Intuisinya Sangat Tajam, (Bagian 2, Habis) [1]
M Kharis Suhud [2]
Selesai bertugas sebagai Duta Besar di Muangthai, saya di kembalikan ke Departemen Hankam untuk menjabat sebagai Kepala Staf Kekaryaan. Dalam hati saya bertanya-tanya, apakah ada kebijaksanaan baru di lingkungan Hankam, karena biasanya perwira ABRI yang ditugaskaryakan dan bekerja untuk suatu departemen atau instansi lain di luar Hankam tidak ada yang kembali ke jajaran Hankam lagi. Pada waktu saya melapor kepada Presiden bahwa saya sudah selesai melaksanakan tugas sebagai Duta Besar di Muangthai dan telah siap melaksanakan tugas sebagai Kaskar Hankam, maka pertama-tama yang beliau instruksikan kepada saya adalah agar dwifungsi ABRI dimasyarakatkan secara luas baik di lingkungan ABRI sendiri maupun didalam lingkungan masyarakat. Secara panjang lebar dan secara sistematis beliau mengupas Saptamarga yang menjadi pegangan hidup setiap prajurit ABRI, baik yang masih aktif maupun yang sudah purnawirawan. Didalam Saptamarga tersebut tercantum secara jelas fungsi-fungsi ABRI sebagai kekuatan non-hankam yang tercermin dalam marga kesatu, kedua, dan ketiga; dan fungsi ABRI sebagai kekuatan hankam, yang tercermin pada marga keempat sampai dengan marga ketujuh. Fungsi ABRI yang non-hankam ini yang sekarang dikenal sebagai fungsi sosial-politik ABRI. Instruksi kedua yang beliau berikan adalah, agar saya sebagai Kaskar mengusahakan supaya Pepabri, yaitu organisasi persatuan pumawirawan ABRI dalam kegiatannya diperluas tidak berbatas hanya pada bidang sosial ekonomi saja, tapi juga meliputi bidang politik. Dan untuk keperluan itu Pepabri supaya menyalurkan aspirasi politiknya melalui Golkar. Beliau menegaskan bahwa sebagai anggota ABRI yang ber-Saptamarga, perjuangan itu tidak mengenal akhir dan bahwa status pensiun atau purnawirawan hanyalah masalah aturan administratif belaka.
Segera saya laporkan hal-hal tersebut kepada Jenderal Jusuf, Menhankam/Pangab, yang kemudian memberi petunjuknya sebagai berikut:
Untuk tugas pertama, yaitu memasyarakatkan dwifungsi ABRI agar dibuatkan buku saku kecil, dan dibagikan kepada setiap anggota ABRI, dari pangkat terendah sampai yang tertinggi, dengan titik berat pada ulasan tentang Saptamarga, dwifungsi ABRI dan kemanunggalan ABRI-Rakyat. Sedangkan untuk tugas yang kedua yaitu memperluas kegiatan Pepabri, saya harus membicarakan dengan Saudara Widya Pranata, Ketua Umum PB Pepabri, karena menyangkut perubahan AD/ ART dan hal-hal prinsipil Iainnya yang harus disahkan kongres/munas.
Untuk melaksanakan tugas pertama, saya membentuk dua buah kelompok kerja yaitu: satu kelompok kerja untuk menyusun buku saku untuk keperluan intem ABRI dan sebuah kelompok lagi guna menyusun buku yang bisa dibaca oleh seluruh masyarakat, baik di dalam maupun di luar negeri. Kelompok kerja yang pertama dapat menyelesaikan tugasnya dalam waktu yang relatif singkat karena anggota-anggotanya terdiri dari perwira-perwira di dalam lingkungan Hankam.
Sebaliknya kelompok kerja yang kedua memerlukan waktu yang jauh lebih lama dan baru selesai awal tahun 1983. Kelompok kedua ini terdiri dari lima orang sarjana, yaitu dua orang sipil, dua orang militer dan seorang militer tituler. Sarjana-sarjana dari kalangan sipil tersebut adalah Prof. Harsoyo dan Drs. Hidayat Mukmin. Dari militemya adalah Mayjen. (Pum.) Subiyono, SH dan Brigjen. (Pum.) ASS Tambunan, SH. Sedangkan militer titulernya adalah Brigjen. (Tit) Dr. Nugroho Notosusanto yang sekaligus saya tunjuk untuk menjabat sebagai ketua kelompok kerja. Hambatan yang dialami oleh kelompok kedua ini ialah sebagai berikut:
- pertama, Prof. Harsoyo meninggal dunia, pada saat awal persiapan,
- kedua, anggota-anggotanya diambil dari berbagai macam instansi,
- ketiga, Dr. Nugroho Notosusanto yang semula menjabat Kepala dari Pusjarah ABRI dipindahkan menjadi Rektor UI yang kemudian diangkat menjadi Menteri P danK.
