Kita di Tengah Dunia Sekarang

Kita di Tengah Dunia Sekarang [1]

Dunia sekarang masih jauh dari aman. Dua kekuatan adikuasa, Amerika dan Rusia beradu-hadapan. Perlombaan persenjataan di antara mereka belum juga menunjukkan tanda-tanda akan diakhiri. Tetapi saya tak pernah merasa berat menghadapi pertentangan dua kekuatan adikuasa itu. Sebabnya, kita tidak mau turut campur dan tidak mau memblok pada salah satu pihak. Kita mesti dan memang punya pendirian sendiri. Sebagai bangsa yang berdaulat, kita  memilih dan menentukan cara kita sendiri. Ingatlah bagaimana sikap kita mengenai Afghanistan, mengenai percobaan senjata nuklir di Samudera Pasifik, mengenai serangan Amerika ke Grenada dan paling akhir ke Libya.

Sementara itu kita juga menyaksikan ketimpangan-ketimpangan dalam mencapai kemajuan dan kesejahteraan umat manusia. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dunia mengalami kemajuan luar biasa sehingga tampak seolah-olah memberi kesempatan yang tidak ada batasnya bagi umat manusia, baik untuk mencapai kesejahteraan yang sebesar-besarnya maupun untuk mendatangkan kehancurannya sendiri yang tiada tara.

Ada orang yang prihatin dan menilai bahwa politik luar negeri Indonesia semasa saya memegang pucuk pimpinan pemerintahan pernah atau dewasa ini sudah agak berat sebelah, terlalu ke Barat. Pandangan semacam ini jelas tidak benar, salah. Indonesia tetap melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif dengan tepat, dinamis dan berinisiatif serta tetap tidak menggantungkan diri kepada negara mana pun di dunia ini. Indonesia ingin bersahabat dan bekerja sama, terutama di bidang teknik dan ekonomi, dengan negara mana pun juga, blok Barat atau blok Timur, atas dasar persamaan derajat dan saling menguntungkan.

Tidak benar bahwa Indonesia berada di bawah bayang-bayang Amerika. Ingat, Indonesia sangat menyesalkan serangan yang dilakukan Amerika terhadap Libya di minggu ketiga bulan April 1986, dengan alasan apa pun. Tindakan tersebut lebih kita sesalkan karena dilakukan dengan mengabaikan himbauan yang diajukan banyak pihak agar kedua negara menahan diri dari tindakan kekerasan. Pernyataan Indonesia itu diumumkan di Jakarta menjelang datangnya Presiden AS Ronald Reagan di Bali di permulaan bulan Mei (1986). Indonesia mengharap agar tindakan ini tidak meluas, sehingga dapat mengancam perdamaian dunia.

Menlu kita, Mochtar, menandaskan bahwa Indonesia menganggap tindakan pemboman Amerika terhadap Libya itu sangat bertentangan dengan pririsip dasar Piagam PBB dan Gerakan Non-Blok, yakni prinsip tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa. Delegasi RI mendukung pendapat bahwa Gerakan Non-Blok wajib mengeluarkan pernyataan yang mengungkapkan keprihatinan yang mendalam menghadapi situasi yang gawat pada waktu itu. Delegasi saya sependapat dengan pernyataan PM Rajiv Gandhi waktu itu dalam kedudukannya sebagai wakil Gerakan Non-Blok, yang sangat menyesalkan tindakan agresi Amerika Serikat itu.

Apakah ini tidak cukup menunjukkan sikap kita yang tidak mengekor? Kita tetap punya pendirian sendiri. Politik luar negeri kita sama sekali tidak berubah, ialah bebas dan aktif.

