KH. Abdurrahman Wahid DALAM NU TAK ADA LAGI KUBU-KUBUAN
Jakarta, Kompas
Dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU) sekarang ini tidak ada lagi friksi, atau kubu kubuan dikalangan intern organisasi. Rekonsiliasi berjalan lancar, sehingga NU kini berusaha makin memantapkan perannya dalam proses integrasi dan pembangunan bangsa.
Ketua Umum PB NU, KH. Abdurrahman Wahid, mengatakan itu seusai bersama Rois Aam NU, KH. Ahmad Siddiq, diterima Presiden Soeharto di Bina Graha , hari Senin. Mereka melaporkan persiapan Muktamar ke-28 NU di Yogyakarta, tanggal 25-28 November nanti.
Menurut Abdurrahman, kondisi NU sekarang ini sudah pulih dari situasi perbedaan pandangan akibat terlalu aktifnya dibidang politik yang cukup lama. Berbagai friksi dan pandangan yang muncul akibat belum terbiasanya warga NU untuk bebas menentukan sikapnya dalam pemilu 1987, sekarangpun sudah lenyap.
“Kini tidak ada lagi kubu A atau kubu B dalam NU. Apalagi sudah ada sarasehan yang dihadiri anggota NU yang ada di Golkar, PPP dan PDI, sehingga kemesraan semasa masih aktif di NU terulang lagi,” ujarnya.
Dikatakan, muktamar berencana untuk memantapkan posisi NU dalam perannya turut serta pada proses integrasi bangsa. Ada dua hal yang di bahas, yaitu merumuskan secara tepat batasan umat Islam dan konsep Ukhuwah Islamiyyah atau persaudaraan Islam. Ia menilai, konsep itu tidak boleh lepas dari ikatan kebangsaan Indonesia.
Dalam kesempatan itu juga dilaporkan kegiatan NU selama ini, antara lain aktivitas Fatayat NU yang mendidik sekitar 5.000 fasilitator imunisasi selama empat tahun terakhir.
MUI
Di tempat yang sama, Presiden juga menerima rombongan Majelis Ulama Indonesia yang baru kembali dari kunjungan ke Arab Saudi. Delegasi yang dipimpin Ketua Umum MUI, KH. Hasan Basri, berada di sana tanggal 16-28 Februari 1989.
Para ulama kedua negara sepakat untuk lebih mengintensifkan pertukaran ulama kedua negara. Juga diusahakan untuk menambah lembaga pengajaran bahasa Arab di Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Kepala Negara berterima kasih kepada MUI yang telah ikut meneliti dan mengambil sikap atas terbitnya buku “The Satanic Verses” karangan Salman Rushdie yang menghebohkan itu.
Sumber : KOMPAS(21/03/1989)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 85-86.