KHARISMA SEORANG PRESIDEN

KHARISMA SEORANG PRESIDEN

 

 

Jakarta,Angkatan Bersenjata

PENEGASAN Presiden Soeharto para Rabu malam 11 Desember 1991 dalam pesawat Garuda DC-10 menjelang mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta setelah mengakhiri lawatan ke lima negara di Amerika Latin dan Afrika, serta menghadiri KTT Kelompok 15 di Caracas Venezuela dan KTT Organisasi Konferensi Islam di Dakar Senegal, bahwasanya Indonesia akan tetap berprinsip menerima bantuan luar negeri tanpa syarat politik, dan kalau ada syarat politik sama sekali tidak akan kita terima, apalagi kalau mau memberikan lagi bantuan dengan persyaratan Timor Timur harus demikian, ya tidak,karena melanggar prinsip-prinsip kita.

Penegasan yang disampaikan dengan penuh senyuman dan memberikan kesan low profile telah menyentak berbagai pandangan, baik dalam maupun luar negeri agar kita sebagai bangsa Indonesia memiliki kebanggaan dan harga diri serta menempatkan masalah bantuan luar negeri secara proportional dengan saling menghargai, saling menghormati dan saling tidak mencampuri masalah dalam negeri masing-masing, sekalipun dalihnya adalah kebebasan pers, hak-hak asasi, hutan tropis atau kependudukan dan keluarga berencana, serta lingkungan hidup.

Sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat, serta kemerdekaannya diraih dengan pengorbanan darah dan nyawa para pahlawannya, kita sanggup dan mampu menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara atas dasar Pancasila dan UUD 1945.

Keterkaitan masalah Timor Timur yang kemudian dijadikan batu sandungan oleh beberapa negara donor, terlebih lagi karena ada usulan sementara Lembaga Swadaya Masyarakat yang penuh petualangan, tidak akan membuat kita gentar atau goyah dalam prinsip Sedikitpun kita tidak bergeming.

Kita sudah biasa menjadi bangsa yang tegar dan perkasa dalam mengarungi kesulitan, karenanya kita semakin matang dan dewasa dalam menanggapi masalah apapun, tidak pernah kehilangan arah dan pedoman, karena kita memiliki pijakan kuat yakni Pancasil ,UUD 1945 dan GBHN 1988-1993.

Dengan kata lain, kita tidak pernah kehilangan kendali diri, jati diri , atau mawas diri, malahan demikian Presiden Soeharto, justru kemandirian itu diperlukan untuk membuktikan bahwa sungguh-sungguh kita akar menjadi bangsa yang lepas landas pada awal Pelita VI. Tahap tinggal landas kita akan lebih berkesan, lebih bermakna, dan lebih berharga dalam situasi dan kondisi demikian.

Kita percaya bahwa sebelum memberikan penegasannya, tentu sebagai negarawan yang kita hormati sebagai Bapak Pembangunan, Presiden Soeharto telah memohon petunjuk dari Allah Subhanahu Wataala dan kembali membaca apa yang menjadi amanat rakyat dalam GBHN 1988-1993.

Sesungguhnya apa yang dikemukakan Presiden Soeharto bukanlah sesuatu yg spektakuler, melainkan suatu penegasan yang sama-sama dengan tenang dapat kita baca dalam GBHN 1988-1993 bahwasanya pinjaman luar negeri sebagai unsur pelengkap pembangunan dapat diterima sepanjang tidak ada ikatan politik.

Dengan sendirinya, melalui GBHN 1988- 1993 dapat kita ketahui bahwa pinjaman luar negeri hanyalah merupakan pelengkap, bukan sesuatu yang to be or not to be, atau menentukan hidup atau mati kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

Kemudian GBHN melanjutkan bahwa syarat-syarat pinjaman luar negeri tidak memberatkan dan dalam batas kemampuan untuk membayar kembali serta penggunaannya ditujukan untuk proyek yang diberi prioritas, produktif dan bermanfaat bagi masyarakat dan negara.

Sesuai dengan sifat pinjaman luar negeri sebagai pelengkap maka kemampuan bangsa  dan negara untuk membiayai kegiatan pembangunan perlu lebih ditingkatkan sehingga peranan pinjaman luar negeri dalam keseluruhan pembiayaan pembangunan diusahakan semakin kecil.

