KERUSUHAN 27 JULI TAK PENGARUHI MINAT INVESTOR JEPANG [1]
Jakarta, Antara
Kerusuhan yang terjadi di Jakarta tanggal 27 Juli 1996 sama sekali tidak akan mempengaruhi minat para pengusaha Jepang yang sudah beroperasi di sini maupun yang akan berinvestasi. kata Moerdiono menjawab pertanyaan wartawan seusai memberi ceramah dalam seminar “Peluang dan Tantangan PJPT-II Bidang Sosial Budaya” di Jakarta, Selasa (21/12).
Terhadap peringatan Presiden Soeharto baru-baru ini, Moerdiono mengatakan, Presiden waktu itu mengingatkan agar masyarakat harus tetap mewaspadai terhadap masih adanya kegiatan-kegiatan dengan cara dan Jangkah-langkah PKI.
Presiden Soeharto dalam penerbangan pulang ke Tanah Air dari New Delhi, Jumat (17/12), antara lain mengingatkan agar masyarakat tetap waspada terhadap adanya gerakan-gerakan yang berupaya untuk mengembangkan demokrasi liberal dan dem okrasi Jainnya. Terhadap yang masih terus melakukan kegiatan-kegiatan dengan cara dan langkah-langkah PKI, pemerintah harus bertindak tegas dan kalau perlu mereka dipukul.
Menurnt Moerdiono, pernyataan Kepala Negara tersebut jangan diartikan sebagai tuduhan PKI terhadap orang-orang yang melakukan kegiatan dengan cara cara-PKI. Inti dari pernyataan Bapak Presiden itu, bahwa yang perlu dijaga adalah stabilitas yang dinamis. “Tidak menuduh. Hanya cara seperti PKI. Siapa yang menuduh PKI,” katanya menegaskan.
Dikatakannya, Presiden Soeharto mengingatkan bahwa banyak pimpinan negara atau sejumlah pimpinan negara yang tidak dapat datang ke India justru karena stabilitas nasionalnya terganggu. Oleh sebab itu adalah menjadi tugas kita semua untuk menjaga stabilitas nasional yang dinamis.
“Stabilitas nasional jangan dianggap sebagai sesuatu yang dengan sendirinya ada. Stabilitas nasional itu perlu dijaga agar tetap dinamis,” kata Moerdiono.
Konflik-Friksi
Dalam ceramahnya di depan peserta seminar dua hari yang diselenggarakan YBP (Yayasan Bina Pembangunan ), kemarin, Moerdiono mengatakan, dalam masyarakat yang bergerak dinamis tidak dapat dihindari konflik dan friksi. Bahkan, konflik dan friksi itu tidak dipandangan sebagai masalah, tetapi justru sebagai tenaga konstrnktif yang dapat mendinamisir masyarakat itu sendiri.
Karena adalah tidak realistis untuk mengharapkan adanya suatu masyarakat tanpa friksi dan konflik. Kita perlu mempunyai pemahaman serta penafsiran baru terhadap masalah friksi dan konflik ini.”Kita patut bersyukur bahwa para ahli sosiologi telah mengembangkan wawasan baru terhadap adanya friksi dan konflik dalam masyarakat,” kata Moerdiono.
Namun, yang masih menjadi persoalan, kata Mensesneg, kita belum terbiasa untuk berbeda pendapat. Apabila terjadi beda pendapat maka muncul dialog yang sifatnya menyerang pribadi seseorang. “Ini yang menjadi masalah. Tapi saya yakin, kebiasaan berdialog dengan perbedaan pendapat secara konstruktif kelak akan menjadi kebiasaan,” ujar Moerdiono.
Untuk dapat menangani friksi dan konflik dengan baik, menurut Moerdiono, seluruh pihak yang berkonflik harus dan dapat bersepakat tentang suatu aturan permainan yang akan dihormati bersama, serta tentang mekanisme untuk menyelesaikan friksi dan konflik yang timbul, yang dapat memenuhi kepentingan sebelum pihak yang bersangkutan. Harus ada suatu batas maksimum konflik yang aman agar konflik itu tetap bersifat konstruktif.
Batas maksimum konflik itu bersifat dinamis, bergantung pada taraf perkembangan masyarakat serta kemampuan pengendalian aparatur negara itu sendiri. Menurut Mensesneg, pada masyarakat yang telah maju, batas maksimum konflik dapat lebih tinggi dibandingkan dengan batas maksimum yang aman dari masyarakat yang masih penuh dengan prasangka primordial antar golongan.
Batas maksimum konflik, menurut Moerdino, adalah dinamika masyarakat dapat bergerak dengan aman tanpa merusak tatanan yang menjadi ajang kegiatan mereka bersama. “Itulah antara lain mengapa stabilitas nasional yang dinamis merupakan kebutuhan mutlak bangsa kita yang sedang membangun ini,”ujarnya. (L-3)..
Sumber: SUARA KARYA(22/12/1993)
___________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 380-382.