Non-alignment Indonesia bukanlah didasarkan pada prinsip oportunitas, tetapi telah  merupakan sebagian dari identitas bangsa dan negara Indonesia. Bagi Indonesia, politik luar negerinya yang non­alignment itu tidak sama dengan non-involvement. Oleh karena itu, Indonesia lebih suka menamakannya politik yang bebas dan aktif karena bagi Indonesia non-alignment bukanlah suatu politik yang steril, mati, ataupun bertopang dagu. Politik luar negeri Indonesia adalah bebas dalam arti, bahwa Indonesia bebas dari ikatan-ikatan apa pun, tidak saja ikatan-ikatan pakta militer atau politik, tetapi juga ikatan­-ikatan ideologis sehingga Indonesia benar-benar bebas untuk menilai suatu masalah atau pun suatu kejadian tanpa dipengaruhi oleh ikatan­ ikatan apa pun, militer, politik, maupun ideologis. Politik luar negeri Indonesia adalah aktif dalam arti, bahwa Indonesia aktif berusaha dan bekerjusama dengan negara-negara lain yang benar-benar cinta damai untuk mengatasi persoalan-persoalan yang membahayakan perdamaian dan keamanan dunia agar tercapai perdamaian yang kekal dan abadi di dunia ini, agar tercapai keadilan dan kemakmuran bagi seluruh umat  manusia.

Belakangan orang membicarakan pendapat yang berkembang di Australia bahwa Indonesia merupakan ancaman bagi Australia. Mengenai ini saya tegaskan, tidak pernah terbayang dan terlintas dalam pikiran Indonesia untuk merayah dan mengganggu negara lain. Politik luar negeri Indonesia adalah politik perdamaian, kerjasama, dan pembangunan.

Indonesia tidak pernah menyusun kekuatan untuk tujuan-tujuan merayah atau mengganggu negara lain. Jika kita merasa perlu memiliki angkatan bersenjata yang kuat, maka hal itu wajar merupakan tanggung jawab untuk memelihara martabat Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Andalan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan nasional dan keutuhan bangsa adalah ketahanan nasional. Dan ketahanan nasional ini secara terpadu dikembangkan terus menerus dalam bidang­-bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

Sejak kemerdekaan di tahun 1945, Indonesia berpegang pada politik luar negeri bebas dan aktif. Kita tidak ingin serta-merta memihak salah satu kekuatan mana pun di dunia, Jebih-lebih pada kekuatan-kekuatan besar dunia yang saling berhadap-hadapan.

Dengan sikap bebas seperti itu, kita dapat melaksanakan dengan penuh kesadaran dan pesan  Pembukaan Undang-Undang Dasar kita, agar RI aktif ikut mewujudkan dunia yang tertib, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Di tahun 80-an keadaan dunia sudah jauh berubah jika dibandingkan dengan empat puluh tahun yang lalu. Tetapi perkembangan dan perubahan zaman itu justru menunjukkan bahwa politik luar negeri yang bebas dan aktif merupakan jalan paling tepat bagi Indonesia, baik untuk menjaga kemandirian dan kemerdekaan nasional negeri ini secara terhormat, maupun untuk memberi sumbangan bagi perdamaian, kestabilan, dan keadilan dunia.

Dengan politik luar negeri yang bebas dan aktif itu kita ingin membangun persahabatan yang tulus dan kerjasama yang saling memberi manfaat dengan semua negara, tanpa membeda-bedakan sistem politik atau sistem sosial yang mereka anut. Kita ingin membangun saling pengertian yang jujur dengan semua negara. Kita ingin menghormati prinsip mereka dan kita ingin memahami persoalan­persoalan mereka.

Jelas, Orde Baru tetap konsekuen bahwa kita ingin hidup berdampingan secara damai dengan negara manapun juga yang selalu berpegang teguh pada prinsip menghormati kedaulatan masing-masing, tidak mencampuri urusan dalam negeri dan mau kerjasama yang saling menguntungkan.

MPR memberikan tugas kepada saya sebagai Presiden/ Mandatarisnya, melalui ketetapan-ketetapannya bahwa politik luar negeri kita harus kita lakukan untuk turut serta mendukung terciptanya perdamaian dunia. Begitulah, dalam melaksanakan perjuangan kita, kita ingin ikut serta menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan; perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tetapi juga ditekankan bahwa politik luar negeri kita harus diarahkan untuk mendukung pembangunan. Dan rencana  pembangunan kita menetapkan bahwa di samping menggunakan kekuatan sendiri, kita masih membuka kemungkinan memanfaatkan uluran tangan negara sahabat yang ingin membantu kita tanpa ikatan politik maupun ikatan lainnya, uluran tangan negara sahabat yang benar-benar ingin saling menguntungkan.

