LEMBAGA PREROGATIF DALAM NEGARA RI
Oleh : Prof. Mr. Herman Sihombing
Ketika di Inggeris, timbul perkembangan baru dalam Hukum Tata Negara Kerajaan, di mana kekuasaan Raja selaku Kepala Negara harus dikurangi dan sistem Pemerintahan dan tanggung jawab harus diberikan kepada Menteri dan pertanggungan jawaban Pemerintahan itu diberikan kepada Parlemen, dalam beberapa hal diberikan hak2 atau privilese istimewa kepada Raja.
Tidak seluruhnya diserahkan kepada Menteri dan Parlemen. Misalnya:
Raja berhak memberi ampun dalam arti grasi, amnesti, abolisi, rehabilitasi, memberikan hak2 bangsawan dalam arti memberikan tanda kehormatan, gelar2, tanda jasa, peneguhan, dll., didasarkan kepada hukum, kebiasaan, kenyataan yang berlaku.
Inilah data yang termasuk tua mengenai kebiasaan dalam ketatanegaraan, yang disebut "Lembaga Prerogatif” atau hak prerogatif.
Dalam praktik kenegaraan, termasuk di Indonesia juga sering dipakai dan dipergunakan, meskipun dalam artian derivatif saja, bukan lagi dalam arti orisinil, malahan dalam beberapa hal keliru diartikan.
Lembaga prerogatif itu mulanya, tidak dapat di uji atau ditest oleh alat perlengkapan lain, baik oleh Parlemen, High Court atau Supreme Court. Mahkamah Agung. Sebab hak prerogatif dipandang hak istimewa turun-temurun dari Sang Raja, yang masih disisakan dalam pergeseran kekuasaan.
Semua kekuasaan Negara telah diambil dari tangan Raja oleh Parlemen dan Pemerintah / Dewan Menteri, kecuali hal2 khusus itu masing2 diakui di tangan Raja / Kepala Negara.
Sejak itulah dikatakan dan digunakan kmbaga kenegaraan yang berlaku terus yakni :
Raja tidak dapat diganggu-gugat, Raja tidak dapat berbuat salah, sebab tidak bertanggung jawab dalam Pemerintahan. "The King can do no wrong", "De Koning is onschendbaar, de Ministers, zijn verantwocrdelijk".
Berlainan halnya, ji ka Kepala Pemerintah selaku Kepala Negara bertanggung jawab langsung atas pemerintahan, seperti halnya Negara kita Indonesia, di mana ditegaskan dalam pasal 4, 5, 17 UUD yang pada pokoknya berkata :
Presiden memegang kekuasaan Pemerintah menurnt UUD, kekuasaan membentuk Undangundang dengan persetujuan DPR, Presiden dibantu oleh menteri-menteri Negara.
Presiden ialah Penyelenggara Pemerintah Negara yang tertinggi dibawah MPR. Dan dengan kalimat yang kurang memerlukan prerogatif seperti digambarkan di atas dikatakan : "concentration of power and responsibility upon the President", oleh karena Presiden bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Kekuasaan yang sangat besar demikian dan bertanggung jawab pula, maka arti program dalam Hukum Tata Negara kita sesungguhnya adalah semu, setidak-tidaknya tidak sama dengan prerogatif yang dikemukakan dalam asal usul di atas, bahkan artinya lain sama sekali.
Pada periode ke tiga Hukum Tata Negara kita di bawah UUDS-1930, semenjak tahun 1950 sampai Dekrit Presiden 5Juli 1959 yang terkenal itu, dalam masa ini jelas nampak lembaga prerogatif dalam praktik dan teori kenegaraan kita.
Oleh karena dengan tandas disebutkan dalam pasal 23 UUDS itu: Presiden dan Wakil. Presiden tidak dapat diganggu gugat. Menteri2 bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bahagiannya sendiri-sendiri. Hal prerogatif Kepala Negara / Presiden memberikan DPR (pasal 84), sebagai imbangan hak DPR dapat memaksa Kabinet/Menteri untuk berhenti.
Dan dalam catatan Prof. Soepomo atas pasal 34 ini diaktakan a.l.: Konsekwensi hak DPR yang demikian ialah, sebaliknya Pemerintah (Kepala Negara) dapat membubarkan Parlemen, apabila diduganya Parlemen tidak mencerminkan lagi kemauan Rakyat.
Dan prerogatif demikian, harus dengan sangat berhati-hati dijalankan oleh Presiden, oleh karena Presiden diharuskan mengeluarkan Keputusan Presiden untuk mengadakan I memerintahkan pemilihan DPR dalam waktu 30 hari.
Suatu hal yang rasanya tidak mungkin bagi suatu negara besar seperti Indonesia ini. Melakukan Pemilihan Umum untuk DPR dalam waktu sesingkat itu, adalah suatu yang mustahil, meskipun tidak disebutkan sanksi apa buat Presiden jika misalnya dalam waktu 30 hari itu tidak berhasil membentuk DPR baru .
