KESAN2 MENGIKUTI KUNJUNGAN PRESIDEN KE PAKISTAN INDIA (2): "MOUNTAIN PEOPLE" TRAGEDI PENGUNGSI AFGHANISTAN
Laporan: Sjamsul Basri
ORANG boleh setuju dan tidak setuju dengan langgam kepemimpinannya. Dan boleh pula sejalan dan tidak sejalan dengan pandangan dan pola pemikirannya. Tapi agaknya tak bisa dibantah, bahwa Soeharto pensiunan Jendral TNI yang sekarang Presiden Republik Indonesia itu merupakan salah satu dari pemimpin Indonesia yang kepemimpinannya lebih banyak dimatangkan dalam kancah revolusi kemerdekaan.
Itulah barangkali yang menyebabkan mengapa sambutannya di depan pengungsi Afganistan di tempat penampungan Gandaf di hari kedua kunjungan kenegaraan, bukan saja begitu spontan dan terasa berisi dukungan moril yang memang diperlukan oleh sesama makhluk Tuhan yang sedang dilanda malapetaka. Tapi sepintas lalu, bisa menimbulkan kesan dengan jangkauan politis yang membuat sibuk para diplomat Indonesia.
Dalam sambutan itu, Presiden Soeharto antara lain menyatakan keyakinannya, pada suatu waktu para pengungsi Afghanistan akan berhasil dalam perjuangan untuk kembali ke tanah airnya dalam suasana yang aman dan merdeka.
Saudara-saudara terpaksa meninggalkan kampung halaman karena intervensi asing, kata Presiden. Dan pemerintah Pakistan menerima saudara-saudara atas dasar pertimbangan kemanusiaan. Tapi saudara-saudara sendiri tentu tidak mau menjadi beban Pakistan untuk selama-lamanya. Karena itulah saudara-saudara ingin berjuang untuk kembali ke tanah air saudara-saudara, berjuang untuk keadilan dan kemerdekaan.
Saya yakin, kata Presiden selanjutnya, Tuhan Yang Maha Kuasa akan melimpahkan karunia-Nya, karena saudara-saudara berjuang untuk keadilan dan kemerdekaan.
Mengutip perjuangan rakyat Indonesia dalam revolusi kemerdekaan, Presiden selanjutnya mengatakan: ”Rakyat Indonesia juga pernah menghadapi persoalan yang sama, berjuang melawan dominasi kekuatan asing yang lebih unggul. Namun rakyat Indonesia berhasil mencapai kemenangan, karena kami berjuang dan bersatu demi keadilan dan kemerdekaan."
Apa yang diucapkan Presiden pada hakekatnya bukan saja cetusan utusan hati nurani rakyat Indonesia yang ditempa sejarah perjuangan mencapai kemerdekaan, tapi juga tuntutan hati nurani rakyat dan bangsa mana pun menghadapi persoalan sama.
Bahkan rakyat Rusia yang kekuatan militernya menurut apa yang diberitakan, melakukan campur tangan di Afghanistan sekarang, sewaktu penyerbuan tentara dalam medan perang dunia II misalnya, juga merasakan apa yang diungkapkan Presiden di depan Pengungsi Afghanistan.
Kalau di kawasan Asia Tenggara kita mengenal apa yang dinamakan tragedy ”Boat People" (orang-orang perahu), maka di sepanjang perbatasan Afganistan dikenal pula "Mountain People" (orang-orang gunung) yang terpaksa meninggalkan tanah airnya, tanpa tujuan menentu.
Rasanya tak perlu digambarkan betapa beratnya derita yang harus ditanggung para pengungsi Afganistan seperti yang saya lihat di penampungan Gandaf.
Pertemuan dengan rombongan presiden dihadiri para pemuka pengungsi terdiri dari orang-orang yang sekali pun secara fisik kelihatan tua dan lemah, namun sinar mata mereka memancarkan keyakinan yang rasanya sulit dipatahkan.
Menurut perhitungan pemerintah Pakistan, sampai Desember tahun ini diperkirakan biaya yang diperlukan untuk penampungan pengungsi sekitar US$ 151.961 juta untuk makanan, tenda-tenda penampungan, pakaian dan obat-obatan.