Kita telah menentukan melewati undang-undang penanaman modal asing apa yang  kita inginkan. Kita telah mengambil sikap mengenai bantuan pinjaman yang kita pilih dengan syarat-syarat yang lunak, baik mengenai bunganya maupun waktu pengembaliannya, supaya kredit itu benar-benar bisa kita manfaatkan  guna pembangunan kita.

Berkenaan dengan yang terakhir itu hanya negara-negara Barat, termasuk Jepang, yang bisa memenuhi keinginan kita. Tidak ada negara sosialis yang bisa memenuhi keinginan kita. Ada negara sosialis yang mau memberikan pinjaman kepada kita, tetapi dengan persyaratan jangka pendek yang bakal memberatkan kita. Maka itu tidak bisa kita terima.

Demikian, kelihatannya saja kita seolah-olah dekat dengan Barat. Padahal, itu disebabkan oleh bantuan yang memenuhi persyaratan yang kita pegang.

Setelah Pelita II rampung dan berhasil, negara Barat menilai bahwa Indonesia tidak perlu lagi menerima bantuan dengan syarat yang lunak seperti selama ini. Jangka waktu bantuan atau pinjaman itu mereka perpendek. Maka kita lontarkan masalah ini kepada Rusia sebagai negara sosialis. Tetapi reaksinya, belum ada yang bisa menyenangkan kedua belah pihak. Inilah yang menyebabkan nampaknya seolah-olah kita tidak dekat dengan negara-negara Timur.

Orang-orang sering salah terka, menilai seperti kita dijejali, dipaksa untuk menerima bantuan dari Barat. Tidak begitu halnya! Kita menentukan, kita yang menentukan. Kalau tidak menguntungkan kita, tidak sesuai dengan keinginan kita, kita tolak. Begitu, seperti halnya dengan tawaran dari negara komunis.

Selama saya memegang pucuk pimpinan, saya tidak pernah menemukan kejengkelan dalam berhubungan dengan pemimpin­pemimpin negara-negara lain. Dan kalau pun saya menjadi jengkel, saya sudah siap untuk mengendalikan diri. Sebab, kalau tidak begitu, bisa timbul salah pengertian.

Diingat-ingat, menjadi tamu dari dan menerima tokoh luar negeri, semua itu berjalan baik. Saya ingat kepada filsafat nenek moyang kita “Prang tanpa bala, menang tanpa ngalahake” (Perang tanpa kekerasan dapat memperoleh kemenangan, tercapai cita-citanya, tanpa menimbulkan rasa kalah pada lawannya).

Dalam berhubungan dengan negara-negara lain itu, tentu saja kepentingan nasional kita utamakan, dengan prinsip: hidup berdampingan secara damai, menghormati kedaulatan masing-masing, tidak mencampuri urusan dalam negeri orang lain.

Kita, sebagai bangsa yang mempunyai ideologi nasional dan menentukan politik berdasarkan kebutuhan kita sendiri, tidak perlu memaksakan yang lain untuk hams sama dengan kita. Tetapi sebaliknya pula, bangsa lain yang mempunyai ideologi lain, yang komunis misalnya, tidak perlu memaksa kita untuk menerima komunisme.

Pertanyaan timbul, mengapa Indonesia yang sudah menghancurkan PKI masih juga bersahabat dengan negara-negara komunis? Kita memang menghancurkan partai komunis di Indonesia, karena partai itu tidak sesuai dengan Pancasila dan mengancam Pancasila. Tetapi itu tidak berarti bahwa kita hams bermusuhan dengan negara-negara komunis. Bila ada bangsa lain memilih komunisme sebagai dasar negaranya, itu adalah urusannya. Kita tidak perlu mencampurinya.

Sekarang tinggal kita mencari kerjasama yang saling menguntungkan, sekalipun antara kita dengan mereka ada perbedaan; mereka komunis dan kita Pancasilais.

Sejak 1966 saya membuat langkah-langkah dengan prinsip-prinsip utama dalam berhubungan dengan negara-negara lain itu. Kita buktikan dengan mengembalikan hubungan baik dengan Malaysia, dengan Singapura. Lalu kita buktikan hal itu di wilayah ASEAN yang berkembang dengan baik dan menyenangkan.

