MENGEMBANGKAN WAWASAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Senin malam, Presiden Soeharto telah menyampaikan Pidato Akhir Tahunnya. Kali ini adalah dalam rangka peralihan tahun 1984-1985.
Menyimak baik-baik Pidato Akhir Tahun 1984 tersebut, ada beberapa masalah yang perlu digaris-bawahi, untuk memperoleh perhatian yang khusus oleh karena masalahnya menyangkut bagian penting kehidupan kita sebagai bangsa di masa yang akan datang.
Pidato tersebut menyinggung berbagai masalah. Dari bidang ideologi, politik, ekonomi hingga masalah hubungan antar-bangsa.
Di antara masalah-masalah tersebut masalah ideologi-politik tampaknya memperoleh penekanan yang lebih besar.
Ini dapat dipahami, oleh karena di bidang tersebut, selama tahun 1984 selain kita catat beberapa lompatan yang menggembirakan, beberapa kejadian yang mempunyai tali-temali bisa kita catat sebagai peristiwa yang sangat disesalkan dan menimbulkan keprihatinan yang mendalam.
Dalam pidato tersebut, Presiden untuk kesekian kalinya menegaskan mengenai arah dan tujuan dari pembangunan politik di negara kita, khususnya tentang penegasan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi kekuatan sosial politik maupun organisasi kemasyarakatan.
Mengenai asas tunggal tersebut, Presiden menegaskan beberapa hal :
Pertama, tujuan penerapan asas tunggal tersebut adalah untuk menjamin pelaksanaan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, yang dilandasi oleh persatuan dan kesatuan bangsa sekukuh-kukuhnya.
Dengan itu, maka semua kekuatan sosial politik dan organisasi kemasyarakatan dapat memusatkan perhatian pada penyusunan program-program dan kegiatan nyata mereka.
Kedua, dengan itu maka dapat dihindari adanya gesekan-gesekan atau konflik-konflik ideologis antar golongan, sesuatu yang pernah menjadi pengalaman pahit bangsa kita di masa yang lalu.
Ketiga, dengan asas tunggal sama sekali tidak ditujukan untuk membatasi kegiatan-kegiatan organisasi termasuk tujuan organisasi keagamaan sepanjang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan nasional yang berlandaskan kepada Pancasila.
Keempat, dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila dan menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas dapat dihindari gejolak-gejolak yang muncul dari sikap fanatisme sempit, saling curiga dan bentuk tindakan ekstrim yang merugikan kepentingan bersama.
Menurut hemat kita, penegasan Presiden yang diucapkan untuk kesekian kalinya itu, sudah amat jelas.
Seharusnya, bila ada orang atau sekelompok kecil orang di negara ini yang masih juga tidak memahami arah dan maksud ketetapan mengenai Pancasila sebagai satu-satunya asas, dapat memahaminya dari penegasan tersebut. Dari ruangan ini, kita sudah berkali-kali mengajak semua kita untuk memahami masalah ini dalam perspektif yang luas.
Dalam wawasan yang setingkat di atas wawasan yang bersumber dari kebudayaan terkotak. Artinya harus melihatnya dengan wawasan yang luas.
Wawasan semacam itu dapat membawa kita kepada sisi pandang yang berorientasi kepada kepentingan nasional, dan bukan semata-mata sisi pandang yang sempit dan hanya berfikir kepentingan sendiri.
Bahwa soal wawasan ini memang menentukan, sudah dibuktikan oleh sejarah. Suku bisa menjadikan kita terkotak. Kedaerahan demikian pula. Juga aspirasi keagamaan. Pandangan yang terkotak menumbuhkan fanatisme sempit yang sering berujung kepada tindakan kekerasan.
Pemberontakan, terorisme, fitnah dan kekerasan lain pernah digunakan orang untuk suatu tujuan yang dirumuskan dengan wawasan yang terkotak dan sempit.
Kehidupan berbangsa dan bernegara, mensyaratkan warga negara yang siap hidup berdampingan dalam satu wadah kebersamaan. Pandangan hidup kita, falsafah Pancasila memberikan tempat seluas-luasnya buat setiap kelompok masyarakat, termasuk masyarakat beragama, untuk mengembangkan diri sebaik-baiknya. Tentu, semua dalam suatu kerangka yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Karena itu, tidak beralasan mereka yang merasakan, bahwa dengan satu-satunya asas, Pancasila, bagi orpol dan ormas kegiatan mereka akan dibatasi dan apalagi tersudutkan.
Sepanjang kegiatan tersebut memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, memperteguh integrasi nasional dan mengembangkan kehidupan atas prinsip-prinsip yang telah menjadi kesepakatan bangsa, semua pihak bisa melakukan apapun di negara kita, sebaliknya, bila perbuatan tersebut merobek-robek persatuan dan kesatuan, merusak integrasi nasional apalagi mengancam Pancasila dan UUD 1945, dilihat dari sudut apapun tentu tidak bisa dibenarkan.
Dengan wawasan semacam itu, maka kehidupan politik dan demokrasi bisa dikembangkan. Kekerasan dan terorisme terang tidak mungkin digunakan untuk menegakkan demokrasi, apalagi di suatu sistem politik di mana setiap orang masih bisa mengeluarkan pendapatnya dengan bebas.
Demokrasi memerlukan keterbukaan, proses dialog dan musyawarah, sedangkan kekerasan dan terorisme adalah manifestasi pemaksaan kehendak.
Ini bertentangan dengan prinsip demokrasi, karena itu kita sependapat untuk tidak tunduk kepada bentuk kekerasan dan terorisme.
Dengan wawasan yang luas, partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bisa ditingkatkan. Sebab, dengan itu orang dapat melepaskan diri dari anutan primordial yang membatasi keikutsertaan dalam karya yang menyangkut kepentingan yang luas.
Tahun 1984 menunjukkan ancaman ekstrimisme dan terorisme yang berakar dari pandangan terkotak masih ada. Memasuki tahun 1985, kita memang harus lebih waspada.
Kelompok-kelompok masyarakat yang besar diharapkan peranannya untuk bisa ikut menanggulangi munculnya kelompok-kelompok dengan pandangan terkotak yang sering kali bersumber dari kelompok kecil yang tak faham itu.
Organisasi besar harus menjadi pelopor untuk tidak sedikit pun ragu-ragu menerapkan asas Pancasila sebagai satusatunya asas. Sebab hanya dengan itu, gerakan-gerakan sempalan, terutama yang mengatas namakan agama, dapat dikurangi ruang geraknya.
Lebih dari itu, kepeloporan organisasi-organisasi besar akan mempercepat penuntasan peletakan landasan ideologi bagi tahapan akhir pembangunan politik di negara kita sebagai bagian pembangunan nasional yang sedang kita laksanakan.
Kita telah melewati tahun 1984 yang sulit dengan cukup baik. Tahun 1985 tetap akan mempakan tahun yang sulit. Tetapi sebagaimana dikatakan oleh Presiden, hal itu tidak akan mengendorkan semangat kita. (RA)
…
Jakarta, Pelita
Sumber : PELITA (02/01/1985)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 3-6.