Kelompok kedua akhirnya menghasilkan sebuah buku yang diberi judul: ABRI, Pejuang dan Prajurit.
Dalam buku tersebut nama Prof. Harsoyo tidak tercantum karena beliau sudah meninggal sebelum memasukkan tulisan-tulisannya. Sekalipun demikian pemikiran-pemikiran beliau sudah tertampung dalam rapat-rapat pada waktu persiapan. Pada waktu menjabarkan dwifungsi ABRI dan pelaksanaannya, kelompok kerja menghadapi berbagai kesulitan karena masing-masing anggota mem punyai interpretasi sendiri-sendiri tentang dwifungsi ABRI menurut selera masing-masing.
Hal ini temyata bukan hanya terjadi pada anggota kelompok saja, karena para perwira ABRI pada umumnya juga ragu-ragu untuk memberi bentuk kongkrit tentang rumusan dwifungsi tersebut dan kebanyakan dari mereka memberikan pengertian tentang dwi fungsi ABRI menurut pengalaman atau pandangan mereka masing-masing. Untuk sementara waktu, walaupun tidak lama, pekerjaan kelompok kedua mengalami sedikit kemacetan karena masalah tersebut.
Kejelasan baru diperoleh setelah Presiden memberi amanat pada Rapim ABRI di Pekanbaru tahun 1980, dimana beliau menegaskan antara lain sebagai berikut:
- Sesuai dengan konsensus nasional yang tercapai antara pimpinan ABRI dan pimpinan parpol serta organisasi kemasyarakatan pada awal Orde Baru, diangkatnya sepertiga dari jumlah anggota MPR dari golongan ABRI adalah dalam rangka pelaksanaan pengamalan Pancasila sesuai dengan tugas ABRI membela Pancasila seperti yang ditegaskan dalam Saptamarga, yaitu menghadapi kemungkinan kalau ada pihak yang ingin mengubah Pancasila dan UUD 1945 dengan menggunakan pasal 37 UUD 1945.
- Bahwa sebagai kekuatan sosial, ABRI dalam memperjuangkan cita-citanya dan dalam menjaga kelestarian Pancasila dan UUD 1945 bergandengan tangan dan bersama-sama dengan kekuatan sosial-politik serta organisasi-organisasi masyarakat yang terpercaya dan setia kepada Pancasila.
- ABRI harus dapat membedakan kapan ia harus bertindak sebagai kekuatan hankam dan kapan ia harus berperan sebagai kekuatan sosial. Ini memerlukan kedewasaan sikap dan kebijaksanaan yang dalam. Ini jelas bukan hal yang mudah, akan tetapi juga bukan hal yang mustahil dilaksanakan
Setelah Rapim ABRI Pekanbaru tersebut tugas-tugas ABRI sebagai pelaksanaan dwifungsi ABRI berjalan dengan lebih mantap dan tanpa ragu-ragu, antara lain usaha mengkonsolidasikan organisasi-organisasi yang termasuk Keluarga Besar ABRI seperti Pepabri, Dharma Pertiwi, L VRI, FKPPI dan lain-lain. Demikian pula telah dapat dirintis kerjasama yang baik antara Keluarga Besar ABRI dengan Golkar.
Pada periode 1982-1987 saya diangkat sebagai anggota DPR/ MPR mengetuai Fraksi ABRI. Selanjutnya didalam pemilihan pimpinan MPR/DPR saya terpilih sebagai Wakil Ketua MPR/DPR dari golongan ABRI. Oleh Ketua DPR saya ditugaskan untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan DPR dalam bidang politik. Sehubungan dengan hal tersebut dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1983 telah berhasil diputuskan dalam GBHN, bahwa partai politik dan Golongan Karya harus benar-benar menjadi kekuatan sosial-politik yang hanya berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Hal ini kemudian dijabarkan kedalam lima undang-undang yang menyangkut susunan dan kedudukan MPR/DPR, Pemilu, Partai Politik dan Golongan Karya, Referendum dan Organisasi Kemasyarakatan. Dengan diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas, maka partai politik tidak dibenarkan lagi memiliki asas atau ciri lain kecuali Pancasila. Walaupun pembahasan di DPR yang menyangkut kelima RUU tersebut sering berjalan alot, tetapi berkat pengertian bersama dan saling tenggang rasa, semua perbedaan pendapat akhimya dapat dipertemukan. Pembahasan kelima RUU tersebut memakan waktu kurang lebih 12 bulan. Dari langkah-langkah yang telah diambil oleh Pak Harto sejak kelahiran Orde Baru nampak secara jelas usaha Pak Harto untuk melestarikan Pancasila dan UUD 1945; antara lain melalui konsensus nasional, Saptamarga dan dwifungsi ABRI, melalui pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, Penataran P4, dan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Menarik pelajaran dari pengalaman Orde Lama, dimana Nasakom dijadikan landasan untuk mempersatukan yang akhirnya bermuara pada peristiwa G-30-S/PKI, maka diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas oleh semua kekuatan sosial-politik dan organisasi kemasyarakatan didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, merupakan kemajuan yang besar didalam perjalanan hidup bangsa Indonesia.