Ada yang menyebutkan bahwa saya dianggap sebagai tokoh tertua di lingkuhgan Asia Tenggara ini. Tetapi terus terang, sekalipun mereka benar menganggap diri saya demikian, saya tidak pernah menempatkan diri saya sebagai seseorang yang melebihi mereka. Saya sama-sama menghormati mereka. Dengan begitu rasanya mereka akan tambah hormat kepada kita. Jadi, “prang tanpa bala, menang tanpa ngalahake” itu bisa kita pakai.

Berkenaan dengan tokoh dari Malaysia, dengan tokoh dari Singapura (Lee Kuan Yew), saya rasa, mereka menaruh respect terhadap segala sesuatu yang saya lakukan. Tetapi juga saya tidak merendahkan mereka, bahkan menghargai mereka. Tidak pernah timbul pada saya perasaan merendahkan mereka, apalagi menghina mereka. Dan  terhadap  negara-negara dan pemimpin-pemimpin ASEAN lainnya, saya merasa sama. Mereka tidak mendapatkan tempat yang berbeda di hati saya. Dan sebenarnyalah, mereka harus diperlakukan sama oleh kita.

Saran-saran untuk merombak struktur kerangka  ekonomi internasional dan untuk membangun tata ekonomi baru dunia, tidaklah sepantasnya dilihat sebagai jeritan untuk mendapatkan belas kasihan yang lebih besar dari si kaya, atau untuk mengalihkan kekayaannya secara besar-besaran. Tetapi ini adalah suatu keperluan, di mana baik negara berkembang maupun negara maju mempunyai  kepentingan vital.

Saya memuji organisasi internasional PBB atas segala hasil yang telah disumbangkannya bagi umat manusia selama ini. Tetapi saya mencatat pula berbagai hambatan dan kekurangan yang masih dihadapi PBB yang sering menimbulkan kekecewaan di antara bangsa-bangsa di dunia, mengenai soal keamanan, perlucutan senjata, sisa penjajahan yang belum rampung, juga kerjasama ekonomi internasional.

Berkenaan dengan hubungan kerjasama ekonomi internasional, saya melihat betapa hubungan itu masih diwarnai oleh ketidakadilan, ketidakseimbangan, dan eksploitasi. Kendala-kendala itu dengan jelas menggambarkan bahwa sistem ekonomi internasional dewasa ini (1985) tidak mampu membantu mayoritas umat manusia guna mencapai kemajuan. Segala sesuatu itu merupakan tanda-tanda kelemahan struktural tata ekonomi dunia dewasa ini.

Sebenarnya, saling bergantung harus merupakan suatu jalan dengan dua arah. Negara-negara maju pun akan mendapat keuntungan yang tidak kurang dari negara-negara berkembang jika terdapat peningkatan stabilitas dan pemerataan dalam pasaran komoditi, jika terdapat arus perdagangan dunia yang lebih bebas, dan jika sistem moneter dan keuangan mempunyai struktur yang lebih sehat.

Saya pikir, sangat dibutuhkan timbulnya suatu pandangan bam dalam kerjasama ekonomi internasional. Yaitu didasarkan pada pengakmin bahwa dalam dunia yang saling bergantung, harus ada pembagian yang adil. Tidak saja dari beban-beban yang harus dipikul, tetapi juga dari basil pembangunan global. Hal ini hanya dapat dicapai jika lembaga-lembaga internasional dapat bekerja secara merata dan dengan demokratisasi  hubungan-hubungan  antar-negara.

Saya mengajak agar dunia berpaling kepada semangat 1945 kembali dan memperbahami janji-janji untuk melaksanakan kerjasama multilateral. Janganlah kita lupa bahwa pada hakikatnya adalah rakyat di selumh dunia dan bukannya pemerintah-pemerintah  yang mempakan warga PBB. Dan dari mereka itulah, warga setiap negara, diperlukan pembaktian yang lebih mendalam kepada cita-cita yang terkandung dalam Piagam PBB, agar pemerintahan mereka masing­masing dapat melibatkan diri secara positif dalam segala pekerjaan PBB.

