KREDIT MASSAL NELAYAN SULIT DIPERTANGGUNG JAWABKAN
Jakarta, Antara
Kredit nelayan yang mulai diberikan secara massal sejak 1980 akan sulit dipertanggung jawabkan karena di samping tunggakannya terlalu besar, juga kemungkinan karena adanya pengambil kredit fiktif, sementara nelayan menerimanya sebagai satu paket khusus, kata Imam Churmen, Wakil Ketua Komisi DPR-RI, Sabtu.
“Saya sependapat dengan Ketua Umum HNSI bahwa membengkaknya tunggakan karena kurang terarahnya pemberian kredit tersebut,” tambahnya.
Imam mengatakan itu ketika menanggapi keterangan Ketua Umum DPP Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sugiharto seusai diterima Presiden Soeharto, Kamis, yang mengatakan terjadi kemacetan pengembalian kredit nelayan yang diberikan sejak 1980 sejumlah tidak kurang dari Rp 60 miliar.
Menurut Sugiharto, kredit massal bagi nelayan yang diberikan sesudah dikeluarkannya Keppres 39/1980 tentang penghapusan pukat harimau (trawl), bertujuan untuk membantu usaha para nelayan tradisional yang merupakan ‘‘korban” pukat harimau.
Sebagaimana Sugiharto, Imam juga memperkirakan adanya penerima kredit yang sengaja tidak mengembalikan pinjamannya sehingga jumlah tunggakan pengembalian kredit secara keseluruhan bertambah besar.
Imam berpendapat, pengambil kredit yang terbukti melakukan penyimpangan dan dengan sengaja tidak mau mengembalikan pinjamanya supaya diberikan sanksi yang sesuai, bahkan kalau perlu diajukan ke pengadilan.
Sedangkan untuk nelayan-nelayan yang benar-benar belum mampu mengembalikan pinjaman, supaya diberikan kebijaksanaan tertentu, bahkan kalau perlu kredit mereka dihapuskan atau “dipusokan”.
Lebih lanjut ia mengemukakan, untuk masa mendatang, kredit hendaknya diberikan kepada nelayan yang benar-benar membutuhkannya untuk membiayai usaha mereka.
Imam Churmen berpendapat, untuk selanjutnya pihak bank pemberi kredit harus selektif dalam mengeluarkan pinjaman, sedangkan pengurus HNSI yang dilibatkan dalam urusan tersebut juga harus benar-benar jeli.
Selain itu, dikatakannya para nelayan juga perlu dibina agar mereka bisa menggunakan dengan sebaik-baiknya uang pinjaman yang diperoleh, misalnya untuk membeli jenis peralatan penangkap ikan yang memang benar-benar dibutuhkan.
“Mereka perlu diberi semacam penyuluhan supaya mampu melakukan diversifikasi usaha. Ini penting agar mereka tetap memiliki pendapatan di saat tidak melaut,” katanya.
Di samping itu, menurut Imam, jalur tataniaga hasil-hasil perikanan (aspek pemasaran) juga perlu diperhatikan dan terus diperbaiki, terutama agar nelayan tidak dipermainkan calo.
“Jika aspek ini bisa menguntungkan nelayan, saya yakin pengembalian pinjaman akan lancar,” kata Imam yang juga merupakan salah satu pengurus Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
Sumber : ANTARA (01/07/1989)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal.436-437.