MAKNA KUNJUNGAN PRESIDEN KE IRAN

MAKNA KUNJUNGAN PRESIDEN KE IRAN [1]

 

Jakarta, Republika

Kali ini lawatan Presiden Soeharto ke luar negeri (Republik Tunisia, Amerika Serikat dan Republik Islam Iran), 13-27 November 1993, termasuk istimewa. Dua dari tiga negara: Tunisia dan Iran baru kali ini dikunjungi Presiden RI.

Tunisia dan Iran merupakan dua negara dikawasan Timur Tengah-kendati yang pertama terletak di wilayah Maghribi (Afrika Utara) sedangkan yang terakhir berada di kawasan Teluk Persi (Asia Barat). Karena itu, lawatan Presiden ke Tunisia dan Iran mempunyai arti sangat penting bagi politik luar negeri Indonesia di kawasan Timur Tengah.

Walaupun sama-sama di kawasan Timur Tengah, namun secara “ideologis” Tunisia dan Iran sangat berbeda. Tunisia adalah negara Arab pro Barat yang “sekuler” atau “moderat” dalam pandangan Barat- dan bahkan takjarang menekan gerakan­ gerakan Islam fundamentalis seperti Hizb al-Nahda (“Partai Kebangkitan “) yang dipimpin oleh Rashid al Ghannoushi dan Abdelfattah Mourou.

Iran, di sisi lain merupakan “negara agama”, dalam arti agama (Islam mazhab Syi’ah) berperan dominan dalam mekanisme sistem politik di negara ini. Bagi Barat, Iran tak hanya dicap negara “fundamental is”, tapi juga dituding pendukung utama gerakan-gerakan “fundamentalis” yang merebak di kawasan Timur Tengah sejak awal dekade 1980-an hingga sekarang.

Dalam kaitan ini, lebih menarik untuk melihat makna kunjungan Presiden Soeharto ke Iran, khususnya bagi politik luar negeri Indonesia. Karena bagaimana pun, selama ini Indonesia lebih sering dianggap sebagai salah satu negara yang “pro-Barat”.

Menjaga Jarak

Hubungan Indonesia-Iran (pasca-revolusi Islam 1979) secara garis besar dapat dibagi tiga fase atau periode : 1979-1989; 1989-1991; dan 1992-sekarang. Fase pertama (1979-1988) Indonesia berusaha “menjaga jarak “dengan Iran. Ini sekurang­ kurangnya disebabkan dua faktor. Pertama, adanya kekhawatiran terhadap pengaruh revolusi Islam Iran di Indonesia. Memang sulit dipungkiri, revolusi Iran membangkitkan kekagurnan sebagian anak muda Indonesia . Waktu itu misalnya, tak sedikit kamar­ kamar kos mahasiswa Islam Indonesia dihiasi poster Ayatullah Khomeini. Juga adanya “pengawasan” ketat terhadap kedutaan besar Iran di Jakarta.

Kedua, berkait dengan sikap Indonesia terhadap perang Iran-Irak dan konflik Iran-Arab Saudi. Sebagai negara yang bersikap netral dalam perang Iran-Irak ( 1980- 1988) Indonesia tampak berusaha menjaga jarak dengan Iran maupun Irak.

Sementara itu hal sama dilakukan guna memelihara hubungan baik Indonesia­ Saudi saat itu, Jakarta bahkan cenderungg bersikap “pro-Saudi” ketika konflik Riyadh­ Teheran makin memuncak, terutama setelah terjadinya “tragedi Mekah” (1987).Fase Kedua (1989-1991) adalah masa transisi, dalam hubungan ekonomi politik kedua negara, dimana mulai positif Perubahan sikap Jakarta terhadap Teheran pada fase ini tak terlepas dari terjadinya perubahan politik di Iran sendiri. Berakhirnya perang Irak-Iran, wafat Imam Komeini, naiknya kaum “moderat” dibawah Rafsanjani ke panggung politik bersamaan dengan mulai menghilangnya slogan-slogan “ekspor revolusi “merupakan faktor yang mempengaruhi arus “moderasi”baik politik dalam maupun luar negeri.

Membaiknya hubungan Jakarta-Teheran antara lain juga ditandai mulai banyaknya pejabat maupun pengusaha Indonesia berkunjung ke Iran, dan sebaliknya, Juni 1990, atas undangan Menteri Perdagangan Iran Abolhussein Vahaji, Menteri Perdagangan RI (waktu itu) Arif’in Siregar berkunjung ke Iran. Kendati kunjungan ini berkaitan dengan misi perdagangan, namun dampak positif nya terasa dengan makin eratnya hubungan bilateral kedua negara. Selain diterima Vahaji, Siregar juga bertemu Presiden Rafsanjani.