Saya masih melihat juga ketidakmampuan PBB menangani masalah serta tantangan baru dengan tuntas, telah menimbulkan frustasi dan bahkan keraguan mengenai relevansi PBB dewasa ini. Misalnya, Dewan Keamanan yang harus melaksanakan tanggung jawab utamanya dalam mempertahankan perdamaian dan keamanan. Kewajiban kita yang utama adalah menjamin agar peranan Dewan Keamanan maupun Sekjen dapat diperkuat dalam memecahkan konflik. Demikian pula harus dibentuk kelengkapan yang dapat melaksanakan tugas memadamkan krisis sebelum hal itu meledak menjadi  peperangan total. Untuk itu, maka perbaikan bidang prosedural dan lain-lainnya harus diperkuat lagi dengan kesediaan tulus ikhlas para anggota, terutama anggota tetap Dewan Keamanan, untuk melaksanakan kewajiban global mereka yang dibebankan oleh Piagam PBB.

Operasi-operasi pasukan pemeliharaan perdamaian dalam rangka PBB pun harus ditinjau kembali, sebab operasi itu umumnya masih bersifat terbatas guna dan seadanya, sehingga  tidak  pernah menciptakan atau membangun perdamaian. Sistem pemeliharaan perdamaian itu harus dikembangkan lebih lanjut dengan didasari konsensus mengenai penugasan, pembiayaan, serta yurisdiksinya, sehingga dapat lebih menjamin dukungan global. Saya mengingatkan pula kepada masyarakat internasional agar mengutamakan usaha yang dapat mencegah terjadinya perang nuklir. Pacuan senjata, baik nuklir maupun konvensional harus dihentikan segera dan diarahkan ke jurusan sebaliknya.

Saya menyerukan agar negara-negara nuklir menghentikan segala percobaan, pembuatan, dan I pagelaran senjata nuklir, serta dengan ikhlas berjanji tidak menggunakannya, dan kemudian melanjutkan dengan sungguh-sungguh perundingan pelucutan senjata nuklir.

Saya masih melihat juga adanya sisa-sisa penjajahan. PBB punya kewajiban khusus guna melaksanakan hak asasi berjuta-juta rakyat Afrika Hitam di Namibia dan Afrika Selatan, di mana masih merajalela penindasan kolonial dan apartheid yang merupakan bentuk penjajahan yang paling merendahkan martabat manusia dan yang dikutuk di seluruh dunia sebagai rasisme yang paling jahat.

Masalah Palestina juga tidak dapat dilepaskan dari kaitan kolonialisme. Mereka, orang-orang Palestina, belum juga dipulihkan haknya untuk kembali ke tanah  air mereka.

Tentu saja ada hasil-hasil positif PBB. Antara lain transformasi keadaan dunia dari yang diliputi belenggu penjajahan menjadi suatu masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara merdeka. Ini adalah salah satu hasil terpenting PBB.

Kenyataan juga bahwa sejak 1945 konflik-konflik yang timbul tidak pernah menjalar menjadi konflik dunia Ini adalah berkat PBB.

Dalam pada itu, benar Dewan Keamanan PBB tidak dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan cara yang termaktub dalam Piagam PBB, namun Dewan Keamanan telah  membuktikan manfaatnya sebagai forum, di mana pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian dapat mencari penyelesaian dan memperoleh waktu guna mengganti penggunaan kekerasan  senjata dengan negosiasi, konsiliasi, atau mediasi. Dan berkat “diplomasi pencegahan” yang dilancarkan dalam kerangka PBB, maka konflik yang timbul selama 40 tahun yang lalu ini tidak jadi membawa malapetaka yang terlalu besar, dan juga lebih mudah untuk dicarikan penyelesaiannya secara damai.

Sumbangan positif PBB lainnya adalah dalam pembangunan sosial dan ekonomi internasional yang begitu luas dan kompleks. PBB telah memainkan peranan penting, bahkan menentukan. Antara lain PBB telah meningkatkan bantuannya kepada negara-negara yang sedang membangun, guna mematahkan lingkaran kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan.

Usaha yang dilakukan oleh badan-badan khusus PBB telah mengurangi penderitaan kaum pengungsi jutaan anak yang kurang makan, dan juga mereka yang dilanda penyakit, buta aksara, dan bencana alam. Demikian pula dalam kerjasama ekonomi, teknik, dan di bidang hak asasi manusia.

