KEMBALI KE PANCASILA

KEMBALI KE PANCASILA[1]

Jakarta,  Suara Pembaruan

Presiden Soeharto mengimbau para pemuda dan cendekiawan kembali kepada prinsip perjuangan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan. “Tekad kita melaksanakan kemurnian Pancasila dan UUD 1945, hendaknya dasar falsafah Pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan pandangan hidup dalam kehidupan kita bernegara, berbangsa dan bermasyarakat itu selalu dipegang teguh”.

Kepala Negara menyatakan hal itu menjawab pertanyaan wartawan tentang situasi dalam negeri terakhir ini dikaitkan dengan keadaan berbagai negara yang tidak bisa melaksanakan pembangunan karena stabilitas nasionalnya terganggu, Jum’at malam di pesawat Garuda dalam penerbangan dari New Delhi ke Jakarta. Dalam kesempatan itu Presiden Soeharto didampingi oleh Menlu Ali Alatas, Kepala Negara mengikuti KTT Pendidikan Untuk Semua, di New Delhi, India.

“Jangan kemudian dibuat tafsiran lain, sekarang ini sudah ada yang selalu haus akan keterbukaan dan kebebasan. Seolah-olah pemerintah itu di luar struktur ketatanegaraan. Padahal pemerintah itu Pemerintah Negara Republik Indonesia berdiri atas dasar konstitusi, melaksanakan GBHN yang diamanatkan MPR. Bukan melaksanakan pikiran daripada otak saya sendiri, sama sekali tidak. Tetapi harus memeras otak pula untuk melaksanakannya dengan sebaik-baiknya,” tegas Kepala Negara.

Kembali

“Baik para pemuda, para cendekiawan, kembalilah kita akan kesetiaan kepada perjuangan kita, kembali kepada Pancasila sebagai dasar negara, ideologi pandangan hidup,” ujarnya. Berarti, tambahnya, demokrasi yang harus dikembangkan harus Demokrasi Pancasila, bukan menuntut demokrasi lain.

Presiden Soeharto juga mengingatkan, “Inilah, bagi Saudara-saudara Pers harus pandai-pandai, jangan membiarkan mereka (maksudnya yang menafsirkan lain demokrasi- Red), ini akan menjadi lawan daripada Pancasila sendiri”.

“Sama dengan PKI (Partai Komunis Indonesia yang sudah dibubarkan tahun 1966 – Red) dulu. Mereka  meniupkan Pancasila sebagai pemersatu. Tetapi apa pemikiran PKI, kalau sudah bersatu, sudah tidak butuh Pancasila lagi dan mereka ingin mengganti Pancasila dengan paham komunisme. Tetapi kita bisa mengatasi waktu itu,” katanya sambil tersenyum.

Untuk itu, tambahnya, agar betul-betul mereka tidak hanya menyarankan kebebasan, kebebasan yang hanya menuruti kehendaknya sendiri. Sebab bila menuruti kepentingannya sendiri itu bertentangan dengan Pancasila, karena Pancasila itu monodualistis yaitu sebagai individu dan sebagai makhluk sosial. Tidak hanya kepentingan individu, tetapi juga harus sadar, kapan kepentingan individu atau goIongan itu dikorbankan untuk kepentingan yang lebih besar.

Kalau meninggalkan kepentingan yang lebih besar untuk kepentingan individunya, ini sudah bertentangan dengan Pancasila. Mau tidak mau, ini sudah merupakan warning, peringatan pada kita, akan sama dengan PKI ini, hanya namanya saja lain tetapi geraknya sama dan langkah-langkahnya harus kita perhatikan dan kemudian tidak hanya memonitor saja seolah-olah pura-pura tidak tahu. “Tetapi supaya betul­ betul dipelajari, “Presiden mengatakan sambil tertawa lagi.

Kemurnian Pancasiia

Menjawab pertanyaan lain, bagaimana agar mereka yang melakukan hal-hal di luar konstitusi itu kembali kepada prinsip Orde Baru bersama-sama melakukan tindakan sesuai konstitusi, Presiden Soeharto kembali mengulangi, “Kita bertekad melaksanakan kemurnian Pancasila dan UUD 1945, berarti pikiran dan langkah­ langkah kita harus disesuaikan.Tetapi umumnya tidak mau mempelajari Pancasila dan UUD 1945 akan tetapi mempelajari ideologi lain. Dengan sendirinya, tidak sama.”

