KHARIS SUHUD: KALAU ANGGOTA DPR TAK VOKAL, BAGAIMANA ?
Jakarta, Suara Karya
Mantan Ketua DPR/MPR M Kharis Suhud membantah anggapan bahwa anggota DPR lama yang tidak terpilih Iagi pada periode 1992/1997, karena mereka vokal. “Semua anggota DPR itu memang harus vokal. Kalau tidak vokal bagaimana?” kata Kharis Suhud menanggapi pertanyaan wartawan, selesai bertemu Presiden Soeharto di Bina Graha Jakarta, Senin.
Penentuan keanggotaan DPR, menurut Kharis Suhud, bukan ditentukan oleh vokal tidaknya seseorang, tetapi tergantung kepada pimpinan masing-masing Organisasi Peserta Pemilu (OPP). “Dalam Pemilihan Utnum (Pemilu) pun rakyat tidak memilih perorangan, tetapi memilih tanda gambar. Jadi ditunjuknya seseorang untuk menjadi anggota DPR tergantung dari pimpinan OPP. Dan ini mungkin ditentukan dengan berbagai pertimbangan,” ujarnya.
Kharis Suhud bertemu Kepala Negara bersama para mantan Wakil Ketua DPR/MPR yang baru menyelesaikan tugasnya, yaitu Saiful Sulun, Soekardi, HJ Naro, R Soeprapto dan Soeryadi. Dari pimpinan DPR/MPR lama itu hanya Soeryadi yang terpilih lagi menjadi Wakil Ketua DPR/MPR periode 1992/1997.
Mantan pimpinan DPR/MPR itu datang untuk berpamitan, sehubungan dengan habisnya masa tugas mereka. “Kami datang untuk berpamitan, berterima kasih atas kerja sama yang telah dijalin dengan baik, serta saling memaafkan atas kesalahan. Sebagai orang timur memang harus demikian,” katanya.
Kharis Suhud mengatakan, Presiden Soeharto mengharapkan agar kerja sama antara legislatif dengan eksekutif yang selama ini telah terjalin dengan baik harus terus dilanjutkan. Bahkan Kepala Negara menekankan, DPR yang baru ini selain lebih terbuka juga terus mengadakan dialog baik dalam rapat-rapat kerja dengan menteri dan pejabat eksekutif, maupun dengan pihak lainnya. Disamping itu, pers juga diminta agar mengikuti dan menyiarkan dialog tersebut, tidak hanya menyiarkan kesimpulankesimpulannya saja. “Jadi pers itu jangan hanya mengambil kesimpulannya saja, tetapi harus mengikuti selengkapnya supaya tahu siapa yang bertanya dan bagaimana jawaban para menteri. Dengan demikian dapat terlihat siapa-siapa saja yang pertanyaannya berbobot dan tidak: berbobot,” kata Kharis Suhud.
“lnilah kontrol dari pers terhadap para anggota DPR/MPR. Kan mereka itu malu kalau dikatakan anggota DPRyang kurang baik,” tambahnya.
Jangan Hanya Pakar
Kharis Suhud mengharapkan agar selain rapat-rapat kerja dengan eksekutif, DPR mendatang ini harus lebih banyak mengadakan dengar pendapat dengan masyarakat umum. Jangan hanya seperti dulu, dengar pendapat umum baru diadakan dengan pakar, profesor atau pengusaha kalau ada pembahasan RUU. Ia setelah meninggalkan DPR ini sangat mengharapkan agar lembaga ini benar-benar merakyat, di mana rakyat itu tahu persis bahwa lembaga ini tempat wakil-wakilnya dan tempat mengadu.
Ia mengemukakan, kesulitannya selama menjadi pimpinan kalau rakyat berbondong-bondong datang mengadu ke DPR. Lalu siapa yang akan menerima mereka. Dilempar ke FKP belum tentu semua yang datang itu Golkar, begitu juga kalau di lempar ke FPPP atau FPDI. Karena saling lempar untuk menerima, maka terpaksa pimpinan DPR lah yang harus menerima. Sebaiknya, kata Suhud, ada para anggota yang bertanggungjawab terhadap daerah-daerahnya. “Misalnya datang rombongan dari Sunter, anggota DPR yang berasal dari DKI Jakarta itulah yang harus menghadapinya karena lebih mengerti masalah Sunter,” kata Kharis Suhud.
“Untung di DPR ini ada Fraksi ABRI, sehingga Fraksi inilah yang selama ini menerima rakyat yang datang dari berbagai golongan itu,” ujarnya.
Yayasan Asmat
Kharis Suhud ketika ditanya akan ke mana setelah dia tidak di DPR lagi, mengatakan, akan mencurahkan perhatian sepenuhnya di Yayasan Asmat, karena banyak yang harus dilakukan untuk mengembangkan suku Asmat Irian Jaya. Misalnya, di bidang pendidikan, budaya, pertanian, perikanan dan sebagainya.
Mendengar pertanyaan tersebut, Solihin GP yang kebetulan ikut nimbrung di ruang wartawan minta izin untuk bertanya. Apakah Pak Suhud yang begitu besar dan tinggi jabatannya dalam DPR/MPR yang tingkatnya nasional, setelah menjadi mantan tidak merasa terlalu kecil hanya untuk mengumsi Asmat.?
Mendengar pertanyaan itu semua wartawan tertawa, termasuk Kharis Suhud sendiri walaupun tampak kesal namun kemudian dia menjawab, “Untuk rakyat tidak ada yang terlalu kecil. Apapun kita ketjakan demi rakyat,” kilah Suhud.
Akhirnya kedua tokoh ini berpolemik. Solihin menangkis, rakyat kita ini banyak dan besar. Seharusnya Pak Suhud setelah tidak di DPR menjadi “vokal”.
Lalu Kharis Suhud menimpali: kecil besar itu sama saja pentingnya. Solihin sambil pergi nyeletuk: Ini namanya “ending yang aman…”.
Sumber : SUARA KARYA (13/10/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 335-336.