Bandung, 15 Juni 1998
Kepada
Yth. Bapak H. M. Soeharto
Jl. Cendana 6 – 8
Jakarta Pusat
KEMBALI KE FITRAH [1]
Assalamu’ alaikum wr. wb.
Saya prihatin dengan kondisi negara belakangan ini, termasuk pemberitaan negatif mengenai Bapak dan keluarga. Cara-cara konfrontatif yang diambil masing-masing pihak, diyakini tidak akan mampu menyelesaikan persoalan. Kecurigaan dan kedengkian hanya akan membuahkan permusuhan.
Ingin saya mengajak semua pihak untuk kembali kepada kesadaran fitrah manusia. Menyelesaikan kesalah pahaman dengan baik-baik, saling pengertian dan saling menghargai. Fitrah yang menjadi manusia potensial untuk hidup bergandengan.
Sangat disesalkan, situasi emosional terlanjur membahana. Perasaan maha benar yang seyogyanya dihindarkan, justru semakin sering bermunculan. Situasi yang sangat tidak mendukung untuk usaha penyelesaian damai.
Harapan kini tertumpu pada kearifan Bapak. Karena Bapak adalah muslim yang secara syari’at telah meraih puncak rukun keislaman Muslim yang berniat menemukan kesejatian ibadah, dengan apa yang disebut pinandita. Inilah saatnya. Bapak rawuh tanpa harus tampil diri. Yakni jiwa yang bening, legowo, adil paramarta. Mengamalkan sifat kenabian yang tidak sembarang orang mampu melakukannya.
Memberikan apa yang dimiliki dengan Lillahi ta’ala adalah kenikmatan luar biasa. Tanpa mesti memilih mana haq dan mana yang tidak. Harga diri tak selalu harus diperjuangkan melalui pertempuran. Ada saat di mana semua urusan mesti dikembalikan kepada kendali Yang Maha Kuasa, tanpa terkecuali. Terlebih ketika kita semua kesulitan untuk menyepakati bentuk kebenaran.
Bapak adalah orang terpilih yang pernah memimpin bangsa ini. Anugrah lebih besar kini menanti, Untuk menjadi orang terpilih pewaris sifat nabi-nabi. Dipahami jika ada rasa berat untuk hijrah dari urusan duniawi, mengingat sebagian besar kehidupan Bapak berada pada sisi ini. Tapi saya yakin, Bapak mampu untuk itu. Bapak memiliki kapabilitas yang jarang dimiliki orang lain. Dengan rasa hormat kepada Bapak dan keluarga, izinkan saya mengutarakan pemikiran berikut ini:
Menjadi pandhito. Mengasingkan diri di Padepokan Purna Yudha, sebuah kompleks pesantren yang sarat dengan alunan religius. Lokasinya mesti cukup jauh dari pusat keramaian, dengan sumber daya alami potensial. Di tempat inilah Bapak dapat melakukan kegiatan transendental pribadi, sekaligus membina para santri andalan. Padepokan inipun merupakan Prototipe ekosistem lingkungan. Sebagian telah Bapak terapkan di Tapos. Akan tetapi Tapos tidak cukup untuk memenuhi kriteria untuk dijadikan padepokan dimaksud.
Mengenai pembiayaan, pada prinsipnya tidak memberatkan orang/pihak lain termasuk keluarga. Efisiensi dilakukan melalui pembangunan bertahap. Ideal jika Bapak sanggup membiayai sendiri. Apabila tidak cukup, dapat mencari bantuan dari sahabat/lembaga sosial negara-negara Islam. Uluran tangan dari dalam negeri sebaiknya dihindari, sepanjang kecurigaan, kecemburuan, ambisi dan pamrih masih mewarnai perikehidupan bangsa ini.
Tentang Yayasan-yayasan. Untuk melancarkan jalan pinandhito itu, sebaiknya Bapak mundur dari kepengurusan Yayasan. Khususnya pada jabatan yang tidak bersifat ex-officio. Cukup berada pada Badan Pendiri saja, setelah sebelumnya Badan Pengurus menyepakati manajemen dana Yayasan.
Aset Pribadi. Lillahi ta’ ala berikanlah kepada mereka yang menginginkan. Sesungguhuya tiada sesuatu pun yang haq bagi kita kecuali sekedar titipan Allah. Bahagiakan mereka dengan apa yang dapat kita berikan. Demikian. Semoga penyelesaian damai dapat ditempuh, dilandasi kesadaran akan hakekat manusia, kecintaan terhadap bangsa dan negara, untuk tidak makin terpuruk dan tercela di mata dunia. (DTS)
Wassalamu’ alaikum wr. wb.
Rusna Permadi
Bandung
[1] Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 546-547. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.