Tetapi patut disayangkan bahwa banyak kegiatan serta program-program itu tidak begitu tampak oleh umum. Meskipun demikian, untuk itu tiap tahun dikeluarkan tidak kurang dari dua milyar dollar.

Patut pula diingat para pendiri PBB yang sangat mengutamakan pentingnya suatu tata internasional yang berdasarkan keadilan serta keagungan hukum. Dalam bidang ini, hasil-hasil yang dicapai PBB patut dihargai karena dalam waktu 40 tahun, telah dihasilkan banyak produk hukum internasional yang meliputi beraneka ragam usaha umat manusia jika dibandingkan dengan periode mana pun dalam sejarah sebelumnya.

Saya serukan kepada semua bangsa untuk memperbaharui pengabdian yang sedalam-dalamnya dan setulus-tulusnya terhadap tujuan dan asas-asas Piagam PBB. Sekaligus memperteguh kembali kepercayaan kepada kemampuan PBB sebagai sarana utama untuk menjamin tercapainya kondisi-kondisi minim bagi perdamaian, keadilan, dan pembangunan di dunia.

Saya sampaikan pendapat saya ini di forum Sidang Umum PBB dalam ulang tahunnya yang ke-40, yang dibacakan oleh Menlu Mochtar Kusumaatmadja, bahwa Pemerintah dan rakyat Indonesia memperbaharui kesetiaannya kepada PBB sebagai pusat dan benteng tata dunia yang baru, yang juga memiliki kekuatan baru.

Dalam perjuangan kemerdekaan dahulu, kita mengandalkan kekuatan sendiri. Saya yakin, ini membuat bangsa kita memiliki kepercayaan diri yang kuat. Ini melahirkan politik luar negeri kita yang bebas aktif. Jika dalam tahun-tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan lahir Gerakan Non-Blok, maka sesungguhnya kita bukan memasuki gerakan itu, melainkan sejak Proklamasi Kemerdekaan kita sudah non-blok.

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemerdekaan bagi setiap bangsa, sebagai bangsa yang mengalami pahit getirnya campur tangan dari luar, maka dalam perkembangan selanjutnya kita makin menegaskan pendirian dan usaha kita agar dalam tata pergaulan dunia, semua negara hendaknya menjauhkan diri dari campur tangan terhadap  urusan  dalam negeri orang lain. Sementara itu kita  terus-menerus berusaha memberi dorongan agar berkembang kerjasama antar-bangsa untuk tujuan-tujuan konstruktif membangun masyarakat dunia, terutama Dunia Ketiga.

Saya merasa berbahagia, kita merasa bangga telah menjadi tuan rumah berkenaan dengan Konferensi Asia Afrika. Dasa Sila Banduhg telah berkumandang dan tetap terdengar sampai sekarang.

Kita juga merasa berbahagia dapat menjadi salah satu pelopor dari Gerakan Non-Blok dan sampai sekarang bersama-sama dengan anggota-anggota yang lain berusaha keras untuk menjaga kemurnian gerakan itu dari tarikan-tarikan yang akan membelokkannya.

Kemudian, salah satu bentuk yang paling bermakna dari tugas-tugas yang kita emban dalam bidang kesejahteraan dunia adalah lahirnya ASEAN yang kita bangun bersama-sama  dengan  negara-negara anggota lainnya. ASEAN dalam dirinya mencerminkan tekad bangsa yang menjadi anggotanya untuk menciptakan ketentraman, rasa aman, kemajuan, kesejahteraan, dan kebahagiaan bersama bagi rakyat-rakyat di kawasan ini.

GBHN telah menunjukkan arah dan kebijaksanaan pembangunan di bidang hubungan luar negeri. Pelaksanaan politik luar negeri kita yang bebas dan aktif terus dilaksanakan secara konsekuen dan diabdikan untuk kepentingan nasional, terutama untuk kepentingan pembangunan di segala bidang. Tak pernah saya lepaskan kendali ini.

Di samping itu usaha dan peranan Indonesia dalam ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, melalui fora dan kerjasama internasional, regional, dan bilateral tetap terus ditingkatkan sesuai dengan kemampuan nasional. Dalam rangka itu, terus dilanjutkan dan ditingkatkan usaha-usaha serta peranan Indonesia dalam ikut serta menyelesaikan persoalan-persoalan dunia yang mengancam perdamaian dan bertentangan dengan rasa keadilan dan kemanusiaan.

