LEMBAGA KEPRESIDENAN  DALAM NUANSA KONSTITUSI Oleh :D.P. Arsal

LEMBAGA KEPRESIDENAN DALAM NUANSA KONSTITUSI Oleh :D.P. Arsal[1]

Jakarta, Merdeka

PADA masa periode pertama berlakunya UUD 1945 (1945-1949), periode kedua (1959-1971) dan periode ketiga (1971 hingga sekarang) terdapat nuansa­ nuansa yang mewakili zamannya. Pada periode I awal berdirinya Republik , presiden dipilih secara aklamasi. Sesudah presiden terpilih, kemudian wakil presiden dipilih pula secara aklamasi. Pemilihan wakil presiden Mohammad Hatta ketika itu dilakukan tanpa minta persetujuan kepada Presiden terpilih Ir. Soekarno. Tapi ternyata kedua pemimpin ini dapat bekerja sama, bahkan dikenal dengan sebutan dwi tunggal. Hal ini dimungkinkan, karena Proklamasi Kemerdekaan sehari sebelumnya ditandatangani bersama oleh kedua pemimpin tersebut sebagai wakil bangsa. Dalam periode pertama ini banyak keputusan-keputusan politik kenegaraan yang dilakukan bersama oleh presiden dan wakil presiden atas nama dwitunggal Soekarno Hatta.

Pada periode kedua sesudah Dekrit 5 Juli 1959 presiden memimpin negara tanpa wakil presiden. Jabatan Wapres ini kosong sampai tahun 1971. Hal ini akibat Wakil Presiden Mohammad Hatta mengundurkan diri pada akhir tahun 1956, sehingga sewaktu Presiden Soekarno mendekritkan kembali ke UUD 45, jabatan wakil presiden sudah kosong. Kekosongan ini berlangsung sampai Pemilu I dalam sistem UUD 45 tahun 1971. Dalam periode II inistatus MPR, DPR, DPA bersifat Sementara dengan tanda kurung (S) di belakangnya. Tapi kedudukan presiden tidak bersifat sementara, karena kedudukan tersebut sebagai kelanjutan dari mandat yang diberikan PPKl tanggal l8 Agustus 1945. Dari sudut hukum tata negara dengan kekuatan Dekrit 5 Juli 1959 Bung Hatta dimungkinkan dapat kembali kepada posisinya sebagai Wapres. Tapi dari konstelasi politik ketika itu Bung Hatta tidak mungkin tampil, karena beliau berada di luar dan tidak ikut berperan dalam kekuatan yang mendorong dan menginginkan kembali ke UUD 45.

Pada periode ketiga sekarang berlaku pemilihan presiden dan wakil presiden secara aklamasi. Tapi sebelum memilih Wapres maka calonnya diisyaratkan harus mendapat persetujuan presiden terpilih lebih dahulu. Cara seperti ini sangat tepat, karena antara presiden dan wakil presiden akan terdapat kekompakan atau setidaknya wakil presiden dapat membatasi diri tidak akan oposan terhadap bleid Presiden. Model ini mirip seperti di Amerika Serikat, yang pertama dipilih adalah calon presiden. Apabila calon presiden sudah ditetapkan, maka sesuai dengan tradisi calon presiden tersebut kemudian menyatakan orang yang disukainya sebagai pendampingnya untuk menjadi calon Wapres. Konvensi partai kemudian akan mengikuti keinginan Amerika, dalam menetapkan calon Wapres, temyata calon presiden tidak ikut menentukan dan menyepakati calon Wapres. Akibatnya di panggung kepemimpinan nasional pernah terjadi Wapres Lanrel sering tampil dengan sikap dan policy yang bertentangan dengan Presiden Corazon Aquino, yang dapat menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Dengan berbekal pengalaman, maka pada periode 1998 mendatang bukan tidak mungkin akan terdapat nuansa yang akan mewakili pula zaman keterbukaan tanpa mengubah semangat dan tekad pelaksanaan UUD 45 secara mumi dan konsekwen.

Nuansa yang akan terjadi mungkin cara aklamasi yang selama ini berlaku akan terasa lebih memuaskan apabila pemilihan berdasarkan kepada suara terbanyak sesuai pasal 6 UUD 45. Ini berarti setiap kekuatan sosial politik nantinya dapat mengajukan calonnya masing-masing. Perkembangan seperti ini tidaklah berarti mengarah ke pemikiran liberal seperti di Barat. Hal ini dimungkinkan terjadi karena momentum transparansi telah ikut mengkondisikan bagi pelaksanaan ketentuan pasal 6 UUD tersebut.

