KETEGANGAN DIDUGA MAKIN MENINGKAT MENDEKATI PEMILIHAN UMUM [1]
Djakarta, Kompas
Dengan mendekatnja Pemilihan Umum diduga tingkat ketegangan mendjadi makin meningkat. Dan dengan makin pekanja situasi, maka intensitas penggunaan kekuasaan ikut djuga meningkat. Saat ini sudah tiba waktunja pers mengembangkan kebebasan jang bertanggungdjawab. Bila tidak demikian, maka pers dapat ditindak.
Demikian kata Wakil Panglima Komando Pemulihan Keamanan & Ketertiban (Kopkamtib) Letdjen Sumitro dalam pertemuannja dengan pimpinan redaksi sk2/ madjalah ibu kota Rabu kemarin diaula Hankam.
Dalam pertemuan pertama kali antara pihak Kopkamtib dengan pimpinan redaksi sk2 itu, Letdjen Sumitro didampingi oleh satuan2 dinas penerangan serta intelidjen dari keempat Angkatan, wakil2 Bakin dan Kedjaksaan Agung.
Kebidjaksanaan Preventip Sedjak 1968
Makin tegangnja keadaan mendekati Pemilu adalah berdasarkan estimate/penilaian pihak intelidjens. Dinas intelidjens jang sebelum G.30.S. dilumpuhkan, hingga tak berfungsi sewadjarnja itu kini mulai disempurnakan. Untuk menghindari terdjadinja “suprise” seperti pada tahun 1965 pihak intelidjens kini selalu berdjaga2 dengan membuat ramalan kedepan, demikian Letdjen Sumitro.
Ditambahkannja bahwa sedjak tahun 1968 kebidjaksanaan Kopkamtib adalah “prevention policy”.
Dan dalam hubungan ini, pihak Kopkamtib tak akan mengorbankan kondisi keamanan & tingkat stabilitas jang sudah ditjapai dengan susah pajah itu.
Fungsi Pers Mengoreksi Pemerintah Setjara Ketimuran
Fungsi pers dalam negara demokrasi Pantjasila – menurut Letdjen Sumitro adalah mengoreksi pemerintah dalam batas2 ketimuran. Kebebasan pers bukanlah berarti menempeleng, mentjatjimaki atau bahkan mengembangkan pertentangan. ltu bukan termasuk kebudajaan Indonesia.
Approach pertama jang dilakukan Kopkamtib terhadap pers adalah dengan djalan persuasi. Bila pers membahajakan keamanan, maka sesudah diberikan peringatan mereka akan ditindak.
Pers Djadi Peka, Karena Tak Pernah Didengar
Djika Letdjen Sumitro mengadjukan appeal kepada pers untuk bekerdjasama setjara bertanggung djawab, maka TD Hafas dari “Nusantara” dalam kesempatan memberikan tanggapannja djuga mengadjukan appeal kepada pemerintah. “Hendaknja kebidjaksanaan pemerintah djangan disusun, demikian rupa hingga memberikan peluang kepada pers untuk menghantamnja habis2an”, katanja.
Sebagai tjontoh dipaparkannja, bagaimana simpang siurnja kebidjaksanaan pemerintah mengenai deposito jang disimpan dibank. Disatu pihak disusun rentjana undang2 jang sudah disahkan parlemen jang membebankan padjak atas deposito. Namun dipihak lain ada pengumuman jang membebaskan bunga dari padjak.
E. Bahaudin dari “Indonesia Raya” menjatakan bahwa makin pekanja pers belakangan ini disebabkan, karena tulisan2 pers tak pernah digubris penguasa.
Zulharmans dari “Kami” menjatakan, bahwa antjaman jang dikemukakan WaPangkokamtib itu menimbulkan ketakutan fatal bagi pers.
Selaku wakil PWI, Zein Effendi mengemukakan, bahwa hendaknja jang dipegang dalam menghadapi pers adalah norma2 hukum positip, seperti terdapat dalam KUHP dan Undang2 Pers. Tindakan jg didjalankan hendaknja djuga disalurkan melalui Kedjaksaan dan Pengadilan sekalipun PWI memahami kekuasaan Kopkamtib jang mendapat limpahan wewenang berdasar Tap.IX/MPRS namun Zein Effendi berpendapat, bahwa norma2 tindakan jang ditentukan diluar sidang pengadilan sukar dipegang. (DTS)
Sumber: KOMPAS (14/08/1970)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 509-510.