“Kemudian akan menjadi apa ya, terus terang akan menjadi gejala-gejala yang kurang menguntungkan, akan mengganggu stabilitas nasional dan akan mengganggu pembangunan, pertumbuhan dan pemerataan”. “Jadi jangan asal WTS saja, tahu WTS?”tanya Kepala Negara kepada wartawan yang dijawab sendiri, “waton suloyo heheheh, jangan wanita apa namanya wanita tuna susila tetapi waton suloyo jadi harus benar-benar kembali kepada Pancasila dan UUD 1945,”ungkapnya.

KTT dan Konsultasi

Sebelumnya Presiden menjelaskan perjalanannya ke India, dalam rangka konsultasi dengan pemerintah India sehubungan ditundanya KIT Kelompok 15 dan menghadiri KTT Sembilan Negara Berkembang yang penduduknya terbesar atas inisiatif UNCEF dan UNESCO mengadakan KTT  mengenai  Pendidikan Untuk Semua (Education for All- EFA).

Dikatakan, KTT G-15 terpaksa ditunda tetapi pertemuan tingkat Menlu tetap diadakan yang didahului oleh Wakil-wakil Kepala Negara/Pemerintahan G-15 yang mempersiapkan KTT G-15 itu. Karena situasi dalam negeri beberapa anggota G-15 hanya empat negara yang menyanggupi untuk hadir. Menurut persyaratan setidak­ tidaknya 2/3 harus hadir dari anggota G-15, yang sekarang tinggal 14 karena Yugoslavia tidak aktif lagi.

Sebab penundaan ternyata setelah dibahas adalah keadaan dalam negeri anggota G-15. “Karena itu bukan karena tidak ada perhatian atau tidak pentingnya, tetapi karena keadaan negara dalam negeri mereka”.

Nigeria, Aljazair, Mesir dan juga Venezuela menarik diri dan Kepala Pemerintahan tidak bisa menghadiri KTT. Atas saran dari pejabat yang menjadi wakil Kepala Negara/Pemerintahan anggota G-15 para Menlu membenarkan tuan rumah India, menunda KTT G-15. Kemungkinan dilangsungkan akhir Maret atau awal April 1994. Tetapi tergantung pada keadaan negara-negara tersebut serta pendekatan tuan rumah melanjutkan apa yang telah disiapkan Menlu di New Delhi.

Kita pun merasakan betapa pentingnya stabilitas nasional dari suatu negara. Keadaan politik maupun keamanan yang tidak menguntungkan sudah menjadi penghalang atau alasan tidak memungkinkan menghadiri suatu KTT yang ditentukan. Walaupun keadaan nasionalnya tidak gawat, setidak-tidaknya stabilitas nasional itu memberikan satujaminan pelaksanaan kebijaksanaan dalam maupun luar negeri, tambahnya.

Stabilitas Nasional

“Syukur, dari sejak memulai pembangunan kita selalu menitikberatkan stabilitas nasional sebagai salah satu dari Trilogi Pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan.” Ternyata dinegara manapun juga melaksanakan pembangunan, stabilitas nasional menjadi perhitungan.

Yang jelas telah kita rasakan selama 25 tahun ini. Trilogi Pembangunan menjadi tumpuan program pembangunan. “Ini sebetulnya tidak dilakukan oleh Presiden/Mandataris tetapi ditentukan MPR dalam GBHN, bahwa tumpuan dari pembangunan adalah stabilitas nasional.” Kita bisa menikmati 25 tahun stabilitas nasional terjamin, sehingga pembangunan bisa dilaksanakan dengan pertumbuhan danpemerataan.

Stabilitas nasional, ditentukan MPR kemudian dijabarkan Presiden.”Itu bukan untuk menakut-nakuti kemudian untuk mengurangi perkembangan demokrasi atau keterbukaan dan kebebasan.”

Stabilitas nasional justru menjamin pembangunan termasuk politik yang juga di dalamnya pembangunan demokrasi dan pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) maupun kebebasan.

Setelah 25 tahun melaksanakan Trilogi Pembangunan sebagai amanat GBHN yang ditentukan MPR kemudian masih ada yang alergi dan seolah-olah menilai, dengan menonjolkan stabilitas nasional menjadi penghalang dari perkembangan demokrasi, penghalang keterbukaan, jadi alasan memperkuat tindakan sewenang-wenang, HAM dan sebagainya. “Sama sekali tidak, apa yang telah kita lakukan dengan stabilitas nasional baik di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam semata-mata untuk menjamin pelaksanaan pembangunan dalam arti yang luas.”