Tentu saja kerjasama di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya perlu makin ditingkatkan. Khususnya kerjasama di antara negara-negara anggota ASEAN, menuju terwujudnya dan tetap dipertahankannya kawasan Asia Tenggara yang damai, bebas, netral, dan sejahtera. Ini merupakan konsensus di kawasan Asia Tenggara. Untuk itu kita sodorkan kepada ASEAN dasar wawasan strategi Ketahanan Nasional. Kita maksudkan, strategi Ketahanan Nasional yang harus menjamin kelangsungan hidup negara­ negara anggota ASEAN.

Apabila tercapai stabilitas nasional di masing-masing negara anggota, maka akan terwujud pula stabilitas kawasan regional. Bertolak dari pikiran ini, sekarang (1987) saya memandang masih perlu anggota ABRI menjadi duta besar di kawasah Asia Tenggara ini dan di sementara negara tetangga kita lainnya supaya anggota ASEAN betul-betul bisa menyerasikan diri dalam usaha meningkatkan ketahanan nasionalnya masing-masing.

Dalam pada itu, tentu ini tidak berarti kita menjurus kepada militer semata-mata. Kerjasama di antara negara-negara anggota ASEAN ini sekarang dititikberatkan kepada kerjasama untuk meningkatkan ketahanan nasional masing-masing, bukan dalam rangka pakta militer. Saya rasa, ketahanan nasional yang paling lemah di ASEAN adalah di bidang ekonomi. Di bidang ini semuanya lemah, kecuali Singapura. Sebab itu, saling membantu meningkatkan ketahanan ekonomi tiap negara anggota adalah perlu.

Dalam berupaya memantapkan pelaksanaan Wawasan Nusantara, mewujudkan tata dunia baru, mewujudkan Tata Ekonomi Dunia Baru, kita terus bekerjasama dengan negara-negara berkembang lainnya, dengan memanfaatkan fora seperti Organisasi Negara-negara Non­Blok, Organisasi Konferensi Islam, PBB dan lain-lainnya.

Mengenai setiap perkembangan dan kemungkinan gejolak dunia, baik politik maupun ekonomi, saya perintahkan untuk diikuti secara seksama agar dapat diketahui pada waktunya kemungkinan­kemungkinan yang dapat mempengaruhi stabilitas nasional dan yang menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga kita dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengamankan pembangunan. Dalam pada itu, perkembangan dunia yang mengandung kesempatan untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan perlu dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan nasional.

Di depan para diplomat, berulang kali saya tegaskan bahwa diplomasi yang harus dilaksanakan oleh para diplomat kita adalah diplomasi perjuangan, yang tidak bisa dipisahkan dengan sejarah lahirnya bangsa kita. Cara ini adalah cara bangsa Indonesia melakukan hubungan dengan dunia luar dalam usaha mencapai tujuan nasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD ’45 dan GBHN. Sejak Repelita I dan seterusnya tujuan itu berupa pembangunan nasional di segala bidang. Oleh karenanya diplomasi perjuangan harus mendukung secara aktif pelaksanaan pembangunan di segala bidang itu.

Jelas, diplomasi Indonesia tidak bisa dilaksanakan secara rutin, melainkan harus merupakan diplomasi perjuangan. Diplomasi Indonesia dijalankan senafas dengan kelaziman serta tata krama diplomasi internasional, tetapi di samping itu diplomasi Indonesia pertama-tama harus dibekali dengan keteguhan hati dan kepercayaan pada diri sendiri.

Dalam pada itu, diplomasi perjuangan bukan diplomasi mercusuar, radikal dan ikut-ikutan, melainkan diplomasi persahabatan yang mencari kawan sebanyak-banyaknya dan memperkecil jumlah lawan. Oleh karena itu, diplomasi Indonesia harus mampu melaksanakan praktek diplomasi yang tidak saja terikat pada kebiasaan protokoler yang resmi, tetapi harus berkembang ke arah cara-cara yang lebih efektif dalam pengabdiannya kepada bangsa, negara, dan tanah air. Salah satu sarana yang dapat dipergunakan dalam melaksanakan diplomasi perjuangan ini adalah sarana kebudayaan.

