MAKNA KUNJUNGAN PRESIDEN KE BOSNIA[1]
Jakarta, Republika
Keputusan Presiden Soeharto untuk mengunjungi Sarajevo, ibukota Bosnia Herzegovina yang tercabik itu, dapat dikatakan luar biasa. Bersama puluhan anggota rombongan, termasuk lbu Tien Soeharto, Presiden tadi malam bertolak ke Kopenhagen, Denmark, untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan Sosial yang diselenggarakan oleh PBB. Pada 13 Maret, Presiden bersama sebagian anggota rombongan akan berangkat ke Sarajevo, melalui Zagreb, ibukota Kroasia. Presiden direncanakan akan berada di kawasan gawat itu hanya empatjam, karena alasan-alasan yang mudah dirnengerti dari segi keamanan. Kunjungan tersebut dilakukan Soeharto terutama dalam kapasitas sebagai Ketua Gerakan Non Blok, daripada sebagai presiden Republik Indonesia. Kunjungan yang berisiko tinggi ini pun agaknya bermakna lebih besar daripada sekadar balasan atas kunjungan Presiden Alija Izetbegovic tahun lalu ke Jakarta. Ia kiranya menandai tekad GNB yang lebih bulat untuk memainkan peran lebih besar dalam penyelesaian perang Balkan yang telah berlangsung lebih tiga tahun, selain semakin menegaskan komitmen Indonesia untuk membela Bosnia, negeri mini yang hingga kini 70persen wilayahnya dijarah Serbia tersebut Sudah tentu kita berbesar hati atas keputusan Presiden untuk bertemu dengan Presiden Bosnia di Sarajevo itu. Rakyat Bosnia pun tentu amat surprised bahwa negerinya yang sedang berada di tepi jurang kehancuran total itu dikunjungi oleh ketua organisasi dari lebih seratus negara sekaligus kepala negara Indonesia, negara Muslim terbesar di dunia. Tidak berlebihan jika mereka, juga kita, mengharapkan bahwa sesuatu yang penting akan terjadi dalam rangka pemulihan hak-hak mereka sebagai negara yang kedaulatannya diakui oleh PBB itu, tak lama sesudah kunjungan bersejarah tersebut. Bosnia adalah salah satu pecahan Republik Yugoslavia, salah satu pendiri dan sponsor utama GNB. Tapi sudah tentu bukan sekadar karena alasan historis dan romantis inijika kita yakin bahwa keterlibatan lebih konkret GNB di sana kita nyatakan tepat dan sangat penting. Bobot keterlibatan itu harus dilihat terutama dari segi kemanusiaan, martabat, penegakan kedaulatan dan keadilan. Negeri kecil itu kini bagaikan kucing kurus yang gemetar di sebuah sudut gelap, sementara pukulan dan tusukan terus saja dibidikkan ke arahnya. Bosnia bukan hanya hendak dilumatkan sebagai negara merdeka, tapi terutama mau dirnusnahkan sebagai bangsa. Sepanjang sejarah, kasus upaya pemusnahan sistematis (genocide) ini sangat langka. Seperti sudah cukup sering diekspos mediamassa, penderitaan rakyat Bosnia sulit ditemukan bandingannya. Salah satunya saja sudah membuat siapapun yang memegang nilai-nilai peradaban akan merinding dan menangis telah ratusan ribu perempuannya diperkosa secara sadistis, sebagian di depan orangtua, anak saudara atau kerabat mereka. Hari-hari ini, rasa percaya-diri orang Bosnia sebagai manusia yang bermartabat-juga kepercayaan mereka pada manusia-mungkin sedang merayap ke titik nol. Seraya memaklumi kemungkinan yang muncul dari derita dahsyat yang panjang itu, inilah yang pada hemat kita harga tennahal dari seluruh drama Bosnia. Semoga kunjungan Pak Harto -yang mewakili ratusan juta penduduk lebih seratus negara anggota GNB -dapat memompa keyakinan mereka bahwa hampir dua per tiga saudara mereka sesama warga bumi menaruh simpati besar pada nestapa mereka. Dan sebagaimana mereka, kita juga berharap agar simpati besar itu diterjemahkan secara lebih konkret dalam bentuk aneka bantuan yang sangat dibutuhkan oleh rakyat Bosnia. Bantuan konkret itu semakin mendesak untuk segera diberikan, meski barangkali kualitas dan kuantitasnya kurang berarti dibanding potensi bantuan yang bisa diberikan oleh negara-negara kaya, yang sejauh ini secara sangat mengherankan sangat kurang menunjukkan minat membantu.
Sumber: REPUBLIKA (08/03/ 1995)
____________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 74-75.