Lagi pula Presiden adalah tidak bertanggung jawab, yang bertanggunggung jawab ialah Menteri I Kabinet seluruhnya atau salah seorang dalam bahagiannya itu. Menteri Dalam Negeri misalnya. Atau misalnya, Presiden membentuk Kementerian2 (pasal 50), dan kementerian apa dan bagaimana coraknya adalah prerogatif Presiden, dan tidak dikontraseign oleh pejabat manapun juga.
Hal ini tidak juga dapat diganggu gugat, juga pasal. 51 (1), (5), (2), perihal menunjuk/mengangkat pembentuk kabinet (kabinet formateur), mengangkat salah seorang menjadi Perdana Menteri, hal2 ini adalah prerogatif Kepala Negara dalam arti yang amat terbatas dan sempit, tidak sama arti dan isinya dengan prerogatif asal seperti dikemukakan diatas ketika membicarakan asal-usul lembaga ini dalam ketatanegaraaan Kerajaan Inggeris.
Oleh karena dalam ketatanegaraan kerajaan itulah yang pertama yang asli lembaga prerogatif tsb. Tidak lazim dalam ketatanegaraan yang berbentuk Republik dan demokrasi, juga tidak biasa dalam hukum negara di mana Kepala Negaranya bertanggung jawab langsung seperti RI.
Akan tetapi karena terbawa dan terpengaruh oleh kebiasaan, dipakai juga istilah lembaga prerogatif itu di negara kita, terutama ketika di bawah Konstitusi REIS dan periode 1950-1959, di bawah UUDS-1960.
Konstitusi RIS dahulu, pasal. 118 ( 1) menyatakan, Presiden sebagai Kepala Negara dan atau sebagai Pemerintah (pasal. 60 68.), tidak dapat diganggu gugat, Menteri-menterilah yang bertanggung jawab, baik seluruh kebijaksanaan Pemerintah maupun bahagian khusus suatu Departemen, menjadi tanggung jawab Menteri, tetapi Menteri/ Kabinet RIS tidak dapat dipaksa oleh PDR/ Senat mengundurkan diri, dan Kepala Negara juga tidak berhak membubarkan Parlemen I Senat.
Dikatakan, hal demikian ini dibuat oleh karena dalam masa peralihan yang menghendaki stabilitas pemerintahan, bahkan dalam pasal. 75 K-RIS itu ditentukan, ada Kabinet-Inti, yang berhak memutuskan dan mengambil suatu putusan yang penting dan mendesak untuk dilaksanakan, yang sama kedudukannya dengan putusan lengkap kabinet seluruhnya. Prerogatif Kepala Negara pada waktu ini juga besar dan banyak, meskipun Presiden RIS itu ditentukan juga sebagai Kepala Pemerintah bersama sama dengan Menteri, hanya tidak dapat diganggu gugat dalam menjalankan kekuasaannya, disebabkan masa peralihan pancaroba seperti disebutkan di atas, atas permufakatan semua delegasi Indonesia dan dijelaskan dalam pasal-pasal bersangkutan.
Berlainan halnya dalam sistem ketatanegaraan kita di bawah UUD-45. Presiden, selaku Kepala Negara, penanggung jawab utama dalam menyelenggarakan kehidupan negara, seluruhnya di bawah Majelis, maka lembaga prerogatif seperti disinggung di atas, tidak diperlukan sesungguhnya dan tidak ada tempatnya dalam ketatanegaraan menurut UUD kita tsb, oleh karena cuma dapat diuji dan diteliti oleh MPR diawasi oleh DPR dan proporsional dalam bidangnya masing2 oleh Lembaga negara lainnya.
Lembaga prerogatif murni, tidak dapat diganggu gugat, tidak dapat diuji dan tidak dapat dipertanggung jawabkan, sedangkan dalam hukum negara kita semua bahagian kekuasaan negara dalam pelaksanaannya wajib dipertanggung jawabkan menurut pembidangannya masing oleh lembaga dan aparatur negara bersangkutan.
"Prerogative a special right or privilege depending upon custom, fact., etc as The Royal Prerogative", yang tidak dapat diuji khusus dalam hal tertentu itu dan "deoverheidsmachtaan de Koning gebleven na aftrek van de sucessievelijk dor her Parlement verworvan bevoegidheden en ciders evergenomen voor de aanduiding, gereserveerde regeringsrechten voor de koning" sebagai suatu rasa kasihan sekaligus lembaga berkuasa penuh bahkan absolut kemudian dengan pergeseran kekuasaan ke tangan Parlemen/DPR dan Menteri2 bersangkutan, itulah sebabnya hal2 sepele rnasih disisakan sebagai prerogatif Kepala Negara.