Sebagai Ketua DPR/MPR, saya sering menghadapi masalah-masalah yang cukup sulit dan mengharuskan saya mengadakan konsultasi dengan Presiden. Hal ini dimungkinkan karena pertama-tama dalam ketentuan perundangan Ketua DPR dibenarkan untuk mengadakan konsultasi dengan Presiden atau Ketua Lembaga Tinggi Negara lainnya. Keduanya konsultasi itu saya lakukan mengingat bahwa di dalam Keluarga Besar ABRI beliau adalah lebih senior daripada saya. Mungkin timbul kesan di kalangan masyarakat bahwa kedudukan Ketua MPR yang merangkap sebagai Ketua DPR adalah lebih tinggi dari Presiden, sehingga menurut pandangan itu kurang tepatlah kalau Ketua DPR/MPR mendatangi Presiden untuk berkonsultasi.
Kesan yang demikian itu tidak tepat, karena yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari Presiden adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga dan bukan ketuanya. Dalam hal ini kiranya perlu diperhatikan UU No. 8 tahun 1987 tentang Protokol, dimana secara tegas dinyatakan bahwa Ketua Lembaga Tertinggi Tinggi Negara, termasuk Ketua MPR/DPR, menempati urutan nomor tiga setelah Presiden dan Wakil Presiden.
Selanjutnya walaupun DPR dan Lembaga Tinggi Negara lainnya berada pada tingkatan yang sama dibawah MPR, akan tetapi mengingat bahwa Presiden adalah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi dibawah MPR dan selain daripada itu Presiden adalah juga Mandataris dari MPR, maka kedudukan Presiden/ Mandataris dibandingkan dengan ketua-ketua Lembaga Tinggi Negara Iainnya bisa diibaratkan sebagai primus inter pares.
Didalam menanggapi masalah-masalah yang diajukan dalam konsultasi itu beliau selalu menyarankan agar semua persoalan dipecahkan secara konstitusional, dan jangan sampai keluar dari landasan UUD 1945. Suatu kasus yang penting misalnya pada waktu saya menghadapi semacam deadlock, ketika dalam Sidang Umum MPR 1988 muncul dua orang calon Wakil Presiden, yaitu munculnya nama saudara Naro disamping saudara Sudharmono. Ketika saya berkonsultasi dengan Pak Harto dan mengemukakan bahwa usaha saya untuk menyelesaikan kasus tersebut secara musyawarah belum saja berhasil, bahkan sudah bersiap-siap untuk melaksanakan pemungutan suara, reaksi beliau adalah agar usaha musyawarah tetap dilanjutkan, dan “tunggu saja perkembangannya”. Beliau menanggapi kasus tersebut dengan sangat tenang. Padahal saya sendiri khawatir apabila sampai terjadi pemungutan suara. Sudah saya bayangkan bahwa, apabila sampai terjadi pemungutan suara, tidak bisa dielakkan timbulnya kesan bahwa persatuan diantara kita tidaklah 100% bulat. Dan keadaan seperti itu memungkinkan timbulnya perkembangan politik yang kurang menguntungkan bagi stabilitas nasional. Dalam menghadapi keadaan yang saya anggap cukup gawat ini, sikap Pak Harto tetap tidak keluar dari ketentuan konstitusional, dan menyerahkan keputusan secara sepenuhnya kepada rakyat, dalam hal ini Sidang Umum MPR.
Di sinilah saya melihat implementasi dari statement beliau yang sering beliau kemukakan, bahwa kita harus menghormati dan tunduk pada kehendak rakyat. Tidak ada kesan ragu-ragu atau sikap angker pada beliau, sebagaimana yang saya perhatikan sewaktu saya didampingi oleh Saudara Soekardi menemui beliau untuk berkonsultasi mengenai adanya dua orang calon Wakil Presiden itu. (Habis)
***