KELEMAHAN2 DALAM HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH DAN DPRGR
Melebarkan pandagan, artinja meringkas pandangan, Membuka mata artinja menutup mata. Metitjakup semuanja artinja memegang satu. Belum menang, apabila belum berani kalah [1]
Drs. SASTRO KARTONO
Djakarta, Angkatan Bersendjata
Sajang sekali, bahwa para pemimpin kita belum menulis buku2 tentang pengalaman2 mereka pribadi jang praktis dalam seni pengurusan negara dalam pergaulan hidup dewan perwakilan rakjat sehari2, dalam diplomasi dengan negarawan2 masing dsb.
Pengalaman2 perorangan jang praktis mengenai kesulitan2 jang dihadapi, mengenai tjara2 untuk mengatasinja, mengenai kesalahan2 jang diperbuat dsb ini amat berfaedah sebagai pengetahuan bagi para negarawan dan politisi dalam menjelesaikan persoalan2 kenegaraan jang dihadapi pada dewasa ini.
Djuga sangat berguna bagi para peladjar2 muda jang berminta pada ilmu dan seni pengurusan negara. Alangkah baiknja apabila Pemerintah memikiran persoalan memberi dorongan, dan fasilitas ke arab penerbitan buku2 sematjam itu.
HERBERT MORRISON adalah seorang pelajan ketjil berpendidikan Sekolah Dasar. Kemudian mendjadi salah seorang pemimpin terkemuka dari Partai Buruh Inggris jg duduk di Parlemen, mendjadi matjam2 Menteri sampai Deputy Perdana Menteri dalam Kabinet ATTLEE 1945-51.
Dalam bukunja jang berjudul GOVERNMENT AND PARLIAMENT (pemerintah dan parlemen), ia mentjeritakan apa jang dilihatnja dan dikerjakannja tentang seni Pemerintahan dan teknik legislasi, administrasi, dan pengawasan Kabinet.
Menulisnja secara praktis, objektif, dengan gaja jang hidup dan mengesankan. Kita mengetahui bawa sistim Pemerintahan Innggris berlainan dengan sistim Pemerintahan Indonesia.
Disana demokrasi liberal. Disini demokrasi Pantjasila. Disana Kabinet parlementter, disini kabinet presidensiil. Disana program dini anti kapitalisme. Disana tradisionol dan consensionill, disini progressif & revolusioner.
Walaupun perbedaan ideologi dan sistem Pemerintahan ini, namun kita bisa menarik banjak pelajaran dari pengalaman2 HERBERT MORRISON tsb diatas.
Satu diantaranja ialah “that ordinary humans touch is the way a succes be the relations of Ministers with each other in Cabinet, with the House of Commons, and within their departements”. Bahwa sikap kemanusiaan biasa adalah djalan ke sukses dalam hubungan antara Menteri2 satu sama lain dalam Kabinet, antara Menteri2 dan Dewan Perwakilan Rakjat dan departemen mereka masing2.
Tiada gading jang tak retak, udjar rakjat banjak. Djuga dalam hubungan antara Pemerintah dan DPRGR jang “pada lahirnja” kelihatan sudah baik dan memuaskan, njatanja “dalam bathinja” terdap beberapa tjatjad2 jang perlu diperbaiki.
Salah satu gedjala baik dari Orde Baru ialah kenjataan, bahwa para Menteri Utama, Menteri, Sekjen dan Dirdjen sering menghadiri rapat2 pleno, rapat2 komisi dari DPR untuk memberi keterangan2 dan menerima saran2.
Kita melihat wakil2 Kabinet ngobrol dengan ramah tamah dengan wakil2 partai dan wakil2 ormas dan karyawan2, baik di dalam maupun diluar gedung DPRGR.
Semuanja itu menundjukan adanja hubungan erat dan kerdjasama baik antar Kabinet dan DPRGR.
Namun begitu, kita berprihatin menjaksikan adanja gedjala kesimpangsiuran antara Kabinet dan DPRGR. Jaitu mengenai persoalan mana jg harus djambeg paramartakan atau undang2 pokok atau untuk2 tjabang2, undang2 umumnja undang2 chusus.
Menurut ilmu dialektika jg pokok ltu harus didahulukan dari pada jang tidak pokok. Tetapi dalam praktek kadang2 jang chusus itu perlu segera dikerjakan mendahului jang umum.
DPR mengharapkan RUU Pokok Pertahanan. Tetapi berkat pengertian jang mendalam dan kerdjasama jang erat antara DPR dan DUVED maka RUU veteran telah dibereskan lebih dahulu.
DPR mengharapkan RUU Pokok Pernikahan umum Menteri Agama menjodorkan RUU chusus tentang Pernikahan Ummat Islam. Sekarang masih ditunggu perkembangannja lebih landjut.
DPR lebih senang menerima RUU Pokok Perpadjakan Umum lebih dahulu daripada RUU chusus tentang penjempurnaan dan pembaharuan dan tjara2 pemungutan padjak, jang telah diakukan oleh Menteri Keuangan.
