KETUA UMUM PPP: “PAK HARTO OBYEKTIF DAN TERBUKA”
Jakarta, Antara
Ketua Umum PPP Ismail Hasan Metareum SH menilai pemyataan Presiden Soeharto secara berkelakar di depan pimpinan dan anggota DPP KNPI, yang menyebutkan dirinya makin lama makin “TOPP” dalam arti makin Tua, Ompong, Peot dan Pikun, sebagai sikap yang sangat terbuka dan obyektif.
“Ucapan itu mencerminkan keterbukaan Pak Harto dan itu obyektif,” kata Ismail Hasan menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, Kamis. Buya, demikian Ismail Hasan biasa dipanggil, mengaku membaca pernyataan Presiden Soeharto soal “TOPP” itu di suratkabar.
Sebetulnya, kata Ismail Hasan, Rabu malam ia menyaksikan melalui pesawat televisi pertemuan Presiden dengan pengurus KNPI tersebut, namun ketika Kepala Negara bicara soal “TOPP” kebetulan datang tamu sehingga ia tidak mendengarnya secara langsung.
Pada pertemuan itu Presiden Soeharto mengaku dirinya makin lama makin tua, makin ompong, lantas peot dan kalau sudah peot dengan sendirinya menjadi pikun. “Lha niosok MPR akan mernilih orang yang TOPP dalam arti tua, ompong, peot dan pikun,” kata Pak Harto sambil tersenyum .
Menurut Ismail Hasan, PPP belum mau bicara soal pencalonan Presiden, yang seperti dikemukakan Presiden menjacli urusannya MPR basil Pemilu 1992 mendatang.
Ketua Umum partai berlambang bintang itu sependapat dengan Presiden Soeharto bahwa masa jabatan Presiden. Mandataris MPR ada batas waktunya, yakni lima tahun dan kemudian bisa dipilih kembali.
Berkualitas
Buya juga sepakat bila anggota MPR harus benar-benar berkualitas sehingga dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, untuk menentukan GBHN, menentukan strategi pembangunan jangka panjang tahap kedua dan memilih Presiden serta Wakil Presiden.
“PPP siap dengan kader-kader yang berkualitas dan berakar dari bawah. Kader PPP yang di DPR dan MPR dari dulu sudah berani, karena sebagai wakil rakyat tidak boleh takut atau ditakut-takuti,” katanya.
Sementara itu, Ketua Fraksi PDI Fatimah Achmad juga mendukung penegasan Presiden karena hal itu dinilai mencerminkan penghargaan terhadap konstitusi dan aturan main yang ada.
Fatimah mengatakan semua pihak harus berpikir konstitusional, bahwa yang berwenang menentukan Presiden Mandataris MPR itu adalah MPR.
Untuk menentukan berapa kali Presiden dapat dipilih, katanya, terpulang dan tergantung pada MPR, bukan tergantung pada Presiden karena Presiden tidak mempunyai kekuatan apapun juga untuk menakut-nakuti MPR apalagi mempengaruhi supaya MPR memilih terns seorang Presiden yang sudah habis masa jabatannya.
Yang jelas, UUD 1945 menyebutkan bahwa masa jabatan Presiden selama lima tahun dan kemudian dapat dipilih kembali, tegasnya.
Sumber : ANTARA (17/01/1991)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 12-13.