Mengenai Mistik dan Kepercayaan

Mengenai Mistik dan Kepercayaan[1]

Ada masanya ramai orang berbicara mengenai mistik, mengenai kepercayaan. Bagi saya, pengertian mistik adalah ilmu kebatinan, bukan klenik. Tujuan ilmu kebatinan ialah mendekatkan batin kita dengan pencipta kita, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sesuai dengan peninggalan nenek moyang kita, ilmu kebatinan itu adalah untuk mendekatkan diri kita kepada Tuhan, mendekatkan batin kita kepada-Nya. Itu antara lain berdasarkan ilmu kasunyatan, ilmu sangkan paraning dumadi, dan ilmu kasampurnaning hurip. Itulah kebatinan yang sebenarnya.

Orang kadang-kadang salah kaprah, mengira ilmu kebatinan itu adalah ilmu klenik. Ajaran agama juga sebetulnya sama saja. Agama itu mengajarkan supaya kita dekat kepada Tuhan. Percaya kepada Tuhan, takwa, berarti tunduk, patuh kepada perintah Tuhan dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Kepercayaan kita pun sesuai dengan agama yang demikian, yakni bahwa Tuhan itu ada sekalipun tidak berwujud. Jadi, ini soal keyakinan. Tidak hanya orang beragama saja yang percaya, berdasarkan iman bahwa Tuhan itu ada. Orang yang mengolah kebatinan pun menyadari kehidupan itu demikian halnya, percaya bahwa Tuhan itu ada.

Memang, yang menciptakan alam semesta dengan segala isinya itu adalah Tuhan. Ada yang bertanya mengenai Tuhan itu, bagaimana? Di mana tempatnya? Tuhan itu memang tidak berwujud, tidak berbentuk.

Tempatnya? Adoh tan wangenan, cedhak tan senggolan, yang artinya: jauh tidak ada batasnya, dekat, namun tidak dapat disentuh.

Lantas, apa yang harus kita yakini tentang adanya Tuhan itu? Yang harus kita yakini adalah sifatnya. Sifat Tuhan adalah Maha Sempurna. Sempurna dan Baik. Kalau kita sudah yakin, bahwa Tuhan tidak berwujud, tetapi yang ada adalah sifatnya, sifat Baik, sifat Sempurna, dan Maha Sempurna, maka kalau kita ingin mendekatkan diri kepada-Nya, berarti mendekatkan diri kita kepada sifat Tuhan itu. Jadi, batin kita harus kita ikat dengan sifat Tuhan. Cipta dan Rasa kita, harus selalu membuahkan Karsa yang baik dan menghasilkan tutur kata dan perilaku yang baik.

Untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Sempurna tidak bisa, tidak mungkin bagi manusia. Maha Sempurna hanya satu. Tetapi mendekatkan diri pada sifat baik Tuhan, setidak-tidaknya, berarti kita harus mengendalikan kehidupan kita itu supaya selalu berbuat baik. Kalau kita bisa berbuat baik, itu berarti kita ini dekat kepada Tuhan, dengan sifat Tuhan yang baik itu. Dalam rangka mendekatkan diri, mengelola batin supaya dekat kepada Tuhan, dengan sendirinya kita harus mengakui bahwa pada manusia itu sebetulnya juga ada sifat yang ada pada Tuhan, yaitu sifat baik.

Tetapi bagi manusia, Tuhan itu juga menciptakan sifat yang bertentangan dengan baik, ialah sifat jelek dan sifat buruk. Ini bedanya Tuhan itu sifatnya baik. Tetapi pada manusia bukan sifat baik saja yang ada, melainkan juga ada yang bertentangan dengan·itu. Misalnya, sabar itu baik. Tetapi pada manusia itu ada sifat berangasan, pemarah. Sifat jujur juga sifat yang baik. Tetapi pada manusia juga ada sifat tidak jujur, pembohong.

