MELAWAT KE ASIA TENGAH (BAG I) : MENEMUKAN KEMBALI MUTIARA ISLAM YANG HILANG

MELAWAT KE ASIA TENGAH (BAG I) : MENEMUKAN

KEMBALI MUTIARA ISLAM YANG HILANG[1]

 

Jakarta, Republika

PADA 31 Maret-13 April lalu, di samping mengunjungi Republik Federal Jerman, Presiden Soeharto melakukan lawatan ke tiga negara di Asia Tengah : yakni Kazakstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan.

Wartawan Republika Hersubeno Arief yang ikut dalam rombongan menuliskan beberapa catatannya tentang negara-negara di Asia Tengah itu.

Majalah Newsweek edisi pekan lalu menurunkan laporan utama tentang kondisi negara-negara di kawasan Asia Tengah paska Uni Soviet. Agaknya hanya suatu kebetulan jika pada pekan yang sama Presiden Soeharto juga baru saja mengakhiri lawatan kenegaraan di tiga negara kawasan tersebut, yakni Kazakstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan.

Jika Newsweek lebih menyoroti adanya perebutan pengaruh beberapa Negara besar berkaitan dengan potensi ekonomi dan politik di kawasan itu, kunjungan Presiden lebih merupakan upaya untuk meningkatkan hubungan persahabatan yang terjalin dengan ketiga negara itu dan -dalam bahasa Mensesneg Moerdiono­ sebagai perwujudan pesan pembukaan UUD 45, yakni untuk turut mewujudkan adanya perdamaian dunia.

Meskipun begitu tak dipungkiri Indonesia juga melirik potensi ekonomi yang ada. Ini bisa terlihat dengan ikut sertanya sejumlah pengusaha nasional ke sana, serta sejumlah persetujuan perdagangan yang ditandatangani dalam setiap pertemuan dengan kepala negara setempat.

Selain adanya tali persahabatan yang telah terjalin antara bangsa Indonesia dan rakyat di Asia Tengah, sejak lama telah muncul semacam kaitan emosional. Ini bila dilihat dari mayoritas bangsa Indonesia yang beragama Islam, demikian pula dengan penduduk setempat, setidaknya berdasarkan catatan statistik yang ada.

Belum lagi dikaitkan dengan sejarah peradaban Islam. Banyak tokoh dari kawasan ini yang hasil karyanya berpengaruh besar dalam sejarah pemikiran Islam. Untuk menyebut beberapa nama tokoh misalnya Imam Bukhari yang dikenal sebagai pengumpul hadits nabi, serta tokoh tarekat Nakhsyabandi yang sampai kini aliran Nakhsyabandiyah banyak pengikutnya di Indonesia. Dan kebetulan pula kaum muslim di Asia Tengah adalah penganut madzhab Suni seperti halnya sebagian besar umat Islam di Indonesia.

Dengan gambaran semacam itu, tak berlebihan bila banyak pihak melihat, kunjungan Pak Barto bukan hanya sekadar kunjungan dari seorang kepala negara sahabat, tapi lebih merupakan kunjungan seorang saudara yang tali silaturahminya selama ini terputus. Memang, sebelumnya Presiden juga telah pernah mengunjungi wilayah ini, namun kala itu negara-negara tersebut masih berada di bawah kekuasaan Uni Soviet yang menganut paham komunisme.

Di bawah kekuasaan Soviet, tingginya nilai peradaban serta pemikiran Islam hanyalah tinggal sebuah cerita. Berbagai monumen yang merupakan warisan budaya Islam juga tinggal benda-benda mati yang tidak punya arti apa-apa.

Banyak analisis yang telah ditulis tentang prospek masa depan negara-negara tersebut. Sebagian menaruh kepercayaan bangsa-bangsa yang masih serumpun dengan etnis Turki itu akan mampu bangkit kembali dan meraih kejayaan mereka di masa lampau. Ada yang melihatnya dengan skeptis, namun ada pula yang melihat dengan tanda tanya besar. Dalam bentuk seperti apa kebangkitan itu? Apakah Sosialisme, Nasionalisme ataukah Islam?

Demikian pula dengan bentuk pilihan yang akan mereka ambil. Dengan bangkrutnya paham komunisme yang ditandai dengan rontoknya bekas negara Uni Soviet, agaknya adalah suatu kemustahilan yang sangat besar bila mereka akan kembali memilih komunisme sebagai ideologi dan dasar mereka membangun negara. Meskipun notabene para penguasa yang ada sekarang adalah juga mereka yang dulu berkuasa semasa pemerintahan komunisme.

Presiden Kazakstan Nursultan Abishevich Nazarbayev sebelum terpilih sebagai Presiden mewakili Partai Sosialis adalah seorang presiden yangju ga merangkap sebagai ketua Soviet Tertinggi (parlemen) Republik Soviet Sosialis Kazakstan. Latar belakang pendidikan maupun karir politikn ya menunjukkan ia sebagai seorang kader komunis yang memulai karimya dari bawah hingga meniti ke puncak.