Pada periode pertama dan ketiga berlakunya UUD 45 kedudukan para wakil presiden ternyata tidak sama. Wapres pertama tidak hanya sekedar wakil, tetapi ikut bersama presiden mengambil keputusan penting bagi negara, seperti Maklumat No. X tanggal 3 Nopember 1945 tentang anjuran berdirinya  partai politik dan putusan menerbitkan Surat Mandat kepada Syafrudin Perwiranegara tanggal 18 September 1948 untuk mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera. Tapi kedudukan Wapres-wapres pada periode IIIlebih mirip dengan kedudukan Wapres pada sistem Amerika Serikat. Kedudukan Wapres AS dalam penilaian politis rakyat Amerika hanya mirip sebagai ban serep, karena wakil presiden hanya standby saja menunggu, apabila terjadi sesuatu yang mengakibatkan presiden berhalangan tetap. Dalam UUD tentang tugas dan kewenangan Wapres dalam pasa 14 ayat (2) ditetapkan: “Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu seorang Wakil Presiden.”Dan dalam pasal 17 (1) juga ditetapkan: “Presiden dibantu oleh Menteri-menteri Negara “. Jadi secara konstitusional wakil presiden dan menteri-menteri negara fungsinya adalah sama-sama pembantu presiden. Tapi dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan menteri adalah pemimpin departemen pemerintahan. Tapi Wapres tidak ada tugas memimpin seperti itu. Kalau Wapres AS masih ada tugas memimpin rapat-rapat Senat. Memang ada tugas pengawasan yang diberikan kepada wakil presiden, tetapi tugas tersebut juga melekat kepada presiden dan para menteri, dalam tugas pengawasan yang dilimpahkan kepada Wapres, kedudukan menteri selaku pengawas bukanlah pembantu Wapres. Jadi Wapres RI seperti juga Wapres Amerika mirip sebagai ban serep pula. Hal ini disebutkan dalam UUD, yang pada pasal 8 menyebutkan: “Jika presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya, ia diganti wakil presiden sampai habis waktunya”.

Beberapa hari lalu pada waktu pertemuan dengan alumni penerima beasiswa Super Semar di Tapos, Bogor, Presiden menekankan kembali ketentuan pasal 8 tersebut. Orang banyak mengira seakan-akan Presiden akan mundur sebelum habis jabatannya. Saya kira dugaan seperti itu adalah keliru. Mengingatkan ketentuan pasal 8 dapat juga bermakna, untuk menegaskan kembali posisi dan fungsi Wapres yang sudah ditetapkan dalam konstitusi. Selain itu sebagai orang beragama dan beriman apa yang disampaikan oleh Presiden tersebut sudah sewajarnya, karena beliau pada waktu ini sudah berusia 73 tahun. Sedangkan sisa tugas untuk periode kelima ini masih empat tahun lagi. Saya kira tidak ada di antara kita yang mengharapkan agar beliau berhalangan tetap seperti yang dirnaksud pasal 8 UUD 45 tersebut. Jadi secara formal dan materil jabatan wakil presiden berdasarkan UUD adalah pengganti presiden apabila berhalangan tetap. Ketentuan ini dalam UUD sudah jelas dan tegas dinyatakan. Sehingga tidak memerlukan tafsiran lagi. Karena para pendiri negara bangsa ini sejak semula tidak menginginkan adanya kevakuman kekuasan dalam negara apabila presiden berhalangan tetap. Bahkan apabila presiden dan Wapres sama-sama berhalangan tetap, maka berdasarkan ayat 2 Pasal5 TAP MPR No. VII/1973 juga sudah ditetapkan:

“Sejak Presiden dan Wakil Presiden berhalangan tetap, maka Menteri-menteri yang memegangjabatan Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan-Keamanan secara bersama-sama melaksanakan Jabatan Pemangku Sementara jabatan Presiden, yang pengaturan kerjanya ditentukan oleh Menteri­ menteri yang bersangkutan, dan bahkan pada masa revolusi Kemerdekaan sewaktu Sekutu (Inggris) pemenang perang menyebarkan isu bahwa semua pemirnpin Indo­nesia yang dianggap pemah bekerjasama dengan Jepang akan dibunuh.

Pada keadaan yang sangat gawat tersebut dwi tunggal Soekarno Hatta mengeluarkan surat wasiat yang menunjuk empat putera bangsa yaitu: Tan Malaka, Syahrir, Iwa Kusuma Sumantri dan Wongsonegoro untuk memimpin dan meneruskan perjuangan mempertahankan negara. Jadi sebenarnya untuk mencegah kevakuman kekuasaan apabila presiden berhalangan tetap maka pengukuhan wakil presiden sebagai presiden mutlak untuk dilakukan secara otomatis dan tidak memerlukan upacara seremonial. Apalagi mengadakan sidang urnurn atau sidang istirnewa MPR yang memakan waktu dan biaya. Mungkin yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kriteria presiden berhalangan tetap itu.

Tentang hal ini barangkali setiap orang dapat saja berbeda pendapat. Meninggal karena sakit, tewas karena sesuatu sebab atau memang diberhentikan oleh sidang istimewa MPR; kalau ini kriterianya semua orang akan sependapat bahwa presiden secara obyektif dapat diterima sebagai berhalangan tetap. Tapi kalau presiden sakit atau sudah uzur karena umurnya, atau presiden sudah capek atau jenuh misalnya, saya kira kita mungkin akan berbeda pendapat, bahwa hal itu tidak dapat dikategorikan sebagai berhalangan tetap. Penunjukan presiden dan pengambilan sumpah sebelum memangku jabatan presiden secara hukum dan politis telah mengikat untuk menyelesaikan tugas selama lima tahun.

Presiden yang dalam keadaan sakit karena usianya sudah uzur dengan berkedip saja dapat memberi perintah. Imam Khomeini, Mao Tse Tung adalah kepala-kepala negara yang memerintah pada akhir jabatannya dengan anggukan dan geleng kepala, namun pemerintahannya tetap berjalan dengan tertib dan baik. Bukankah presiden juga berfungsi sebagai lambang atau simbol negara dan pembantu-pembantu presiden adalah penyelenggara-penyelenggara negara yang cakap dan tulus. (Penulis adalah Staf  Sesdalopbang).(689).

Sumber: MERDEKA ( 28/05/1994)

_________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 62-65.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.