LIKU-LIKU PERJALANAN PROGRAM KB NASIONAL: AWAL YANG PENUH TANTANGAN, MENUAI HASIL YANG MEMBANGGAKAN

LIKU-LIKU PERJALANAN PROGRAM KB NASIONAL: AWAL YANG PENUH TANTANGAN, MENUAI HASIL YANG MEMBANGGAKAN

 

 

Jakarta, Pelita

Keikutsertaan Presiden Soeharto dalam penandatanganan Declaration of Population di tahun 1967, mungkin akan menjadi tonggak sejarah yang tidak pernah terlupakan. Sikap pemimpin tertinggi Indonesia itu, merupakan langkah awal perubahan sikap dari pro natalis yang tidak sepaham dengan pemikiran pengendalian penduduk sebelumnya. Padahal, dalam hasil survey tahun 1963 saja, angka pertambahan penduduk Indonesia secara persentase telah mencapai 2,8 persen.

Sebagai langkah pertama dari perwujudan jiwa Declaration of Population itu, Menteri Kesejahteraan Rakyat (Kesra) K.H. DR. Idham Chalid membentuk panitia ad hoc di tahun 1968, dengan tujuan membahas kemungkinan menjadikan program KB sebagai program nasional.

Dalam pertemuan selanjutnya di bulan Februari 1968, Presiden Soeharto ternyata langsung menyatakan persetujuannya atas rencana tersebut, dan pada bulan September tanggal 7, dikeluarkan Inpres no. 26/1968 kepada Menteri Kesra untuk mengordinasikan dan membimbing masyarakat dalam pelaksanaan keluarga berencana secara nasional.

Atas dasar instruksi Presiden itulah, kemudian K.H. DR. Idham Chalid selaku Menteri Kesra, mengeluarkan Surat Keputusan (SK) lanjutan bertanggal 11 Oktober 1968 mengenai pembentukan tim yang akan menyiapkan berdirinya institusi resmi pertama KB. Sekitar seminggu kemudian, tanggal 17 Oktober 1968 keluar lagi SK tentang pembentukan Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) yang merupakan cikal bakal BKKBN yang sekarang.

Pada waktu itu, tujuan dari didirikannya LKBN adalah untuk membina keluarga sehat, sejahtera, dan untuk membantu meningkatkan kemampuan sosial masyarak:at secara umum. Peristiwa berdirinya LKBN itu sendiri, dapat dianggap titik awal penanganan program KB yang dibimbing langsung oleh pemerintah.

“Perubahan sikap pemerintah pada waktu itu amat penting. Sebab, sebelum orde baru, program KB sebenarnya kurang diminati. Jangankan oleh masyarakat, pemerintah orde lama sendiri kurang mendukung, ” ujar Abdullah Syarwani, direktur pelaksana Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di Jakarta.

 

Penuh Tantangan

Abdullah Syarwani menilai, dukungan dari pemerintah sekarang ini amat penting. Sebab, pada awal mulanya gerakan KB di Indonesia harus berhadapan dengan tantangan yang berat, baik akibat polisi pemerintah orde lama yang menentang KB, maupun karena hal itu juga berkaitan dengan faktor-faktor lain seperti agama, budaya, adat istiadat, serta rendahnya kesadaran masyarakat pada waktu itu tentang keluarga sehat.

Alat kontrasepsi sendiri di Indonesia bisa dibilang “tabu”dan terlarang, apalagi dengan adanya pasal 534 KUHP yang bunyinya:

“Barang siapa dengan terang-terangan mempertunjukan ikhtiar untuk mencegah hamil, atau dengan terang-terangan dan tidak diminta menawarkan ikhtiar atau pertolongan untuk mencegah hamil, atau dengan menyiarkan tulisan menyatakan dengan tidak diminta bahwa ikhtiar atau pertolongan itu bisu didapat, dapat dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 2 bulan atau denda sebanyak-banyaknya dua ratus rupiah.”

Tantangan terhadap program KB juga dapat dilihat dan sikap yang ditunjukkan Gabungan Organisasi Wanita Yogyakarta (GOWY) terhadap berita seorang dokter, yakni dokter Sulianti yang pada waktu itu menjabat kepala jawatan kesejahteraan ibu dan anak pada kementerian kesehatan Yogya, dan dimuat di harian Kedaulatan Rakyat edisi 16 Agustus 1952.

