KITA RAPATKAN BARISAN MENGHADAPI MASALAHMASALAH PELIK YANG TIMBUL
Jakarta, Kompas
KEMARIN malam, Presiden dan Ibu Tien Soeharto beserta rombongan tiba kembali di Tanah Air setelah melakukan perjalanan muhibah panjang ke beberapa negara di Amerika Latin dan di Afrika. Perjalanannya dipersingkat tiga hari dari rencananya semula.
Kita memperoleh beberapa kesan kuat dari mengikuti kegiatan Kepala Negara di luar negeri. Yang pertama, bahwa Presiden Soeharto yang tahun lalu genap berusia 70 tahun itu, tampak segar bugar serta tetap cekatan vitalitas intelektualnya.
Yang kedua, bahwa dalam kunjungan ke negara-negara di dua benua tersebut, terpancar keseniorannya sebagai negarawan. Kecuali oleh akumulasi kearifan yang dibangun dari pengalaman jabatannya, kewibawaan itu bertumpu pada prestasi pembangunan nasional di Indonesia.
Pengalaman membangun itulah, yang menjadi pesan dialog dengan mitra-mitra tuan rumah negara yang dikunjungi maupun dalam dua pertemuan multinasional di Caracas serta di Dakar. Pendekatan memecahkan persoalan dalam konteks kerja sama, membangun solidaritas serta memberi makna dan isi kepada kemerdekaan nasional.
Amatlah nyata, tibanya zaman baru, tatkala dalam panggung politik dunia, rethorika politik memberikan tempat kepada perjuangan nyata, membumi, dalam usaha memperbaiki perikehidupan rakyat.
SEBAGAI salah satu pertimbangan, mengapa kunjungan Presiden dipersingkat, disebut oleh Mensesneg Moerdiono, sejumlah pekerjaan yang menanti di Tanah Air. Di antaranya penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang sesuai dengan tradisi, diantarkan oleh Presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam minggu pertama bulan Januari.
Waktunya tidak banyak lagi. Di samping itu, masuk akal, seandainya dalam penyusunan RAPBN untuk tahun 1992/1993 terdapat faktor-faktor yang belum pasti. Faktor-faktor atau variabel-variabel tidak pasti itu, biasanya, berkisar pada hal-hal seperti harga ekspor minyak, tingkat pertumbuhan ekonomi di negara-negara industri, serta keadaan ekonomi dalam negeri yang menyangkut produksi pangan, volume ekspor dan lain-lain.
Untuk penyusunan RAPBN kali ini, variabel-variabel itu ditambah dengan hal yang tidak pasti mengenai bantuan luar negeri, baik yang bilateral maupun yang dalam hubungan IGGI. Berbagai pendapat bahkan keputusan sementara telah diambil o1eh
sementara negara anggota IGGI yakni menangguhkan bantuannya ke Indonesia. Sikap itu diambil dalam rangkaian reaksi terhadap insiden Dili.
Ketidakpastian yang menyangkut kontribusi bantuan luar negeri terhadap penyusunan RAPBN, bukan hanya bersifat ekonomi, tetapi bertali-temali dengan segi politik. Baik segi ekonomi maupun segi politiknya, bisa mempunyai implikasi jauh. Karena itu memang memerlukan pandangan serta kepemimpinan Presiden Soeharto untuk menghadapi dan menanganinya.
Masuk akal, sekiranya para pejabat yang mempersiapkan RAPBN membuat berbagai skenario alternatif. Karena banyak hal masih memerlukan waktu, sebelum ada ketentuan final. Misalnya, beberapa negara menunggu hasil Komisi Penyelidik Nasional.
Namun kita juga maklum,persoalannya tidak sekadar teknis. Persoalan yang kita hadapi adalah persoalan politik. Karena itu, segala sesuatu sudah bisa dipersiapkan atau diantisipasi, sesuai dengan bagaimana sikap politik yang kita ambil.
Berdasarkan prinsip dan pengalaman di masa lampau, kita dapat memperkirakan unsur-unsur pokok yang akan mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya ,batas toleransi kita terhadap kerisauan orang luar, yang kita rasakan sebagai campur tangan terlalu jauh terhadap kedaulatan dan rasa harga diri kita.
PENYUSUNAN RAPBN merupakan masalah yang mencuat dan hal itu bertalian dengan insiden Dili, TimorTimur. Di samping itu, berkembang juga isu-isu lain yang tidak mempunyai kaitan luar, seperti isu SDSB dan berbagai kasus lain yang di satu pihak menunjukkan pola yang rutin, namun di lain pihak memberikan kesan adanya perkembangan baru.
Perkembangan baru itu, sekiranya boleh kita kategorikan, dapatlah dimasukkan dalam hasrat masyarakat untuk ikut serta dipertimbangkan dalam proses sosial, ekonomi dan politik dan sebagai cara ikut serta, antara lain, ingin didengar pendapatnya dan karena itu, lantas menyatakan diri lewat unjuk rasa dan lain-lain.
Kebijakan yang diputuskan dan disepakati agar semakin melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan, belum selalu berhasil dijabarkan dan dilaksanakan oleh para pembantu dan para pejabat. Kesan yang kuat justru sebaliknya. Berbagai keputusan penting yang berdampak luas, tidak didahului oleh dialog dengan masyarakat yang bersangkutan.
Misalnya, penarikan sejumlah besar obat dari peredaran. Apakah keputusan itu didahului oleh suatu dialog dan persiapan efektif yang membuat masyarakat siap menerima dan melaksanakan keputusan tersebut. Cara menangani kendaraan roda riga anglingdarma pun dapat diangkat sebagai contoh, bagaimana suatu kebijakan tidak dipersiapkan secara baik.
Bisa juga dikemukakan lagi masalah tanah yang proses pembebasannya maupun prinsip pembebasannya belum berhasil menjamin rakyat pemilik atau penggarap tanah.
ADA kalanya kita memperoleh kesan, cukup banyak hal-hal yang terjadi dan berkembang dalam masyarakat. Tidak tertutup kemungkinan bahwa cara lama untuk menangani perkembangan itu, tidak memadai lagi. Sebaliknya, jika dibiarkan berkembang sendiri, bisa tetjadi kemungkinan lepas kendali. Diperlukan format baru atau keseimbangan baru yang tepat untuk menanggapi dan menanganinya.
Dalam usaha menemukan format baru itu, sekali-sekali kita alami bahwa mereka yang bertanggungjawab bukan seiring sekata, melainkan melontarkan pendapat yang berbeda-beda. Hal demikian tidak menjernihkan persoalan.
Sementara itu, kita sepakat untuk menunjang usaha menghadapi dan menangani persoalan-persoalan di atas. Dalam saat-saat yang sulit kewajiban kita merapatkan barisan dan dukungan. (SA)
Sumber : KOMPAS (12/12/1991)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 387-389.