Beginilah keadaan dunia kita sekarang. Perselisihan antar-Super Power masih saja berkepanjangan. Sekalipun secara langsung belum konfrontatif, nyata bentuk konfrontasi itu terjadi di berbagai kawasan. Latar belakang pertentangan yang terjadi di berbagai kawasan itu jelas merupakan pertentangan negara-negara adikuasa itu.

Selama hal itu masih belum bisa diatasi, mau tidak mau dunia masih terancam oleh bahaya-bahaya perang. Karena itu, segala usaha untuk mendekatkam kedua Super Power itu merupakan kemutlakan dalam kita menginginkan terwujudnya perdamaian dunia yang didambakan oleh setiap bangsa.

Jadi, harus ada usaha, mendekatkan dan menyadarkan negara­negara lain untuk tidak ikut-ikutan mempertajam pertentangan negara­ negara adikuasa itu. Terlibat atau melibatkan diri pada pertentangan Super Power hanya akan menyebabkan terbentuknya blok-blok. Di sinilah sebenarnya peranan Negara Ketiga, terutama yang tergabung dalam kelompok negara-negara non-aligned yang ingin menjauhkan diri dari pertentangan-pertentangan negara besar itu. Di akhir tahun 1987 ada titik-titik terang, yang melegakan dunia dengan tercapainya persetujuan antara Amerika dan Uni Soviet mengenai pembatasan senjata nuklir jarak sedang. Ini harus dikembangkan menjadi awal dari ketegangan dunia menuju tercapainya perdamaian dunia.

Waktu melantik para duta besar yang baru di bulan Februari 1988 sekali lagi saya tegaskan mengenai pelaksanaan politik luar negeri yang bebas dan aktif itu. Indonesia tidak ingin memihak kepada salah satu kekuatan besar dunia, lebih-lebih kekuatan besar yang saling berhadap­hadapan. Dengan melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif, Indonesia ingin membangun persahabatan yang tulus dan kerjasama yang saling memberi manfaat dengan semua negara tanpa membeda-bedakan sistem politik atau sistem sosial yang mereka anut. Kita ingin membangun saling pengertian; ingin menghormati prinsip-prinsip mereka dan ingin memahami persoalan-persoalan mereka. Kita tidak ingin mencampuri urusan dalam negeri negara-negara lain. Sarna halnya dengan sikap kita untuk tidak ingin dicampuri urusan dalam negeri kita oleh negara lain.

Dalam dunia yang penuh dengan harapan dan ancaman seperti ini, kita harus pandai-pandai mengemudikan politik luar negeri kita dalam tekad kita untuk terus berjalan menuju tahap tinggal landas pembangunan kita sebagai pengamalan Pancasila.

Sayang, dalam kesempatan ini saya belum bisa berbicara menilai seorang demi seorang para pemimpin negara sahabat yang pernah saya temui dan saya ajak bicara, sekalipun saya mempunyai penilaian pribadi tentang mereka. Sebagai Kepala Negara saya belum boleh mengemukakan penilaian pribadi saya tentang mereka itu, karena bisa­bisa akibatnya dapat merugikan negara dan bangsa kita, dapat meretakkan hubungan antara kedua bangsa.

Apa yang bisa saya kemukakan di sini adalah bahwa bagaimanapun kelebihan dan kekurangan mereka, sebagai Kepala Negara saya selalu berusaha untuk membuktikan, bahwa kita bisa hidup berdampingan secara damai dengan negara dan bangsa lain yang mana pun juga, sekalipun berbeda politik, berbeda sikap dan tingkah laku. Kita menghormati kedaulatan mereka. Kita tidak mau mencampuri urusan dalam negeri mereka. Kita ingin melaksanakan kerjasama yang saling menguntungkan.

Kalau saya mengatakan bahwa seseorang di antara mereka itu sombong, bisa-bisa ia menjadi sakit hati karenanya, dan lantas dia membalasnya bukan pada saya, melainkan kepada bangsa Indonesia.

Saya pikir, mengemukakan penilaian terhadap seseorang di antara mereka, sekarang sewaktu saya masih menjadi Kepala Negara, tidaklah patut, di samping berbahaya bagi negara dan bangsa.

***


[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 479-491.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.