Selain daripada soal pokok dan tidak pokok itu banyak orang tertarik kepada gedjala tetantang adanja kegiatan2 luar biasa dari beberapa anggota DPR untuk mengadjukan ususl2 inistiatif RUU dan usul2 interpelasi, antara lain, RUU.
Pokok pendidikan, RUU Pembentukan Propinsi Maluku Utara, RUU Pembentukan Kabupaten2 Halmahera Utara, Halmahera Tengah, Halmahera Selatan dan Kabupaten Kepulauan Sula, Interpelasi tentang bantuan luar negeri, kepada badan2 keagamaan di Indonesia, interpelasi tentang persoalan AIP, interpelasi tentang
Atjeh Barat
Seperti diketahui usul inisiatif itu sangat djarang digunakan.
Pertama, karena membuat RUU itu membutuhkan keahlian dan waktu persiapan jang lama, sedangkan ahli2 ini terdapat lebih banjak di departemen2 dari pada di DPR.
Kedua, prosedur instalatif ini memakan waktu sangat panjang dan sukar. Lebih gampang dan tjepat ialah usul amandemen. Maka itu hak amandemen jakni baik untuk mengadakan perobahan2 lebih banjak digunakan daripada hak alternatif itu digunakan. Misalnja kalau DPR kehilangan kesabarannja buat menunggu RUU dari Pemerintah jang dianggap urgen bagi kepentingan rakjat.
Djuga hak interpelasi sangat djarang digunakan. Prosedurnja pandjang. Interpelasi DPR bisa berachir mendjadi mosi tak pertjaja kepada Pemerintah.
DPR lebih banjak menggunakan hak bertanja jang lebih praktis dan gampang. Hanja dalam keadaan2 jang sangat serius sadja DPR mengadjukan interpolasi.
Mengenai gedjala tentang soal pokok, inisiatif dan interpelasi ini, setengah orang mensinjalir adannya tendensi2 dari beberapa anggota DPR ke arah over kompensasi, jang menghendaki supaja DPR lebih kuat mengendalikan Pemerintah dari pada diwaktu jg lampau.
Sebaliknja ada jang berpendapat, bahwa gedjala tsb adalah reaksi dari pada kurang seriusnja penilaian beberapa pedjabat Pemerintahan terhadap arti DPR. Kurang dalamnja pedjabat2 Pemerintahan mendjajagi kemauan DPR.
Untuk menanggapi persoalan ini setjepat2nja, pertama kita harus bertolak dari kejakinan, bahwa baik Pemerintah maupun DPR dua2nya mempunjai itikad baik untuk melaksanakan keputusan2 MPRS dengan konsekwen dengan semangat Pantjasila jg murni.
Kedua, kita menjadari, bahwa hak inisitif DPR itu tidak digunakan semata2 dgn maksud supaja “si opsetter mendjadi baumester”, atau si pengawas mendjadi djuru bangun, Hak ini baru digunakan apabila njata2 baumeter tadi mengabaikan suatu kepentingan rakjat jang urgen walaupun telah diperingatkan beberapa kali.
Ketiga, kita menjadari pula bahwa hak interpelasi itu tidak dimaksud agar DPR mengawasi Pemerintah seperti ibu rumah tangga meneliti pembantu dapurnja sampai kepada tetek bengek.
Hak interpelasi itu digunakan dengan se-hemat2nja artinja dengan kejakinan bahwa pembahasan inisiatif itu tidak akan memboroskan anergi dan waktu, baik dari DPR maupun dati Pemerintah.
Keempat kita menjadari bahwa untuk mendjundjung tinggi prestasi Pemerintah, maka tidak ada RUU jang bia keluar dari Kabinet sebelum diteliti dengan seksama urgensi materi, sistematik, bahasa, susunan logis kalimat kalimatnja dll. sesuai dengan pedoman jang telah ditentukan.
Mengenai hal ini disarankan supaja seorang Menteri Utama supaja dibebani tanggung djawab atas perentjanaan dan organisasi dati pada program legislatif dati Kabinet.
Dalam tenting RUU jang diadjukan oleh departemen2 sejogjanja Menteri Utama ini menggunakan djasa2 dari pada karyawan2 Pemerintah jang mendjadi anggota DPR jang mempunjai inteligensi untuk mendjaga kehendak umum DPR, untuk membandungkan pro dan kontra untuk menilai pendapat umum setepatnja untuk memperhatikan kepentingan overall, baik dalam djangka pendek bagi keadaan jang sedang dihadapi.
Achirnja kita menjadari bahwa baik Pemerintah maupun DPR dua2nja mempunjai tanggung djawab sama untuk mensukseskan pembangunan Orde Baru. Pemerintah berhati2 merebut penghargaan dan bantuan dari DPR. sebaliknja anggota DPR senantiasa memiliki sense of responsibility dalam melepaskan kritik kepada Kabinet. (DTS)
Sumber: ANGKATAN BERSENDJATA (20/07/1968)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku I (1965-1967), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 554-558.