MASALAH HAK2 AZASI MANUSIA DALAM RUU ANTI KORUPSI

Parlementaria :

MASALAH HAK2 AZASI MANUSIA DALAM RUU ANTI KORUPSI [1]

 

Djakarta, Kompas

Dalam membahas RUU Anti Korupsi, tiada suatu masalahpun jang lebih kontroversil daripada masalah hak2 azasi manusia. Seluruh pemandangan umum para anggauta DPRGR menundjukkan hal itu. Dan dalam menghadapi masalah hak2 azasi manusia itu, baik Pemerintah maupun DPRGR menampilkan suatu sikap jang agar kontradiktip.

Pemerintah ingin mendjamin hak2 azasi manusia dengan mentjantumkan pasal 35 tentang tidak berlaku-surutnja UU Anti Korupsi ini nanti. Menurut Pemerintah, pasal 35 itu merupakan pengetrapan dari azas “legalitas” seperti jang tertjantum dalam pasal 1 ajat (I) KUHP dan merupakan suatu manifestasi dari adanja kepastian hukum. Dan adanja kepastian hukum memang merupakan djaminan bagi penghormatan hak2 azasi manusia.

Sebaiknja Pemerintah berani meriskir hak2 azasi manusia itu dengan memberi wewenang jang begitu besar kepada fihak petugas hukum dalam RUU tersebut. Wewenang jang besar itu memberi kemungkinan penjalah-gunaan oleh petugas hukum sehingga achirnja bisa terdjadi pelanggaran terhadap hak2 azasi manusia itu sendiri.

Para anggauta DPRGR ingin mendjamin hak2 azasi manusia itu dengan membatasi wewenang para petugas hukum. Djustru karena mengchawatirkan terdjadinja penjalahgunaan. Tetapi sebaliknja para anggauta DPRGR merasa tidak perlu bahkan tidak setudju dengan ditjantumkannja pasal 35 diatas.

Sikap kedua belah fihak itu, masing2 dipengaruhi oleh fungsi dan status mereka didalam masjarakat. Dalam keinginannja untuk memberantas korupsi, Pemerintah bersedia memberikan wewenang jang besar itu kepada para petugas hukum supaja mempermudah penjidikan dan mempertjepat proses pemeriksaan. Mau tidak mau Pemerintah harus berani meriskir terdjadinja penjalah-gunaan wewenang tersebut.

Sebaliknja dalam keinginannja untuk mendjamin hak2 azasi manusia, Pemerintah ingin mempertahankan kepastian hukum dengan mentjantumkan pasal 35 diatas. tetapi mau tidak mau Pemerintah harus “merelakan” lolosnja koruptor2 jang selama ini telah begitu banjak merugikan negara.

Masalah jang dihadapi DPRGR djustru sebaliknja. Dalam keinginannja untuk memberantas korupsi, baik jang sudah maupun jang belum dilakukan, DPRGR tidak setudju dengan adanja pasal 35 itu. Mau tidak mau, DPRGR harus bersedia mengorbankan azas “legalitas”, jang menurut Pemerintah berarti pula mengorbankan kepastian hukum.

Dalam melindungi hak2 azasi manusia itu sendiri, para anggauta DPRGR merasa chawatir mengenai pemberian wewenang jang begitu besar kepada para petugas hukum, namun, mengurangi wewenang tersebut berarti pula menimbulkan kemungkinan lebih sulitnja usaha pemberantasan korupsi.

UNTUK mempertahankan pendirian masing2, kedua belah fihak mengemukakan berbagai argumentasi. Pemerintah berkata, kalau kita ingin menegakkan rule of law , maka kita harus mulai dengan mendjamin kepastian hukum dan mempraktekkan azas “legalitas”. Pemerintah mengakui bahwa penjimpangan dari azas “legalitas” itu memang dimungkinkan dalam keadaan2 bahaja tertentu seperti SOB. Namun Pemerintah tidak berpendapat bahwa keadaan kita sekarang ini telah begitu parah sehingga bisa membenarkan penjimpangan dari azas tersebut.

Disamping itu, Pemerintah merasa bahwa resiko terdjadinja penjalah-gunaan wewenang itu bisa dibatasi dengan mengadakan kontrol. Dan kontrol itu hendak dilakukan Pemerintah dengan mengadakan persjaratan mental dari para petugas hukum dan ketjermatan dibidang administratip.

Fihak DPRGR berpendapat bahwa keadaan kita sekarang ini sudah tjukup parah, sehingga bisa membenarkan penjimpangan dari azas legalitas tersebut dibidang pemberantasan korupsi.

Melihat mentalitas para petugas itu sendiri, para anggauta DPRGR tidak berani mengambil resiko dengan memberi wewenang jang begitu besar. Mereka chawatir djustru akan menimbulkan bentuk2 korupsi gaja baru. Namun pemberantasan korupsi setjara effektip tetap bisa dilakukan djika para petugas hukum itu benar-benar mau dan mampu mendjalankan tugasnja.

DALAM menghadapi “lingkaran setan” diatas, Pemerintah dan DPRGR harus benar-benar mengasah otak dan bidjaksana untuk bisa melahirkan suatu UU Anti Korupsi jg tjukup baik. Kedua belah fihak pasti harus mengadakan tawar-menawar untuk bisa mentjapai konsensus dalam arti jang positip.

Dengan melepaskan pasal 35 itu, azas “legalitas” memang harus dikorbankan. Namun apakah dengan demikian benar2 sudah berarti bahwa kepastian hukum setjara menjeluruh mendjadi dikorbankan? Dengan mengadjukan RUU Anti Korupsi itu sendiri Pemerintah sebenarnja sudah mengakui bahwa dengan UU jang sudah ada sekarang ini, korupsi tidak mungkin diberantas. (DTS)

Sumber : KOMPAS (23/09/1969)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 525-526.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.