LUKISAN MERPATI PUTIH, HADIAH ULANG TAHUN
Jakarta, Sinar Harapan
Empat puluh tahun silam, dua sejoli mengikat janji untuk sehidup semati dengan membentuk sebuah rumah tangga baru walau waktu itu kita berada dalam kancah perjuangan.
Kedua insan itu adalah Soeharto dan Siti Hartinah yang menikah tanggal 26 Desember 1947. Setelah 40 tahun mereka dikaruniai enam anak, tiga putri dan tiga putra, empat sudah menikah. Dan kini pasangan tersebut mendapat sembilan cucu.
Ulang tahun ke-40 pernikahan hari Sabtu diperingati di Sasono Adiguna Taman Mini Indonesia Indah. Soeharto, yang Presiden RI itu dalam kata sambutan kepada hadirin termasuk kepada putra dan putrinya yang memprakarsai upacara kekeluargaan itu mengatakan, bahwa dua tahun sebelum acara pernikahannya, ia dan lbu Tien telah berjanji untuk membangun suatu rumah tangga.
Mereka waktu itu punya cita-cita hanya dua. Yaitu agar dapat menjadi perantara Tuhan, untuk berketurunan. Kemudian agar situasi perang dapat normal kembali, karena waktu itu Belanda masih ingin menduduki Indonesia.
Setelah lima hari Pak Harto harus meninggalkan lbu Tien karena ia melanjutkan perjuangan. Dalam menghadapi kelahiran anaknya yang pertama, Pak Harto juga harus meninggalkan lbu dalam keadaan hamil delapan bulan.
Karena menghadapi Aksi Militer II Belanda. “Walaupun dalam keadaan sulit, dan berat, lbu dapat melewati masa-masa kritis itu dengan baik berkat ridho Tuhan Yang Maha Kuasa”, ujar Pak Harto mengenang masa silam itu.
Tidak hanya anak pertama lahir dalam kancah perjuangan, sampai anak keenam pun tetap dalam suasana perjuangan.
“Kami tidak pernah bercita-cita untuk memperoleh harta dan kekayaan, tetapi kami dari semula mencita-citakan bagaimana bisa berbakti bagi sesama manusia, bangsa dan negara. Karena kebahagiaan itu bukan ditentukan oleh harta dan kekayaan atau pangkat, melainkan kebahagiaan itu adalah karena ridho Tuhan,” tambahnya.
Kepada Anak-anak
Dan kepada anak-anaknya pun, Bapak dan lbu ini selalu mengajarkan untuk tidak mengejar kekayaan dan pangkat, tetapi mengajarkan dan menganjurkan untuk berbuat baik kepada sesama manusia.
Kami mengajarkan kepada mereka untuk selalu berbuat kebaikan. Yang perlu adalah takwa dan iman percaya kita atas kasih sayang Tuhan. Manusia bersifat salah dan keliru, untuk itu manusia harus menjauhkan diri dari sifat salah dan keliru itu.
“Kebahagiaan tidak terletak pada pangkat dan kekayaan, tapi terletak pada amal dan bakti kepada kemanusiaan”, katanya
Sebelumnya, atas nama putra-putri, menantu dan cucu, Ny. Siti Hadiyanti Hastuti Indra Rukmana (Tutut anak sulung) yang juga pemrakarsa perayaan mengatakan, “minta maaf kepada kedua orang tua kami, atas segala perbuatan kami yang menyusahkan hati Bapak dan lbu baik yang kami sadari maupun yang tidak kami sadari”.
Dengan dihadiri Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah dan lbu, para menteri anggota Kabinet Pembangunan IV dan sejumlah undangan lainnya, suasana kekeluargaan dan gelak tawa mewarnai acara tersebut Dengan pembawa acara Titiek Puspa dan Koes Hendratrno yang agak kocak, membuat suasana pun menjadi meriah.
