KETUA MPRS DJENDERAL NASUTION:
PENGHINAAN ADALAH LEBIH DLM DARIPADA PERMUSUHAN [1]
Djakarta, Sinar Harapan
Ketua MPRS Djenderal A.H. Nasution menjatakan, bahwa kita peringati Isra’ dan mi’rad sekarang ini dalam suasana duka-tjita seluruh umat Bangsa dan republik kita, atas gugurnja dua orang pradjurit utama kita di tiang gantungan pendjara Changi, Singapura, pendjara jang sedjak dulu mendjadi tugu kekuasaan kolonialisme.
Kedua korban itu adalah Harun dan Usman dan pengorbanannja tidak dapat dan tidak boleh kita sia2kan. Republik kita bahkan 115 djuta rakjat Indonesia tersajat hatinja, hati keadilannja. Keadilan jang bukan sekedar hukum, tetapi keadilan sebagai sumber dan dasar hukum.
Rakjat Indonesia terluka hatinja, tega2nja terhina. Penghinaan adalah lebih dalam daripada permusuhan, karena hal itu didalami lagi dengan perasaan.
Demikian dikemukakan oleh Djenderal Nasution dalam sambutan tertulisnja pada upatjara peringatan Isra’ dan Mi’rad Djum’at malam di gedung Lembaga Administrasi Negara, jang diselenggarakan oleh Universitas Nahdlatul Ulama (UNNU) Djakarta.
Djenderal Nasution mengakatakan, bahwa umat diadjari oleh agama untuk membela djiwa, harta dan kehormatan. Orang takkan berdjiwa, kalau tak membela djiwanja. Orang takkan berharga, kalau tak membela hartanja. Dan orang takkan berkehormatan, kalau tak membela kehormatannja.
Namun demikian agama mengandjurkan, bahwa kita tak boleh melebih-lebihkan. Maka itu dalam mengambil tindakan tegas demi kehormatan kita jg dihina itu haruslah difikir matang2 tentang isi dan bentuk tindakan itu, untuk mana pemerintahlah jang menentukan dengan dorongan serta dukungan rakjat melalui lembaga perwakilannja.
Demikian Djenderal Nasution.
Dikatakannja, bahwa tindakan tegas dan tepat perlu dan segera. Dalam hal kehormatan tidak boleh perhitungan2 dagang mendjadi imbangan, karena kehormatan itu tidak dapat dikompromikan. (DTS)
Sumber: SINAR HARAPAN (21/10/1968)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 99-100.