Judul berita itu berbunyi, “Bevolkingspolitiekā€ Perlu di Indonesia. Beranikah Kaum lbu Lakukan Pembatasan Kelahiran? lsi berita itu sendiri, dibantah oleh dr. Sulianti karena dinilai tidak akurat. Meskipun begitu ia sempat ditegur oleh menteri kesehatan pada waktu itu, karena dinilai telah berani mengemukakan hal yang dianggap “rawan”.

Untuk menjaga “keamanan” dalam mencapai tujuan-tujuan penyebaran pengetahuan mengenai KB dan keluarga sehat, pada umumnya para dokter yang setuju pada waktu itu, mengambil kamuflase bersama kegiatan pelayanan kesehatan lainnya.

Di Jakarta, kegiatan perintisan program KB dilakukan di bagian kebidan an RSUP yang dipimpin oleh Prof. Sarwono Prawirohardjo. Di poliklinik kebidanan tersebut, dr. M. Judono dibantu dr. Koen S. Martiono melaksanakan program yang disebut Post Natal Care, yakni pemeriksaan enam minggu setelah melahirkan .

Dalam program tersebut para ibu-ibu selain diberi perawatan paska kelahiran juga diberi nasehat tentang pengaturan kehamilan pada waktu itu memang masih diutamakan untuk ibu -ibu yang beresiko tinggi jika melahirkan. Metode kontrasepsi yang dianjurkan adalah azal, pantang berkala, dan juga resep untuk vaginal Suppositoria seperti penggunaan Rendell dan Durafoam yang sudah dapat diperoleh di apotik.

Dalam program KB, peran serta berbagai lembaga swadaya masyarakat terlihat begitu penting. Lembaga swadaya seperti Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang didirikan tahun 1957 misalnya, jelas memainkan satu peran yang amat mengesankan. Sejak awal berdirinya, PKBI telah menjadi mitra pemerintah dalam arti yang luas, sekalipun tidak selalu muncul ke “permukaan”.

PKBI sendiri bermula dari kedatangan seorang anggota Field Service IPPF, Ny. Dorothy Bush ke Jakarta. Karena satu dan lain hal, Ny. Dorothy yang seharusnya menginap di sebuah hotel di Jakarta akhirnya menginap di rumah dr Soeharto, yang pada waktu itu menjabat sebagai dokter pribadi Presiden Soekarno.

Dari pertemuan itulah dr. Soeharto memperoleh banyak keterangan mengenai pentingnya program pembatasan kelahiran (birth control). Selanjutnya, Dr. Abraham Stone, kepala Margareth Sanger Research Inc di New York yang datang belakangan ke Jakarta, mematangkan pembicaraan antara dr. Soeharto dengan Ny. Doro thy Bush.

Ide yang bermula dari omong-omong itu akhirnya terwujud pada tanggal 23 Desember 1957. Di Gedung Ikatan Dokter Indonesia Jalan Sam Ratulangi pada hari tersebut sekitar pukul 19 .30 dibentuklah Perkumpulan Keluarga Berencana yang belakangan menjadi PKBI.

PKBI sendiri pada waktu itu sulit “tampil ke permukaan”, karena adanya larangan ber-KB dari pemerintah. Meskipun begitu PKBI dapat berjalan terus karena bersikap “luwes” serta muncul dalam bentuk suatu lembaga yang melayani kesehatan keluarga. Cabang-cabang proyek lembaga tersebut berdiri di beberapa kota di Indonesia . Sampai dengan tahun 1963 sudah ada sebanyak 11 klinik yang memberikan pelayanan KB.

“Kita sekarang sangat gembira, karena political will dari pemerintah orde baru sangat mendukung program KB,” ujar Abdullah Syarwani, “apa yang diberikan kepada Presiden Soeharto rasanya memang pantas. Pemerintah Indonesia sekarang bisa dibilang pemerintah yang paling besar memberikan perhatian terhadap program keluarga berencana di seluruh dunia”.

 

Sangat Berarti

Melihat begitu sulitnya liku-liku perjuangan para perintis program KB nasional, dapat dimengerti betapa besar dukungan yang diberikan pemerintah sekarang ini.

Lahimya BKKBN yang bermula dari LKBN melalui Keputusan Presiden No. 8 Tahun 1970 menunjukkan lebih jelas lagi iktikad baik pemerintah terhadap penyelesaian masalah kependudukan.

Pihak UNFPA sendiri, mengakui Presiden Soeharto merupakan figur yang paling kokoh mempertahankan pendapatnya mengenai perlunya program kependudukan nasional. Salah satu bukti itu, sampai sekarang, tercermin dari ditandatanganinya Declaration of Population tahun 1967 yang lalu.

 

 

Sumber : PELITA(08/06/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 863-866.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.