September 1990, Wakil Presiden Iran yang juga Kepala BadanAtom Nasional Iran,Dr. Amrollahi, berkunjung ke Jakarta untuk menghadiri seminar tentang proyek nuklir di negara-negara berkernbang. Di bulan sama Penasehat Presiden Iran Bidang Internasional, Aiireza Moayeri, juga datang ke Jakarta untuk menyarnpaikan pesan Rafsanjani pada Soeharto, berkaitan dengan situasi di Teluk Parsi, di sarnping mernbahas peningkatan hubungan bilateral. Moayeri sekaligus rnenyarnpaikan undangan Rafsanjani pada Soeharto untuk berkunjung ke Iran. Waktu itu Kepala Negara rnenyambut baik undangan tersebut dan menjanjikan akan memenuhi pada saat yang tepat.

Dua bulan kernudian (November 1990) gantian Menperdag Iran Vahaji datang ke Jakarta, membalas kunjungan Menperdag RI ke Iran. Dalarm kesempatan itu, kedua Menperdag sepakat memperpanjang MOU (Memorandum of Understanding) di bidang “imbal-beli” (counter-trade). Sementara itu, selama 1991 tercatat sejumlah rnenteri Indonesia yang berkunjung ke Iran, di antaranya Menlu Ali Alatas, Menpen Harmoko, dan Menmudperdag (waktu itu) Sudrajat Djiwandono. Sedangkan dari pihak Iran yang datang ke Jakarta, di antaranya delegasi parlemen (Majelis Syura Islami) yang mengadakan pembicaraan dengan pimpinan DPR-RI.

Di forum internasional, hubungan Jakarta-Teheran pada fase ini juga rnenunjukkan peningkatan penting. Iran, misalnya, mendukung Indonesia untuk jadi anggota: UNDP Governing Council 1991-1993 dalam sidang ECOSOC di markas PBB New York (1-25 Mei 1990); Board of Directors of iLO dalam sidang ke-72 di Jenewa (16-27 Juni 1990); Human Rights Commission ECOSOC di PBB New York (Mei 1990); Deputy Governing Body ILO 1993 dalam sidang di Jenewa (Juni 1990); Panel of Legal Experts Intelsat, 16th Assembly of Parties dalam sidang di Lisbon (30 Oktober- 2 Novernber 1990). Teheran juga mendukung Jakarta untuk jabatan Wakil Presiden UNGA dalam sidang ke-45 di New York (18 September 1990). Puncaknya adalah dukungan Iran bagi pencalonan Indonesia sebagai Ketua GNB. *)

Era  Baru”

Fase ketiga, dimulai sejak 1992, adalah “era baru” hubungan Indonesia-Iran. Kedua negara tampak sudah benar-benar meninggalkan sikap saling curiga. Fase ini ditandai kunjungan Presiden Rafsanjani untuk menghadiri KIT GNB ke-10 di Jakarta (September 1992). Saat itu Rafsanjani juga mengadakan pertemuan khusus dengan Soeharto. Sejak itulah kedatangan pejabat tinggi Iran ke Indonesia, dan sebaliknya, seakan-akan sudah hal rutin. Kunjungan Presiden Soeharto ke Iran, di samping untuk memenuhi undangan Presiden Rafsanjani dah membalas kunjungan Presiden Iran itu ke Jakarta tahun lalu, juga bermakna penting, baik bagi Indonesia maupun Iran. Pertama, bagi Indonesia, kunjungan ini dapat “menetralisir” kontroversi yang sempat muncul akibat kedatangan “mendadak”PM Israel Yitzhak Rabin ke Jakarta, baru-baru ini. Sebagaimana diketahui, Iran termasuk salah satu negara yang menolak setiap bentuk kompromi dengan Israel.

Kedua, kunjungan ke Teheran dapat dipandang sebagai penegasan kembali prinsip dasar politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Selama ini, khususnya di bawah Orde Baru, ada kesan kuat bahwa politik luar negeri Indonesia condong ke Barat. Namun, kesan itu dapat ternetralisir dengan kunjungan Kepala Negara ke Iran. Mengapa? Hingga kini, negara-negara Barat (khususnya AS), Iran masih dipandang negara “fundamentalis”, “radikal” bahkan salah satu pendukung utama “terorisme” internasional.

Persepsi negatif tentang Iran tersebut tampaknya tak pernah berubah, sebagaimana tercemin dari pandangan diplomat kawakan AS, Richard Murphy, dalarn ceramahnya di Jakarta baru-baru ini. Padahal Iran sendiri sebenarnya sudah jauh berubah. Setidaknya itu narnpak dari open-door policy sebagai bagian dari reformasi ekonomi yang diterapkan Iran di bawah Rafsanjani, kendati sikap anti-Amerika tampak masih cukup kuat. Dalam konteks demikian, kunjungan Presiden Soeharto ke sebuah negara yang anti dan tidak disukai AS, adalah langkah yang cukup “berani”. Dan memang, inilah salah satu cara untuk membuktikan bahwa Indonesia tidak mudah untuk “di dikte” siapa pun dalam menentukan politik luar negerinya.

*)    Riza Sihbudi, peneliti LIPI; pengajar pada Jurusan Hubungan lnternasional FISIP-UI.

Sumber :REPUBLIKA ( 16/11/1003)

__________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 292-295

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.