Sebetulnya kunjungan ke tempat penampungan pengungsi tidak termasuk dalam acara kunjungan. Tapi barangkali cetusan hati nurani sebagai pejuang kemerdekaan seperti dikatakan tadi, menyebabkan Presiden Soeharto melapangkan waktu untuk meninjau dari dekat tragedi umat manusia yang melanda rakyat Afganistan.
SEBUAH kunjungan kenegaraan biasanya lebih bertitik berat mempererat tali persahabatan. Tapi kunjungan kenegaraan yang dilakukan Presiden Soeharto dan rombongan ke Pakistan, selain mempererat tali persahabatan, tampaknya juga mempunyai aspek meningkatkan kerjasama di pelbagai bidang, khususnya di bidang politik luar negeri dan ekonomi.
Ini antara lain tercermin dari komunike bersama yang dikeluarkan sehabis kunjungan yang mencakup prinsip-prinsip tentang kerjasama bilateral melalui forum IPECC (Indonesia-Pakistan Economic and Cultural Cooperation) atau Kerjasama Ekonomi dan Kebudayaan Indonesia-Pakistan yang sudah dibentuk sejak beberapa tahun lalu.
Selanjutnya komunike bersama juga menyinggung sikap masing-masing dan/atau kesamaan pendapat tentang pelbagai perkembangan regional dan internasional, masalah Non Blok, sengketa Irak-Iran perkembangan ekonomi internasional khususnya pembentukan orde ekonomi internasional baru dan lain-lain masalah penting yang dihadapi kedua negara.
Yang barangkali masih perlu dipertanyakan, pengisian konkrit apa saja yang dapat dilakukan dalam kerangka kerjasama yang prinsip-prinsipnya disepakati.
Pertanyaan itu agaknya cukup beralasan, sebab lebih dari sekedar pertukaran pikiran yang hasilnya antara lain tercermin dalam pernyataan bersama, kunjungan ke negara yang masih sama-sama sedang berkembang seperti Pakistan tentunya diharapkan dapat memberi hasil yang dapat dilaksanakan secara nyata.
Ditinjau dari sudut pertumbuhan, tanpa mengecilkan arti prestasi, yang dicapai negara itu, tingkat pertumbuhan Indonesia dalam ukuran GNP (Pendapatan Nasional Kotor) sebenarnya lebih tinggi dari Pakistan. Menurut angka-angka Bank Dunia, di tahun 1977 Pakistan mencapai tingkat GNP per kepala USS-200. Tahun 1980 ini mencapai GNP USS-260 per kepala.
Tahun 1977 GNP per kepala Indonesia sudah mencapai US$-320 dan di tahun 1978 USS-360. Dengan tingkat pertumbuhan yang menurut Bank Dunia sekitar 5,7 persen setahun, maka tingkat GNP Indonesia tahun ini akan mencapai sekitar US$-400 per kepala.
Dari segi tingkat GNP yang dicapai itu agaknya tak bisa dibantah, Indonesia sedikit lebih tinggi dari Pakistan. Namun cukup banyak manfaat tampaknya bisa diambil dalam kerjasama antara kedua negara.
Misalnya di bidang pengembangan tenaga nuklir untuk tujuan damai, agaknya harus diakui Pakistan selangkah lebih maju seperti tercermin dari proyek KANUPP (Karachi Nuclear Power Plant) atau Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Karachi yang sempat dikunjungi Presiden dan rombongan di hari terakhir kunjungan.
PLTN KANUPP yang berkapasitas 137 MW kini telah berfungsi, Pada mulanya PLTN ini dibangun dengan bantuan Kanada. Tapi sejak Desember 1976 Kanada menghentikan bantuannya, hingga sejak itu proyek sepenuhnya diselesaikan dan ditangani ahli-ahli Pakistan.
Sekarang sedang disiapkan pula pembangunan PLTN baru di Chasma, Punjab dengan kapasitas 600 MW. Dan setelah proyek Chasma pemerintah Pakistan merencanakan lagi pembangunan PLTN-PLTN berikutnya sesuai dengan kemampuan keuangan mereka.