Saya kira membandingkan dengan apa yang dihadapi negara-negara lain, kita bersyukur bahwa stabilitas nasional selalu kita pegang teguh. Di bidang pembangunan demokrasi yang kita kembangkan adalah Demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal atau yang lain. “Kalau ada yang mengembangkan demokrasi lain, itu bertentangan dengan kehendak rakyat. Kita waspada, akhir-akhir ini sudah ada gejala-gejala seolah-olah menilai stabilitas nasional terlalu ditonjolkan menjadi penghalang perkembangan demokrasi, keterbukaan dan sebagainya. Demokrasi yang ingin kita kembangkan adalah demokrasi Pancasila, kebebasan yang ingin kita kembangkan adalah Kebebasan yang bertanggungjawab.”

Tidak hanya kebebasan individu tetapi yang bertanggungjawab sebagai warga negara. “Tidak hanya individu saja tetapi juga kewajiban sebagai makhluk sosial. Ini perlu menjadi pelajaran bagi kita pada saat-saat kita menilai keadaan di mana KTT G 15 tidak bisa dilaksanakan karena keadaan dalam negeri beberapa anggotanya.”

KTT Pendidikan

Kebetulan UNESCO, UNICEF dan UNFPA mengambil inisiatif agar negara berkembang yang penduduknya besar mengadakan KIT Pendidikan Untuk Semua. Karena di tahun-tahun mendatang amat pentingnya pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang bisa dilakukan hanya dengan pendidikan untuk semua.

Tidak hanya untuk si kaya tetapi untuk seluruhnya. Kalau untuk pendidikan tinggi tentunya harus melewati pendidikan dasar, karenanya pendidikan dasar lebih menjadi perhatian utama. Tidak hanya untuk laki-laki tetapijuga anak perempuan supaya benar-benar memperoleh kesempatan, pendidikan.

Karena kebutuhan itu maka diadakan KTT negara berpenduduk besar yaitu Bangladesh, Brasil, Cina, India, Indonesia, Meksiko, Mesir, Nigeria dan Pakistan yang menyadari kualitas manusia menghadapi abad-abad mendatang. Keterampilan harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi. Karena masih ada yang kurang memperhatikan pendidikan dasar ini, maka dalam Deklarasi Delhi yang dikeluarkan 16 Desember 1993, ditentukan agar tahun 2000 benar-benar dijadikan barometer dari rencana kerja itu.

Indonesia bersyukur, telah melakukan itu dalam kerangka Trilogi Pembangunan, melaksanakan pembangunan pendidikan dengan mengutamakan Sekolah Dasar (SD) dengan Program Inpres SD mulai akhir Pelita I sampai sekarang. SD yang dibangun 36 ribu, benar-benar dapat memenuhi kebutuhan, hingga tahun 1984 memutuskan Wajib Belajar bagi anak usia 7- 12 tahun.

Pada PJPT Itelah membuat suatu landasan kuat, adalah membangun industri yang kuat dan pertanian yang tangguh. Maka kita mengutamakan kebutuhan pokok daripada rakyat melalui pertanian, cukupnya pangan, sandang, papan, lapangan kerja, pendidikan danpelayanan kesehatan sesuai dengan kemampuan.

Kita sudah bisa swasembada ,jadi menimbulkan ketenangan bagi rakyat, sehingga niat membangun itu terus ada. Sandang sudah melebihi dan bisa ekspor, perumahan walaupun belum mencukupi, tetapi banyak pembangunan perumahan dan perbaikan.

Mengenai penyediaan lapangan kerja memang menjadi salah satu usaha mulai dari dulu, karena tambahan tenaga kerja setiap tahun tidak kurang dari 2,5 juta. Tetapi dari sejak semula sudah kita pikirkan mengatasinya.

Khusus di bidang pendidikan dan kesehatan, dikemukakan Presiden, telah dibangun sesuai kemampuan yang ditentukan pertumbuhan pembangunan. Bila pertumbuhan itu baik, sekalipun tidak diprioritaskan pendidikan dan kesehatan itu diutamakan juga. “Akhirnya kita lebih menonjol dari negara-negara lain di bidang pendidikan dasar maupun, pelayanan kesehatan kita lebih maju. Sehingga mereka ingin tahu, bagaimana cara Indonesia mengatasi”.

Pendidikan, sebagai salah satu amanat UUD 1945, dalam mukadimah dan batang tubuh yaitu meningkatkan kesehatan di samping mengenai kesejahteraan dan melaksanakan ketertiban dunia. “Pasal 31 kalau tidak salah, setiap warga negara berhak memperoleh pelajaran dan pendidikan diatur melalui undang-undang yang telah ada yaitu UU Sistem Pendidikan Nasional,” kata Presiden.

