KOMISI PRESIDEN PERLU DIBENTUK UNTUK TEKAN KORUPSI

KOMISI PRESIDEN PERLU DIBENTUK UNTUK TEKAN KORUPSI[1]

 

Jakarta, Antara

Suatu badan yang disebut Komisi Presiden untuk Pemberantasan Korupsi saat ini sudah saatnya dibentuk untuk menekan kebocoran uang negara, kata Krimin olog dari LBH Jakarta Mulyana W. Kusuma kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.

“Menurut saya disamping pemerintah perlu menggalakkan penerimaan negara, pemerintah juga  hams menekan kebocoran keuangan negara dan sudah saatnya sekarang dibentuk Komisi Presiden untuk Pemberantasan Korupsi,” katanya.

Menurut laporan Jaksa Agung Singgih SH belum lama ini, dari sekitar Rp1,3 triliun uang negara yang diselewengkan hanya sekitar 10 persen yang berhasil diselamatkan. “Kita sangat prihatin dengan keterangan Jaksa Agung bahwa persentase uang yang dapat dikembalikan kepada negara itu sangat kecil,” katanya.

Menurut dia, badan itu terdiri dari komisi-komisi koordina tif diantara instansi-instansi yang selama ini bergerak di bidang pengawasan keuangan negara, dan akan langsung bertanggungjawab kepada presiden.

“Komisi ini nantinya akan mirip dengan kebij aksan aan Presiden Soeharto pada tah un  1971, ketika beliau mengeluarkan Instruksi Presiden No 6/1971 mengenai Koordinasi Pelaksanaan Inpres , dimana dibentuk suatu tim inter-departemental yang menangani soal uang palsu, narkotik, dan kenaka lan remaja,” katanya.

Disamping pembentukan KomisiAnti Korupsi itu, ada beberapa langkah atau kebij aksanaan lainnya yang dapat ditempuh untuk menekan kasus -kasus korupsi, antara lain hams ada kemauan politik pemerintah dan perlu diciptakannya iklim sosial atau budaya hukum anti korupsi yang mendukung pemberantasan korupsi.

“Iklim sosial inilah yang tidak ada lagi saat ini di masyarakat walaupun saya melihat institusi atau perangkat hukum bagi pemberantasan korupsi saat ini sudah cukup lengkap, misalnya ada Lembaga Wapres  (Kotak Pos 5000), BPKP, Irjen serta seperangkat peraturan perundang-undangan lainnya,” ujar kriminolog kondang ini.

Ia mencontohkan pada awal tahun 1970-an, dimana iklim sosial anti korupsi yang hidup di masyarakat sangat keras terhadap semua perbuatan korupsi dan masyarakat sangat mendukung bagi program pemberantasan korupsi, dimana para pemuda membentuk komite-komite mahasiswa, seperti Bandung Bergerak dan Mahasiswa Menggugat.

“Dan pada saat itu pemerintah juga responsif dengan membentuk tim pemberantasan korupsi, lebih jauh lagi iklim sosial inilah yang melatar belakangi lahirnya UU Tindak Pidana Korupsi (UU No 3/1971),” ujarnya.

Ketika ditanya apa yang menyebabkan iklim sosial anti korupsi sudah sangat berkurang di dalam masyarakat, ia mengatakan masyarakat saat ini telah mengalami perubahan norma dalam menilai perilak’U korupsi .

“Pada saat ini di masyarakat telah berkembang norma-norma yang mentolerir perilaku korupsi . Korupsi kecil-kecilan saat ini sudah dianggap biasa dan tidak dianggap kriminallagi, misalnya memberikan uang pelicin, “katanya.

Dari hal-hal semacam inilah,menurutnya, kemudian berkembang suatu anggapan untuk memberikan toleransi terhadap perilaku korupsi, disamping perkembangan masyarakat saat ini yang membuat orang hanya ingin mencari jalan pintas daripada mengikuti ketentuan prosed ural yang ada.

Kerah Putih

Menurut Mulyana, tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan kerah putih (white collar crime). Pada intiny a kejahatan kerah putih yang perlu diantisipasi adalah pertama, bentuk-bentuk kejahatan yang membawa kerugian keuangan kepada negara antara lain bentuk-bentuk korupsi.

Yang kedua, adalah bentuk-bentuk kejahatan harta benda yang berdimensi modem seperti pemalsuan saham, sedang bentuk ketiga adalah bentuk-bentuk kejahatan yang dilihat dari perilaku korporasi, seperti penggelapan pajak.

Terhadap upaya menekan bentuk -bentuk kejahatan harta benda yang berdimensi modem, dia mengatakan hams diupayakan sistim kontrol yang tidak tradisional atau sistim security yang harus lebih baik.

Dia mencontohkan kasus pemalsuan saham BET baru-baru ini dimana instrumen pencegah pemalsuan di BET yang digunakan masih tradisional dan konvensional.

“Jika transaksi saham masih dilakukan secara manual, dan pemeriksaan saham untuk mengetahui suatu saham itu palsu atau tidak masih dilakukan secara kasat mata, maka kejahatan inimasih akan terulang. Saya kira perlu dikembangkan suatu teknologi yang dapat mendukung sistim keamanannya, “katanya.

Sedangkan untuk bentuk kejahatan ketiga yaitu kejahatan kerah putih yang dilihat dari perilaku korporasi akan sangat tergantung dari efektivitas dari aparat (pemerintah) yaitu kecanggihan dari institusi yang menangani masalah pajak dalam menanggulangi dan mendeteksi kemungkinan-kemungkinan penanggulangan penggelapan pajak.

Kesiapan KUHP

Ketika ditanya kesiapan KUHP barn dalam mengantisipasi tiga jenis kejahatan kerah putih tersebut, ia mengatakan bahwa KUHP yang baru sudah cukup memadai dalam menampung kejahatan kerah putih khususnya untuk kejahatan bentuk pertama dankedua.

“Saya melihat rancangan KUHP barn inisudah memadai, khususnya untuk bentuk­ bentuk kejahatan yang pertama dan kedua. Untuk bentuk kejahatan dalam hal perilaku korporasi masih harus dipertanyakan apakah KUHP baru ini sudah cukup menjangkau untuk menjadikan kejahatan korporasi ini sebagain subjek tindak pidana,” demikian Mulyana. (T.PU 14/2:03AM/DN03/21/04/9312:32)

Sumber :ANTARA (21/04/1993)

_________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal658-660.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.