Masalahnya sekarang, kalau ingin memperdalam kebatinan, ingin mendekatkan diri kepada Tuhan, berarti harus bisa mengendalikan dua sifat yang bertentangan yang ada pada manusia itu. Ilmu klenik adalah ilmu kanuragan, ilmu untuk mencari kesempurnaan hidup, tetapi batinnya bukan didekatkan kepada Tuhan, melainkan hanya untuk kandel tipising kulit. Fisik saja. Jadi, kebal senjata. Kemudian sedikit mempunyai kekuatan lebih daripada yang lain. Dan itu memang bisa diperoleh dengan ilmu klenik. Ini juga ilmu. Tetapi hanya untuk kekuatan badan, bukan untuk kekuatan batin.

Mencari hubungan dengan Tuhan bukan hanya dengan alam pikiran kita, melainkan terutama dengan batin kita. Yang bisa berhubungan dengan-Nya, buah pikiran kita, bukan fisik kita, melainkan batin kita. Hubungan dengan-Nya tidak berwujud, melainkan melalui Nur-nya. Berhubungan dengan-Nya tidak perlu dengan berteriak-teriak.

Dengan sembahyang, menurut agama, itu memudahkan untuk bisa berhubungan dengan-Nya. Tetapi bagi yang percaya akan ada-Nya, kapan saja ia bisa mendekatkan dirinya kepada-Nya. Tanpa perlu berteriak-teriak. Dalam batin pun sudah cukup karena Tuhan Mahatahu.

Dan Tuhan itu, Maha Pemurah, memberikan yang baik kepada umatnya, Tuhan itu berhubungan dengan jiwa kita, dengan batin kita, dengan sukma kita yang percaya kepada-Nya. Jauh dekatnya Tuhan pada kita bergantung pada keyakinan kita. Jauh bagi ·orang yang tidak selalu berusaha mendekatkan dirinya kepada-Nya. Dekat bagi orang yang selalu berusaha ke arah itu.

Orang yang selalu berbuat baik akan selalu dekat kepada Tuhan. Tetapi orang yang berbuat jahat, berbuat buruk, akan berjauhan dengan-Nya. Bukan Tuhan yang menjauhinya, tetapi manusia itu sendiri yang menjauhi Tuhan. Di zaman kepemimpinan saya, hadirnya Iembaga untuk aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang saya tempatkan di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Menjawab orang yang bertanya mengenai hal ini, saya mesti menunjuk kepada latar belakangnya dan mengingatkannya pada yang pernah terjadi sewaktu persiapan kemerdekaan kita. Waktu itu muncul “Jakarta Charter”, Piagam Jakarta, yang menyebutkan antara lain tentang kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Lalu ada permintaan perubahan. Sebab, kalau tetap “Jakarta Charter”, Piagam Jakarta jadi sebagai Dasar Negara, rakyat di sebelah timur mungkin tidak akan mendukungnya sehingga negara kesatuan Republik Indonesia tidak akan bisa terwujud karena sebagian daripada masyarakat kita tidak mau menerima Dasar Negara seperti itu. Karena itu, maka kemudian diadakan perubahan. Dan muncullah secara formal sebutan “Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa”. Dan sejak itu ada agama dan kepercayaan.

Sampai sekarang, kalau seseorang di Indonesia ini akan mengisi kartu tanda penduduk, KTP, maka ia ditanya, “Agamamu apa?”. Yang diakui sah di Indonesia ini sebagai agama ialah Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha.

Memang, aliran kepercayaan bukan agama. Seharusnya orang dari aliran kepercayaan itu –yang pasti adalah bahwa ia percaya kepada Tuhan– memilih salah satu agama. Dan itu sebetulnya dan seharusnya tidak menjadi soal baginya.

Dari dulu selalu saya jelaskan bahwa hal ini tidak perlu dipertentangkan. Dalam pada itu, sebaiknya para pemimpin agama itu mengajak mereka yang telah percaya kepada Tuhan itu untuk mengikuti induk agama yang diakui. Dalam hal ini, peranan ulama dan pemimpin-pemimpin agamalah yang dapat berperan menyadarkan kaumnya lewat dakwah agama.

***



[1]      Penuturan Presiden Soeharto, dikutip langsung dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH,  diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal. 311-314.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.