Dimulai jauh sebelum negara-negara lain baru mulai dari sekarang. Kita mengatasi pembangunan SD sejak akhir Pelita 1 hingga sekarang sampai bisa melaksanakan Wajib Belajar bagi anak umur 7-12 tahun. Hasilnya sekarang, umur 7-12 tahun masuk SD tanpa membayar. Tetapi masih ada yang belum mampu seperti membeli pakaiannya, lantas kita sarankan Anak Asuh Bapak Asuh untuk memungkinkan mu­rid-murid itu belajar. Di daerah-daerah terpencil masih ada yang belurn ada SD dan mengatasinya mendatangkan guru ke sana.

Melihat angka-angkanya dari BPS, anak usia sekolah 7-12 tahun jumlahnya 27 juta. Tetapi murid SD termasuk Madrasah Ibtidaiyah jumlahnya 29.600.000. Ini berarti anak yang belum usia 7 tahun sudah masuk SD. Mengapa, karena hasil pembangunan. Malah anak Balita tiga tahun saja sekarang sudah ikut Taman Kanak­ kanak dua tahun, lima tahun masuk SD. Tetapi mungkin juga ada yang lewat 12 tahun, Kepala Negara menguraikan. Dari angka tersebut kita telah berhasil dan lebih dari yang kita harapkan, tetapi ada kenyataan di antara 27 juta, anak 7 -12 tahun ternyata 93 persen yang sudah sekolah, berarti masih ada yang belum sekolah 7 persen. “Di mana anak ini. Ya di daerah terpencil, daerah kumuh. Ini akan menjadi tantangan bagi kita,” ujar Presiden.

Tiga Buta

Kemudian pemerintah telah melakukan langkah-langkah memberantas tiga buta, yaitu buta aksara, buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan SD. Biasanya sudah di atas usia 7-12 tahun tetapi tidak masuk SD diusahakan agar bisa membaca dan menulis. Untuk itu, diadakan program Paket A dan B. Paket untuk bisa baca tulis serta yang setaraf dengan SD dan bila lulus dapat mengikuti pendidikan lanjutan tingkat pertama.

Demikian juga Paket B, bila lulus bisa mengikuti sekolah lanjutan atau mengikuti program pemerintah yaitu memperoleh keterampilan atau magang di perusahaan­ perusahaan. Ini semua telah diprogramkan sementara di negara-negara lain baru memperhatikan tetapi programnya belum ada.

Indonesia telah melakukannya, sehingga banyak yang ingin mempelajarinya . Indonesia melakukan itu semua bukan dengan bantuan UNESCO atau negara lain, tetapi berdasarkan kekuatan sendiri dari hasil pembangunan . Karenanya, pendidikan dan pelayanan kesehatan menjangkau masyarakat luas.

Di bidang kesehatan, ujar Kepala Negara, Puskesmas di kecamatan sekarang sudah 6.000 yang dibangun sejak Pelita I lengkap dengan dokter. “Ini membuktikan bahwa pemerataan pembangunan baik pendidikan maupun kesehatan telah bisa dilaksanakan, tinggal meningkatkan”.

Walaupun masih banyak kekurangan dan itu menjadi tantangan. Anak usia 7 – 12 yang sudah lulus Wajib Belajar dan bila tidak sanggup melanjut ke SLTP dan belum bisa masuk lapangan kerja, agar ilmunya tidak hilang serta mempersiapkan masuk lapangan kerja, maka untuk jangka panjang akan dilakukan Wajib Belajar tiga tahun lagi menjadi Wajib Belajar sembilan tahun (6 tahun SD dan 3 tahun SLTP). “Bukan SD menjadi sembilan tahun, tidak. Tetapi pendidikan Dasarnya menjadi sembilan tahun,”jelas Presiden.

Diharapkan tiga Repelita bisa terlaksana, tetapi dengan cara-cara yang praktis yaitu masuk sekolah sore. Pagi untuk SD dan sore untuk SLTP. Bila demikian bisa dua Repelita. Karena membutuhkan bukan hanya sekolahnya tetap ijuga ruangan-ruangan, karena yang lulus SD setiap tahun 3,6 juta.

Begitulah perkembangan negara kita di bidang pembangunan pendidikan dibandingkan dengan luar termasuk kaitannya antara stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan ,ujar Kepala Negara. (B-7)

Sumber:  SUARAPEMBARUAN (l8/12/1993)

__________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 330-336.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.