KEPRIHATINAN PAK HARTO

KEPRIHATINAN PAK HARTO [1]

Jakarta, Pelita

DENGAN jelas kita menangkap keprihatinan Pak Harto ketika beliau harus mengemukakan bantahan terhadap isu bahwa pembangunan hanya untuk segelintir orang. Hal ini, dikemukakan Pak Harto Sabtu yang lalu di Semarang ketika mengadakan temu wicara dengan penghuni nimah susun, rumah sederhana dan peserta gerakan keluarga berencana.

Kita boleh turut prihatin apabila pembangunan dianggap tidak memberi hasil. Meskipun kita semua mengakui, tidak terkecuali Pak Harto sendiri, bahwa kekurangan-kekurangan masih ada. Bahkan Kepala Negara menegaskan agar kita tidak lekas berpuas diri.

Di dalam proses pembangunan  di manapun, selalu ada apa yang disebut frustation gap, yaitu gap antara aspirasi yang terbentuk dengan kenyataan riil yang ada .Aspirasi memang mudah tumbuh, mencuat tinggi ke atas. Aspirasi tumbuh antara lain karena pendidikan yang berhasil kemudian menumbuhkan the rising demand. Aspirasi bisa terbentuk secara lebih semu karena kecenderungan kultural untuk terkena demonstration effect, sikap meniru-niru luar negeri. Kita memang cenderung membandingkan dengan negara lain yang lebih maju. Tumbuhnya aspirasi dapat pula berarti sebagai pertanda bahwa masyarakat menjadi lebih “maju” dan dinarnis, lebih sadar akan bermacam-macam nilai positif kesadaran akan demokrasi, kedaulatan rakyat dan cita-cita menghormati dan mengangkat harkat martabat rakyat.

Aspirasi itu sendiri betapa tingginya, sebenarnya mempunyai arti netral sarnpai ia kemudian temu dengan kenyataan yang jauh berada di bawahnya. Lalu aspirasi dapat mulai temoda oleh ketidakpuasan, disappoiment atau singkatnya tumbuh menjadi suatu fiustasi. Jadi ketidakpuasan atau fiustrasi adalah suatu state of mind.

Masalahnya lalu, apakah realitas harus disempurnakan,  atau aspirasi harus dikendalikan? Kedua-duanya kiranya dapat dilakukan. Narnun masalahnya tidaklah semudah itu. Ini masalah nasional, menyangkut tanggung jawab nasional, menyangkut misi nasional dan kepentingan nasional. Ini bukan sekedar masalah angka, masalah akademis atau masalah interpretasi dan analisa, sosial ekonomi.Inimasalah politik.

Apabila ada keganjilan-keganjilan apabila ada kenyataan-kenyataan parsial tentang tumbuhnya orang-orang kaya, ada konglomerat rakus dsb. hal ini pasti bukanlah merupakan kemauan politik Pemerintah. Tekad politik (political will) Pemerintah tidak demikian. Tekad politik saja memang tidak cukup, harus disertai dengan keberanian politik (political courage). Masalah keberanian politik iniberada pada tingkatan birokrasi, sebagai pelaksana tekad politik.Di situ kita memang acapkali dapat mengamati birokrasi “lengah budaya”, artinya lengah akan misinya untuk mengutamakan kepentingan orang banyak. Kadang-kadang bahkan (maaf) terjadi semacam “kejahatan budaya” yang kelewat mengabaikan kepentipgan rakyat kecil yang dilakukan oleh oknum-oknum birokrasi. Fakta-fakta yang parsial ini tentu tidak cukup dan bahkan keliru untuk menuding Pemerintah bahwa kebijaksanaan nasional Pemerintah adalah hanya membangun dan memberi manfaat segelintir orapg saja, yaitu orang-orang kaya. Seperti Pak harto katakan sendiri, bahwa kemajuan yang kita capai dalam pembangunan ini tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan. Memang kita semua tidak boleh berpuas diri.

Apa yang dibantah Pak harto itu justru dikemukakan pada saat meresmikan rumah susun dan rumah murah bagi rakyat kecil. Kemiskinan jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan) telah berkurang cukup besar (dalam bandingannya dengan negara-negara yang sedang membangun lainnya). Betapapun kita belum puas, tetapi kita tidak perlu kelewat jauh dah menuduh Bank Dunia hanya berbasa -basi ketika Bank Dunia ini memuji keberhasilan Indonesia. Demikian pula ketika lnternational Cooperative Alliance (ICA) memberikan penghargaan kepada Presiden RI atas prestasi dan contineous commitment beliau bagi gerakan koperasi Indonesia, bukanlah basa-basi ICA. Listrik masuk desa dsb dsb merupakan petunjuk bahwa perhatian telah makin banyak ditujukan kepada rakyat. Koperasi pun sebagai wadah ekonomi rakyat memperoleh perhatian yang tak habis-habisnya.

Bantahan Kepala Negara tersebut tidak saja tak tepat, tetapi juga sekaligus melahirkan harapan baru yang penuh kesegaran. Apalagi ketika Kepala Negara juga menegaskan bahwa

“kita baru berada di tengah jalan dan belum mencapai tujuan, karena itu harap sabar dan jangan terpengaruh oleh pikiran atau analisa tertentu.”

Itulah pula mengapa berturut-turut di  harian ini saya menulis dan menggaris bawahi mengenai sikap Fraksi ABRI MPR yang melegakan dan kiprahnya Fraksi Karya Pembangunan MPR untuk  memacu pertumbuhan melalui pemerataan. Dengan penegasan Kepala Negara itu memang menjadi “pas” bahwa kita (fraksi-fraksi MPR itu) bertekad untuk memulai PJPT II ini dengan semangat continuity and reform, atau ”menggelar kesinambungan dan merancang perubahan masa depan”. Dengan demikian itu kita akan menjadi seiring dengan apa yang dijanjikan Pak Barto bahwa kita harus sabar, karena kita masih berada di tengah jalan. Dengan semangat continuity and reform itu kita mempercepat pencapaian tujuan itu.

Pembangunan nasional itu selama 5 Pelita ini bagaimanapun juga telah membawa hasil. Kemampuan membangun kita telah berada di atas apa yang kita miliki 10-20 tahun yang lampau. hasil-hasil pembangunan yang telah kita peroleh, termasuk pengalaman membangun yang cukup tangguh, harus kita daya gunakan sebagai modal utama untuk mempercepat datangnya keadilan dan kesejahteraan sosial itu.

Tentu kita perlu pula secara khusus mengingatkan segelintir orang kaya yang telah menjadi kaya oleh proses pembangunan ini, yang mereka semua dulunya juga bermodalkan jaket atau bermodal dengkul belaka, agar tidak lupa daratan, sampai sampai kelewat jauh rakus menggusur rakyat. Kepada mereka dituntut bukti untuk melaksanakan demokrasi ekonomi dan Trilogi Pembangunan. Kepada mereka dituntut untuk tahu diri dan untuk tidak menjadi beban pikiran atau beban politik bagi Pak Harto dan Orde Bam. (1.5) (Sri-Edi Swasono)

Sumber: PELITA (30/10/1992)

______________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 634-636.

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.