Sapannurat Atayevich Niyazov, Presiden Turkmenistan, juga merupakan seorang kader partai. Lelaki kelahiran Ashgabad 19 Februari 1940 ini selain merupakan lulusan Lembaga Politeknik Leningrad juga merupakan lulusan dari The Higher Party School of the Central Committee of the CPSU, sekolah kader cukup ternama. Di bidang politik ia pernah menjadi anggota Politbiro Komite Sentral Partai Komunis Uni Soviet (PKUS), Anggota Soviet Tertinggi (Parlemen), barulah kemudian pasca Soviet ia menjadi ketua Partai Demokrasi Turkmenistan yang merupakan jelmaan Partai Komunis Turkmenistan. Dengan partai barunya ini ia kemudian terpilih menjadi presiden. Demikian pula halnya dengan Presiden Uzbekistan Islam Karimov. Ia sebelumnya adalah seorang kader elit Partai Komunis Uzbekistan. Dengan Partai Komunis Uzbekistan yang kemudian berubah menjadi Partai Demokrasi Rakyat (PDR) ia terpilih sebagai presiden.

Memang kini mereka telah melepaskan diri dari kekuasaan Rusia yang menyatukan mereka dalam sebuah uni negara Soviet. Namun secara jujur harus disadari, mereka tak dapat serta merta lepas begitu saja. Kazakstan yang mempunyai jumlah penduduk etnis Rusia terbesar tetap menjalin keija sama keamanan dengan Rusia di bawah pasukan yang tergabung dalam Persemakmuran Negara Merdeka (Commonwealth of Independent States CIS). Sedangkan Turkmenistan yang belum rnempunyai pasukan kearnanan yang kuat juga menjalin kerja sama serupa dengan Rusia terutama untuk pasukan perbatasannya. Malahan antara Rusia dan Turkmenistan dijalin kesepakatan adanya dwi-kewarganegaraan.

Dengan latar belakang politik yang demikian pertanyaan yang mencuat adalah pilihan mana yang akan mereka ambil. Kepala Biro Majalah Far Eastern Economic Review di Asia Tengah Ahmed Rashid menuliskan kemungkinan-kemungkinan itu dalam sebuah buku  yang cukup rnenarik. Buku yang diterbitkan oleh Oxford University Press, Karachi itu mengambil tajuk “The Resurgence of Central Asia : Islam or Nationalism”. Masalah yang juga disinggung dalam bagian lain laporan utama majalah Newsweek tadi.

Upaya ketiga negara tersebut untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara khususnya Indonesia, juga haruslah dilihat dari kontek pergumulan pada pilihan-pilihan tadi. Secara regional kawasan Asia Tenggara yang direkat dalam wadah perhimpunan ASEAN adalah kawasan yang stabil. Masing-masing negara bisa mengambil perannya tanpa perlu bersinggungan dengan yang lain. Demikian pula bentuk kerja samanya telah berjalan dengan sangat baik, meskipun di sana-sini terdapat ganjalan, namun sifatnya hanya kecil saja.

Pola semacam ini belumlah sepenuhnya terbentuk di kawasan Asia Tengah yang terdiri dari lima negara, Kazakstan, Uzbekistan, Turkmenistan, Kirgistan, dan Tajikistan. Sebagai contoh masalah etnis Uzbek yang jumlahnya cukup besar di Tajikistan, yakni mencapai 23 persen, sering menjadi persoalan antara kedua negara. Tak jarang jika terjadi gejolak di Tajikistan rnereka melarikan diri melintasi batas ke Uzbek. Demikian pula perebutan pengaruh politis antara masing-masing negara, sering rada sulit dipahami dari kacamata wawasan bangsa yang telah mempunyai wadah berhimpun seperti ASEAN.

Memang berbagai upaya untuk itu telah dirintis. Kazakstan misalnya telah mengambil prakarsa untuk menciptakan wahana perdamaian dan keamanan serta mengembangkan warisan budaya di Asia Tengah. Pada bulan Maret dan September 1993 telah diadakan konferensi persiapan mengenai Conference on Interacting and Confidence Building Measures in Asia (CICA). Dan pada bulan September tahun 1994 diadakan pertemuan ketiga yang menghasilkan Special Working Group.

Berbagai persoalan dibicarakan dalam pertemuan tersebut menyangkut masalah keamanan, rasa saling percaya, pengurangan tingkat persiapan militer maupun senjata pemusnah masal. Indonesia sampai pertemuan ketiga mengambil posisi sebagai pengamat.

Khusus untuk Indonesia sendiri, keberhasilannya dalam mempersatukan bangsa yang multi etnis maupun multi agama, mempakan contoh sukses yang ingin mereka tim. Negara-negara di Asia Tengah juga punya persoalan yang sama, apalagi ditambah dengan kebijakan Uni Soviet yang banyak memindahkan etnis Rusia ke kawasan ini sepanjang kekuasaan  mereka, kini menjadi agenda persoalan tersendiri.

Makanya tak mengherankan bila Kazakstan maupun Turkmenistan ingin segera mempunyai perwakilan diplomatik sendiri di Jakarta. Selain Uzbekistan yang juga merupakan anggota Gerakan Non Blok (GNB), kini untuk Kazakstan dan Turkmenistan posisi duta besar RI masih dirangkap oleh dubes di Rusia yang juga merangkap Mongolia. Dengan adanya perwakilan langsung tadi setidaknya mereka berharap bisa belajar sendiri secara langsung. Tinggal persoalannya kini, pilihan mana yang paling pas dengan kondisi mereka.

Sumber : REPUBLIKA (22/04/1995)

_____________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 652-655.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.