Oleh karena Presiden memegang kekuasaan Pemerintahan dan sekaligus kekuasaan fungsi perundang-undangan Negara. dan Presiden adalah Penyelenggara Pemerintah Negara tertinggi di bawah MPR dan baik kekuasaan yang demikian dan tanggung jawab adalah langsung di tangan beliau dengan diban tu oleh Wakil Presiden dan para Menteri, maka apa yang disebutkan dan dijelaskan di bawah pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15 UUD 1945 yang dirumuskan dalam kalimat kekuasaan-kekuasaan Presiden dalam pasal-pasal ini, ialah konsekwensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara, itu tidaklah hak atau lembaga prerogatif murni, oleh karena masalah kekuasaan Angkatan Perang, pernyataan perang perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain, pernyataan Negara dalam bahaya, membentuk perwakilan/Duta, Konsul timbal balik antar negara, pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi, tanda jasa. gelaran dan kehormatan lainnya, harus diberikan dan dilaksanakan dengan Peraturan Perundang-undangan Negara.
Jadi bekerja sama dengan DPR atau dengan kuasa perundangan yang harus dipertanggung jawabkan oleh Kepala Eksekutif atau selaku Mandataris – MPR. (pasal 3 (2),(3), 5, 8(1), (3), (4) TAP-III/ MPR/78, pasal 2 TAP – VIII/MPR/78 jo pasal.4 TAP-IV/MPR/1978), yang satu/menyatu dengan kedudukan Presiden selaku Kepala Negara, Mandataris, Kepala Eksekutif, dalam ketentuan hukum yang disebutkan di atas berdasarkan UUD kita, yang harus dipertanggung jawabkan menurut garis hukum negara seperti dikemukakan di atas tadi, tidaklah "privilege right" atau "voorrecht" dalam arti lembaga prerogatif yang dikenal dalam ilmu dan sejarah lembaga Prerogatif Kenegaraan.
Oleh karena itu pulalah, jika dalam praktik ketatanegaraan kita masih sering, bahkan digunakan lembaga prerogatif itu dalam menerangkan hal tertentu yang dicantumkan dalam UUD kita misalnya pengangkatan Menteri/ jumlah Kementerian/ Departemen yang akan diadakan (pasal. 17), mengangkat Duta dan menerima Duta. Negara lain, pemberian grasi dll (pasal 14), ketika rnengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres), dan lain-lain kewenangan Kepala Negara (sehubungan dengan penjelasan di bawah pasal-pasal 10 – 15 UUD-45, tadi, jika pun hal itu adalah lembaga prerogatif R.l. konsekwensi, kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara), maka kedudukan, tugas, kekuasaan dan tanggung jawab dalam keempat lomba yang sekaligus satu dan menyatu dalam jabatan Kepala Negara, ya selaku Mandataris, ya selaku "executive power", selaku Kepala Pemerintah yang bercorak republik yakni Presiden RI, tidak satu pun tugas dan lembaga itu terpisah dan dipisahkan, melainkan dipertanggung jawabkan kepada MPR kepada Pemegang Kedaulatan Rakyat dan Negara, ditengah pelaksanaan jabatan (pasal. 7 ayat 4 TAP-ID/19781 atau pun ketika akhir jabatan Presiden/Mandataris MPR., pasal 5. atau berdasarkan ps. 4 ayat c TAP IU 78 tsb, sehingga penjelasan di bawah pasal 10-15 UUD, tadi yang rasanya menyebutkan khusus konsekwensi kedudukan sebagai Kepala Negara, juga harus diartikan selaku Mandataris. Presiden dan Kepala Eksekutif seperti ditentukan dalam TAP III/78 tadi.
Malahan dalam praktik negara kita. ketentuan dalam TAP III itu masih dipandang terlalu umum, karena itu memerlukan perincian dan pengaturan lebih lanjut dalam pengembangan hukum negara kita.
supaya tradisi dan lembaga negara kita itu, jelas dan pasti dalam tapsirannya, lebih dalam praktiknya oleh siapa saja dan lebih di masa depan, sehingga tidak terdapat kekeliruan pengertian seperti dalam hal penggunaan lembaga prerogatif dalam hukum negara kita.
Di atas disebutkan, jika lembaga prerogatif masih dipandang ada dalam negara kita, seperti dicontohkan dalam pasal yang disebutkan konsekwensi kedudukan Kepala Negara (pasal 10-15 UUD), sedangkan sudahjelas, hal2 itu pun harus dipertanggung jawabkan kepada MPR baik karena Hukum Perundangan maupun karena ketentuan TAP-MPR sendiri.
Oleh karena ada memang hal-hal, belum secara tuntas dan pasti masuk kemana, masuk ke dalam Lembaga yang mana, maka untuk mudah sering disebut Lembaga Prerogatif Kepala Negara.
Maka yang diartikan dengan itu ialah prerogatif derivatif, tidak murni, harus dipertanggung jawabkan, bukan hak istimewa, bukan privilege adanya, supaya lembaga Kenegaraan kita dengan benar dikembangkan 9 dan dengan tepat dapat dibina dalam praktik. (RA)
…
Jakarta, Sinar Harapan
Sumber: SINAR HARAPAN (10/08/1982)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 763-767.