitu, melaksanakan perbaikan PBB dan mengusahakan dialog Utara-Selatan yang lebih kooperatif dan menjunjung kepentingan bersama. Upaya ini harus dimulai, terutama untuk mencapai tatanan dunia baru tersebut.

 

Dokumen Final

Namun untuk mencapai berbagai sasaran tersebut, kata pengamat internasional Juwono Sudarsono, dalam jajaran keanggotaan di badan dunia PBB, Gerakan Non Blok (GNB) harus benar-benar bisa membuktikan kesepakan dokumen final yang dihasilkan dalam KTT X GNB di Jakarta. Bahkan GNB dituntut bisa melaksanakan dokumen final itu dalam tindakan yang realistis, khususnya dalam masa tiga tahun mendatang.

Ia memberi contoh program revitalisasi dan restrukturisasi PBB. Menurut dia, program itu belum bisa dilaksanakan dalam waktu dekat. Dalam waktu tiga tahun mendatang, GNB tidakmungkin mampu merombak susunan DKPBB karena berbagai alasan. Antara lain karena harus mengubah Piagam PBB sendiri, dan harus mendapat persetujuan bulat dari kelima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Perombakan tidak bisa dilakukan bila salah satu anggota tetap tersebut tidak setuju.

Karena itu bagi dia, peluang lebih mungkin bagi GNB untuk lebih berperan dalam PBB, yakni dengan mengusahakan hubungan yang lebih seimbang di badan PBB, misalnya hubungan antaraDewan Keamanan, Majelis Umum, dan Sekretariat. Namun, hal itu berarti memerlukan peranan sentral Wakil Tetap RI untuk PBB di New York, yang kini dijabat oleh Nugroho Wisnumurti. Dalam kaitan itu, lanjutnya, Biro Koordinasi New York menjadi sangat penting.

Biro yang terdiri dari Wakil Tetap anggota GNB untuk PBB di New York, merupakan ajang pertemuan GNB. Menurut Juwono, justru biro ini yang kemudian bertugas mengukur suhu di negara-negara Amerika Latin, Afrika, dan Asia untuk mencari level yang pas dalam menggalang kerja sama.

Di samping itu, PBB perlu mengarahkan perhatian pada negara-negara termiskin di Afrika Selatan, misalnya Mozambik dan Somalia. Juwono melihat dalam hal ini GNB sendiri kurang menunjukkan gelagatnya. Bahkan ia menilai hal ini sebagai salah satu kelemahan GNB. Ia mengambil contoh, dalam KTT X GNB yang baru lalu, GNB hanya menyisihkan dana sebanyak 250.000 dollar AS untuk membantu Somalia. Dana itu pun diambilkan dari dana Africa (Africa Fund).

Untuk itu, Juwono mengatakan, GNB perlu memperluas dana Afrika. Tidak hanya untuk digerakkan bagi kepentingan politik, seperti memerangi rasialisme dan apartheid, tapi seharusnya lebih diarahkan pada dana taktis bagi biaya pembangunan.

Tidak hanya itu, GNB pun harus pula menyediakan cadangan pangan khusus untuk negara Afrika, khususnya Afrika bagian Selatan atau daerah-daerah yang rawan kelaparan. Cara ini menurut Juwono penting, khususnya bila GNB ingin menjaga kreelibilitasnya.

Yang paling penting dalam kiprah GNB selanjutnya, menurut dia, adalah melaksanakan kesepakatan memerangi kemiskinan. “Setelah itu baru kemudian mengerjakan kesepakatan lain, atau hal-hal yang tidak terlalu gawat bagi keselamatan nyawa manusia.” Upaya GNB mengutamakan kerja sama Selatan-Selatan itulah menurut Juwono, justru menjadi bukti konkret keberadaannya dan bisa digunakan sebagai salah satu cara memperkuat kedudukannya di PBB.

 

 

Sumber : KOMPAS (19/09/1992)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 214-217.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.