Melalui penegasan GBHN, maka secara keseluruhan ,persyaratan pinjaman luar negeri telah memenuhi hasrat kuat bangsa Indonesia untuk mandiri, berdiri di atas kemampuannya sendiri, memiliki kepercayaan kuat atas kemampuan bangsa untuk membangun/tanpa menutup kemungkinan ketjasama yang bersahabat dan saling menguntungkan dengan negara­ negara sahabat, apalagi dalam dunia yang serba transparan pada era globalisasi ini.

Banyak pihak menduga bahwa nada minor negara barat terhadap Indonesia memang direkayasa, kebetulan saja Timor Timur menjadi casus belli sehingga terlihat memberi angin kepada Portugal dan Fretilin, meski keduanya memiliki tujuan yang berbeda pula.

Di samping itu, tanpa terasa, dalam 25 tahun terakhir ini, sejak dicanangkannya Pembangunan Nasional Orde Baru pada 1 April 1969, Indonesia telah tumbuh dan berkembang menjadi negara yang kuat, handal dan tangguh dalam segala bidang karena memang demikian konsep pembangunan nasional kita,sekalipun tertumpu pada bidang ekonomi,namun tidak melupakan pembangunan bidang-bidang lainnya secara serasi, selaras dan seimbang sesuai tingkat keberhasilan ekonomi nasional,yang lebih populer dengan konsep pembangunan komprehensi fintegral (utuh menyeluruh). Keberhasilan ini dapat mengundang kecemburuan pula pada beberapa negara tertentu, termasuk negara barat.

Sebagaimana dikatakan Presiden Soeharto dalam penyampaian pidato kenegaraan sewaktu memberikan nota RAPBN 1989-1990, tidak banyak bangsa yang berhasil mengatasi kemelut bangsanya sendiri. Bangsa Indonesia perlu bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kita berhasil, bukan hanya berhasil menumpas pemberontakan komunis Gerakan 30 September 1965/PKI, tetapi juga mampu mengatasi kesulitan ekonomi dan melaksanakan pembangunan nasional, yang hasil­ hasilnya cukup membanggakan.

Pengakuan dan penghargaan dunia terhadap keberhasilan penanganan masalah swasembada pangan dan kependudukan merupakan bukti nyata kesungguhan kita dalam melaksanakan pembangunan tersebut. Ada pihak yang memberikan analisa bahwa setelah keruntuhan komunis di Eropa Timur dan demikian juga di Uni Soviet, maka pihak negara barat sudah tidak memerlukan sekutu dalam belahan dunia lain, bahkan kinimereka lebih memfokuskan diri dalam Eropa Bersatu dengan klimaks Pasar Tunggal Eropa 1992.

Terlepas kebenaran tersebut, yang jelas pembangunan nasional kita adalah untuk kepentingan bangsa Indonesia, dan keberhasilan pembangunan, baik dalam arti fisik maupun non fisik, diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi negara-negara di sekelilingnya, bahkan untuk lingkungan regional maupun internasional.

Penegasan Presiden Soeharto, dalam kedudukannya, baik sebagai Kepala Pemerintahan, maupun sebagai Kepala Negara, telah meredakan kegusaran banyak pihak. Ini berarti, Presiden Soeharto memiliki kemampuan human relation dan public relations yang baik karena beliau mampu menterjemahkan dan mengkomunikasikan apa sebenarnya yang ada di hati rakyat Indonesia dan sekaligus menjawab dengan tegas, rendah hati, sopan santun namun perkasa serta ksatria terhadap ancaman beberapa negara barat, sehingga, mungkin karena adanya masalah Timor Timur termasuk insiden Dili 12 November 1991, mereka melupakan tugas utama untuk membina hubungan baik secara timbal balik dan berkesinambungan, dengan prinsip saling menghormati, saling menghargai dan saling tidak mencampuri masalah dalam negeri dari suatu negara yang merdeka, bersatu, berdaulat dan berkedaulatan rakyat. Itulah kharisma seorang Presiden. (SA)

 

Sumber : ANGKATAN BERSENJATA(16/12/91)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 422-424.

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.