Pak Harto dan ibu Tien, mendapat “hadiah ulang tahun perkawinan ke-40” dari enam putra-putri, empat menantu dan sembilan cucu, sebuah lukisan pasangan merpati putih dalam ukuran besar.
Di bagian atas lukisan itu menggambarkan sepasang merpati, yang dikelilingi pasangan-pasangan merpati lainnya, yang menggambarkan bahwa Pak Harto dan Ibu Tien dikelilingi putra-putri dan mantu.
Mau Diracun
Memeriahkan suasana, Koes Hendratmo dan Titiek Puspa juga mengadakan “Kuis Keluarga” dengan dua pertanyaan kepada Pak Harto dan satu kepada Ibu Tien.
Pertanyaan pertama. kepada Pak Harto, adalah, “Apakah Pak Harto pernah mempunyai teman satu asrama? Pak Harto di bawah dan temannya itu di atas? Sering sama-sama makan soto di Gombong?” Pak Harto menjawab, “ada, saya mempunyai teman namanya Achmad Sudjono”.
“Seratus untuk Pak Harto”, sahut Titiek Puspa.
Achmad Sudjono itu kata Pak Harto beragama Katolik, sedang ia sendiri beragama Islam. Akan tetapi bila saya sembahyang ia selalu menghormati dan demikian sebaliknya. “Jadi dari dulu kerukunan antar-umat beragama itu telah kami lakukan,” kata Pak Harto. lalu muncul Achmad Sudjono.
Pertanyaan kepada lbu Tien dari Koes Hendratmo. “Apakah lbu pernah mengajar Keroncong Kemayoran di pinggiran Bengawan Solo dan siapa yang diajar itu”?
Ibu Tien mengatakan, “pernah mengajarkan Keroncong Kemayoran, tetapi yang dimaksud mengiringi barangkali. Kalau yang mengiringi ada”. Kemudian Koes Hendratmo memperbaiki pertanyaan,”Ya siapa namanya Bu?”, tanyanya.
Ibu Tien mengatakan kalau yang mengiringi ada. Namanya Dhamoto.
“Seratus buat Ibu,” ujar Koes .
Pertanyaan kedua untuk Pak Harto. “Apakah ada bawahan Bapak pernah, “mengamankan” orang yang mengaku putri Bapak?”
Pak Harto mengatakan, “Ada. Namanya Wahyudi. Sewaktu meletusnya pemberontakan G-30-S/PKI ada seorang anak gadis mengaku putri saya datang ke rumah Chaerul Saleh. Karena ia mengaku putri saya, Wahyudi mengamankannya dan menginterogasi wanita itu dan dibawa ke rumahnya.
Karena situasi waktu itu, Wahyudi tidak terus memberitahukan kepada saya, tetapi esok harinya, ketika ia memberitahukan kepada saya dania kembali ke rumahnya, anak gadis yang mengaku putri saya sudah lari dari rumah Wahyudi. Walaupun rumahnya dikunci, anak itu melompat dari jendela dan tasnya tertinggal Setelah diperiksa isi tas itu isinya racun tikus. Barangkali niatnya adalah untuk meracun keluarga saya, “Ujar Pak Harto.
Achmad Sudjono, Dhamoto dan Wahyudi bersama-sama satu meja dengan Pak Harto, Ibu Tien, Wapres dan Ibu Umar Wirahadikusumah.
Dalam memeriahkan HUT Perkawinan ke-40 Pak Harto dan Ibu Tien diadakan juga perlombaan olahraga dan donor darah dari 559 orang Pasukan Pengawal Presiden.
Setelah acara ramah tamah, ikut juga ditampilkan drama “Losmen” yang menggambarkan suasana rumah tangga yang rukun dan damai dari sejak perkawinan sampai usia tua antara Pak Broto dan Bu Broto, keluarga pemilik “Losmen” tersebut.
Sumber: SINAR HARAPAN (28/12/1987)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 801-804