Menurut Ketua Komisi Tenaga Atom Pakistan, Munir Ahmad Khanf Pakistan memang tidak mempunyai pilihan lain dari mengembangkan tenaga nuklir untuk memenuhi kebutuhan tenaga listriknya. Sumber tenaga listrik di negara itu amat terbatas, katanya. Pembangkit listrik tenaga air yang sekarang masih merupakan sumber tenaga utama menghadapi rintangan-rintangan tidak kecil.
Sebab sebagian besar dari sumber-sumber tenaga air terletak di utara, misalnya Tarbela, yang memerlukan biaya transmisi tidak kecil untuk memanfaatkannya.
Begitu pula sumber tenaga batu bara, gas dan minyak. Bukan saja persediaan relatif tidak memadai, juga gas misalnya lebih diperlukan antara lain untuk pembuatan pupuk. Dalam hubungan itulah tampaknya Pakistan berketetapan hati mengembangkan tenaga nuklir untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik, di samping untuk keperluan pertanian dan pengobatan.
Kerjasama dalam pemanfaatan pengalaman Pakistan dalam mengembangkan nuklir untuk tenaga listrik itu merupakan salah satu dari kesepakatan yang berhasil lebih dimantapkan dalam kunjungan kenegaraan Presiden.
Memang kesepakatan itu sendiri sudah dicapai sebelumnya dan beberapa orang tenaga Indonesia kabarnya sedang menjalani latihan di negara itu. Namun kunjungan presiden makin memperkuat kerjasama, dan pihak tuan rumah menyatakan kesediaan penuh untuk membantu Indonesia dalam mengembangkan bidang ini.
Dalam sambutan singkatnya ketika meninjau KANUPP, Presiden Soeharto mengungkapkan, Indonesia akan mulai membangun PLTN pertama tahun depan.
AGAKNYA laporan tentang Pakistan akan dirasakan kurang lengkap bila belum menyinggung situasi politik negara itu. Sejak 5 Juli 1977 Pakistan berada di bawah hukum darurat (Martial Law) di bawah pimpinan presiden Zia-ul-Haq sebagai Ketua pemerintahan hukum darurat atau CMLA (Chief Martial Law Administration).
Barangkali terlalu gegabah untuk mengambil kesimpulan yang cukup pasti sebagai hasil peninjauan amat singkat, bahwa dengan struktur pemerintahan yang demikian itu semua berjalan lancar. Namun dari pembicaraan sepintas yang dapat saya lakukan dengan beberapa wartawan senior negara itu, tampaknya pada saat sekarang memang tidak ada pilihan yang lebih baik dari memberi dukungan kepada pemerintahan Presiden Zia.
Tapi bersamaan dengan itu rekan-rekan ini mengakui, harus ada batas waktu kapan Pemerintahan yang sifatnya darurat itu perlu diakhiri tanpa menimbulkan kegoncangan-kegoncangan baru.
Dalam hubungan itu diingatkan, sekali pun pengaruh almarhum Ali Bhutto banyak berkurang, tapi impian terhadap apa yang pernah dilakukan Bhutto bisa menjelma lagi dalam kekuatan politik yang cukup ampuh, bila pemerintah Zia-ul Haq tidak mampu memberi pilihan yang lebih baik.
Dalam hubungan itulah barangkali dapat dilihat konsepsi politik Presiden Zia-ulHaq mengintrodusir sistem kenegaraan Islam untuk Pakistan sejak Pebruari 1979.
Dalam wawancara khusus dengan lima wartawan Indonesia di kediamannya di Rawalpindi pada hari kedua kunjungan Presiden Soeharto, Presiden Zia mengatakan, pelaksanaan hukum Islam dan penyesuaiannya dengan hukum yang hingga sekarang masih berlaku memang memerlukan waktu. Secara bertahap hukum Barat (dalam hal ini Inggris) yang diwarisi Pakistan akan disesuaikan dengan hukum yang bersumber pada prinsip-prinsip Islam, Tidak dijelaskan terperinci bagaimana caranya. (DTS)
…
Pakistan, Suara Karya
Sumber: SUARA KARYA (11/12/1982)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 715-718.