MAHASISWA YANG DITUDUH MENGHINA PRESIDEN MULAI DIADILl

MAHASISWA YANG DITUDUH MENGHINA PRESIDEN MULAI DIADILl[1]

PENGADILAN Negeri Jakarta Pusat, Sabtu, dalam sidang yang dipimpin ketua majelis hakim Ny Nurhayati SH, mulai menyidangkan terdakwa NS (29), mahasiswa aktivis hak asasi manusia dari Universitas Nasional Jakarta, dengan tuduhan sengaja menghina Presiden Republik Indonesia. Menurut jaksa Zubir Rachmat SH, terdakwa NS bersama temannya Ardiyanto (belum tertangkap) pada 25 Nopember 1993 sekitar pukul 11:30 WIB di halaman Gedung DPR/MPR, menyebarkan sejumlah stiker yang isinya menyerang nama baik, kehormatan dan martabat Presiden Republik Indonesia yang dikaitkan dengan wewenang dan kedudukan Presiden Soeharto sebagai kepala Negara dan kepala Pemerintahan. Dikatakannya, terdakwa NS dengan sengaja mengubah kepanjangan SDSB dengan tujuan menghina Presiden Soeharto, yang ditulis dalam bentuk stiker. Semestinya kepanjangan SDSB adalah Sumbangan Derrnawan Sosial Berhadiah.

Tindak pidana yang dilakukan NS, yang juga merupakan ketua pengurus harian Yayasan Pijar itu, dinyatakan bertentangan dengan pasal 134 jo 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Menurut jaksa, stiker-stiker tersebut dicetak oleh terdakwa di Percetakan Pantja Warna, Jalan Pramuka, Jakarta Timur, pada 24 Nopember 1993, dengan ongkos cetak Rp25.000. Stiker-stiker itu dicetak dalam dua ukuran, yaitu 20 x 21,5 cm2 sejumlah 300 lembar dan ukuran 10×10,5 cm2 sejumlah 1.200 lembar.

Selanjutnya, katanya, stiker tersebut dibagi-bagikan terdakwa kepada teman­ temannya dari Yayasan Pijar, untuk disebarluaskan. Pada keesokan harinya, 25 Nopember 1993, bertempat di halaman Gedung DPR/MPR RI Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, ketika dilaksanakan rapat dengar disebarluaskan terdakwa kepada ternan-temannya yang sedang mengadakan unjuk rasa.

Selain didakwa menghina Presiden, NS juga dipersalahkan menyebarkan, mempertunjukkan dan menempelkan di muka umum tulisan yang isinya menghina Presiden RI, seperti diatur dalam pasal137 ayat 1 jo 55 ayat 1ke 1KUHP dan pasal 208 ayat 1jo 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Mendengar jaksa membacakan dakwaannya, terdakwa NS yang nampak duduk dengan santai, sesekali senyum dan mencibirkan bibirnya, bahkan NS sempat ditegur hakirn Ny Nurhayati SH, karena duduknya kurang sopan dengan mengangkat sebelah kakinya di atas kaki yang lain.

Sidang yang sudah dua kali ditunda itu, dimulai sekitar pukul 09:15 WIB dengan pengawasan yang cukup ketat. Pasukan pengamanan yang mengawasi ruang sidang, terlihat berasal dari kepolisian Polres Jakarta Pusat dan dari Polda Metro Jaya. Terdakwa NS hadir di persidangan didampingi oleh penasehat hukumnya dari LBH Jakarta, masing-masing Abdul Hakim Garuda Nusantara SH, Luhut MP Pangaribuan SH, Jon Peter Nazar SH, Deni Kristianto SH dan Iskandar SH. Ruang sidang yang mengambil tempat di lantai tiga gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu, dipenuhi pengunjung, terutama para mahasiswa dan aktivis hak asasi manusia. Diantara pengunjung nampak, Ali Sadikin, AM Fatwa, HJ Princen, Adnan Buyung Nasution, dan lain-lain tokoh-tokoh LSM.

Tidak Mengerti

Setelah jaksa Zubir Rachmat selesai membacakan dakwaannya setebal 13 halaman, ketua majelis hakim Ny Nurhayati menanyakan terdakwa apakah isi dakwaan tersebut dapat dimengerti oleh terdakwa, yang dijawab terdakwa “tidak mengerti”. Ketika ditanya lagi, bagian mana yang tidak dimengerti oleh terdakwa, NS menjawab semuanya tidak dimengerti, kemudian meminta agar dakwaan itu dibacakan ulang sekali lagi.

Permintaan itu sempat membuat hakim agak bingung, karena menurut hakirn Ny. Nurhayati, sebelumnya dakwaanjaksa sudah diberikan kepada terdakwa untuk dipelajari. Disamping itu, katanya, Jatar belakang terdakwa seorang mahasiswa yang sudah pada tahap pembuatan skripsi, mestinya dapat mengerti isi dakwaan tersebut. Karena sama-sama ngotot, akibatnya sidang sempat dihentikan selama lima menit, untuk memberi kesempatan kepada terdakwa berkonsultasi dengan para Setelah itu, hakim memutuskan agar dakwaan tidak perlu dibacakan lagi, dan kepada terdakwa diberi kesempatan untuk memperlajari dakwaan tersebut.

Sidang sempat dihentikan untuk kedua kalinya, ketika tim penasehat hukum dan majelis hakim terlibat perdebatan sengit, mengenai hak terdakwa dan penasehat hukum untuk mengajukan eksepsi (tangkisan) atas dakwaan jaksa.

Menurut Luhut Pangaribuan dan Abdul Hakim Nusantara, tidak ada undang­-undang yang membatasi terdakwa untuk mengajukan eksepsinya sendiri, disamping oleh penasehat hukum. Tetapi menurut hakim anggota Sihol Sitompul, sudah menjadi kebiasaan selama ini, bahwa yang mengajukan eksepsi cukup oleh penasehat hukum saja.

Setelah berdebat sekitar 10 menit, akhirnya disepakati tim penasehat hukum dan terdakwa diberi kesempatan mengajukan eksepsi, dengan jaminan dari tim penasehat hukum bahwa eksepsi yang akan dibuat oleh terdakwa hanya menanggapi isi dakwaan. Sidang ditunda hingga 24 Januari 1994, dengan acara penyampaian eksepsi oleh tim penasehat  hukum dan terdakwa.(T.PU-28/DN03 /15/01/94 21:03/DN03/RU1)

Sumber: ANTARA(15/01/1994)

_________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 545-547.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.