MEDALI EMAS DI HARI ULANG TAHUN

MEDALI EMAS DI HARI ULANG TAHUN

 

 

Jakarta, Pelita

TANGGAL delapan Juni tahun ini, Presiden Soeharto menjadi tokoh yang memperoleh Medali Emas untuk jasa-jasanya di bidang kependudukan dari PBB setelah PM Indira Gandhi (1983), Menteri Urusan Keluarga Berencana (KB) RRC Qian Xinzhong (1983), Presiden Bangladesh Hussain Muhammad Ershad (1987) dan seorang wanita Jepang Shidzue Kato ( 1988) atas pengabdian tujuh puluh tahunnya untuk kependudukan di Jepang.

Penyerahan medali emas 18 karat dengan gambar timbul enam orang di tengah bola yang melambangkan kependudukan itu, lebih-lebih lagi diserahkan bertepatan dengan hari ulang tahun Presiden Soeharto yang ke-68.

Bersama dengan Presiden Soeharto, penghargaan itu juga akan diberikan kepada badan Keluarga Berencana dari Togo (Afrika Barat) yakni, “Program National de Bienetre Familial”. Kedua pemenang, selain menerima medali emas, juga akan mendapat diploma dan uang tunai yang besarnya sekitar Rp 22,5 juta (12.500 dolar AS).

Menurut ketua panitia penyerahan medali, Mario Moya Palencia yang saat ini juga menjabat selaku Duta besar Meksiko untuk Jepang, penghargaan yang diberikan kepada Presiden Soeharto adalah berkat jasa-jasanya yang luar biasa atas kependudukan. Menurutnya, Presiden Soeharto adalah seorang pemimpin yang benarĀ­benar menaruh minat besar atas masalah kependudukan, dan telah memperlihatkan minat tadi dalam bentuk kebijakan-kebijakan politik (political will) yang kokoh.

 

Menentang Malthus

Mengamati perkembangan pertambahan penduduk Indonesia akan mengingatkan kita pada “ramalan” Thomas. R. Malthus (1766-1834) dalam bukunya “An Essay on the Principle of Population” yang menyebutkan bahwa akan selalu ada orang yang kelaparan, akibat tingkat pertambahan penduduk senantiasa lebih tinggi dari tingkat pertambahan produksi pangan. Dalam sensus tahun 1920, penduduk Indonesia diketahui baru mencapai angka 48 juta.

Sepuluh tahun kemudian, 1930, angka itu melonjak menjadi 61 juta. Dan, dua sensus berikutnya tahun 1961 dan 1971 memperlihatkan angka sekitar 97 juta dan 120 juta. Dari survei demografi 1963, angka pertumbuhan penduduk Indonesia dipersentasikan mencapai 2,8%. Kalau persentasi ini diproyeksikan untuk sampai akhir abad ini, maka diperkirakan jumlah penduduk Indonesia akan mencapai angka 280 juta jiwa. Benar-benar padat.

Sebuah badan internasional ECAFE meramalkan jika hal itu terus berlangsung, maka jangankan Indonesia, negara mana saja yang membawa beban serupa, akan menghadapi masalah-masalah berat sehubungan dengan penyediaan lapangan kerja, kesehatan lingkungan, keluarga dan pendidikan anak-anak. Usaha pembangunan cara apapun, akan sulit menetralisir jumlah yang besar itu.

“Justru itu, kita bisa melihat keberhasilan dari pemerintah yang sekarang di bawah Pak Harto,” ujar Abdullah Syarwani, Direktur Pelaksana Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di Jakarta, “harus kita akui perhatian beliau memang begitu besar terhadap masalah kependudukan. Bahkan, terus terang, jauh lebih besar dari perhatian kebanyakan kepala negara lain”, lanjut Syarwani.

Sehubungan dengan pemberian medali emas dari PBB itu, jurnal badan PBB untuk kependudukan UNFPA, Population, menyebut bahwa selama periode kepemimpinan Soeharto tingkat kematian bayi telah menurun secara mengesankan , sementara tingkat pertambahan penduduk bisa dikurangi secara dramatis. Begitu pun pemakaian sarana kontrasepsi, telah mencapai tingkat 50 persen dari pasangan yang memenuhi syarat (subur).

 

Sekjen PBB

Medali emas untuk jasa-jasa atas masalah kependudukan yang diserahkan tanggal 8 Juni 1989 ini akan dilakukan oleh Sekjen PBB Javier Perez de Cuellar atas nama UNFPA suatu badan sub PBB yang mengurusi soal kependudukan. Dalam kesempatan tersebut, Presiden Soeharto akan berpidato dalam bahasa Indonesia, untuk kemudian secara simultan ke dalam bahasa-bahasa resmi PBB seperti bahasa Inggris, Perancis, dan Spanyol.

Setelah upacara yang berlangsung sekitar satu jam, Sekjen PBB Javier Perez de Cuellar akan menjamu para pemenang bersama undangan lain yang terdiri atas korps diplomatik, para pakar kependudukan dunia, serta para rekan-rekan Presiden Soeharto sendiri.

Hari itu, bukan hanya Presiden Soeharto saja yang berbahagia, tetapi juga seluruh rakyat negeri ini, After the storm gone, the sun will shining.

 

 

Sumber : PELITA(08/06/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 861-863.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.